Pain

106 5 0
                                    

Kayu itu melayang tepat diatas kepala Riko dan nyaris mengenai pria itu jika saja tidak di tahan oleh seseorang.

"Pengecut. Beraninya menyerang dari belakang." Hardik Dayat.

Dengan sekuat tenaga Dayat menahan kayu yang di pegang salah satu preman itu agar tidak mengenai kepala Riko. Riko yang menyadari hal itu lantas langsung berbalik dan membantu Dayat.

Ify tidak berani membuka matanya. Dia tidak ingin melihat perkelahian itu. Tubuhnya bergetar hebat bahkan saat Agni sudah berada disisi nya sekali pun.

"Fy... tenang. Ada gue."

Agni memeluk tubuh Ify erat, berusaha menenangkan sahabatnya yang terlihat begitu ketakutan. Setelah tubuh itu berhenti bergetar, Agni mulai melepaskan ikatan tangan dan kaki Ify.

"Ni..."

"Ssst... udah nggak apa-apa. Semua akan baik-baik aja. Loe aman."

Agni kembali menarik Ify kedalam pelukannya saat perhatian Ify kembali teralih pada perkelahian dihadapannya, "Jangan di lihat."

Agni membalik posisi Ify menghadapnya sehingga kini dia lah yang harus menyaksikan Stev, Riko, dan Dayat bertarung melawan dua preman yang berbadan lebih besar dari mereka bertiga.

Butuh waktu lama untuk ketiga sahabat itu melumpuhkan preman bayaran Prisil. Tapi syukurlah mereka berhasil. Riko dan Dayat mengikat kedua preman itu sementara Stev langsung menghampiri Ify.

"Fy... kamu nggak apa-apa kan?" Tanya Stev dengan nafas terengah.

Ify langsung menubruk tubuh itu dan memeluknya erat. Ify menangis dibalik dada bidang Stev.

Stev mengelus rambut Ify pelan, "It's okay. You're save now."

***

Dayat baru saja melangkahkan kaki memasuki kediamannya tapi tangannya segera ditarik oleh wanita paruh baya yang terlihat sangat panik.

"Ikut mama. Adek kamu ditahan di kantor polisi." Ucap wanita itu yang tak lain adalah ibu kandung Dayat.

"Ma... Day baru aja sampe."

"Adek kamu di penjara Dayat!" Teriak wanita itu.

"Itu karena kesalahan dia sendiri, ma. Udah biarin aja biar dia jera."

"Gimana bisa kamu berkata seperti itu? Bagaimanapun juga dia tetap adik kamu."

"Ma... Day capek. Mau istirahat."

"Ikut mama sekarang atau kamu bukan lagi anak mama."

Dayat akhirnya pasrah dan membiarkan dirinya diseret oleh sang mama menuju ke kantor polisi. Mama nya itu terlalu panik bahkan dia tidak menyadari bahwa putra sulungnya itu pulang dengan keadaan babak belur.

"Via... adek. Kamu kenapa bisa ada disini dek?"

"Ma... adek nggak salah ma. Adek sama sekali nggak terlibat dalam penculikan itu. Adek takut ma, keluarin adek dari sini." Rengek Sivia.

"Iya mama tau adek nggak mungkin melakukan itu. Adek tenang ya, mama pasti akan cari cara apapun untuk keluarin adek dari sini."

"Nggak usah di keluarin ma. Biarin aja dia disini supaya dia sadar kesalahannya."

"Kak Day, ampun kak. Adek tau adek salah. Tolong bebasin adek dari sini kak."

"Kakak sudah sering memperingatkan kamu tapi kamu nggak pernah mau dengerin kakak dan masih saja bergaul sama dia."

Prisil yang sedari tadi hanya diam langsung berdiri, "Maksud loe apa ngomong kayak gitu hah?"

"Emang kenyataannya kan? Loe selalu bawa pengaruh buruk, sama kayak kelakuan loe."

"Dan apa loe tau alasan dibalik semua tindakan dan perbuatan itu?"

"Tidak ada alasan untuk berbuat jahat."

"Ada, tapi loe pasti nggak mau denger alasannya." Jawab Prisil.

Prisil menarik nafas panjang, "Gue minta maaf karena sudah menyeret adik loe ke dalam kesalahan gue. Iya, itu kesalahan gue, adek loe nggak ada hubungannya sama sekali dalam masalah ini. Tenang, loe bisa bebasin adek loe, gue akan bilang sama pak polisinya kalo adek loe dan Zahra nggak terlibat."

Dayat hanya diam mendengar setiap perkataan Prisil. Sivia dan Zahra pun dibuat tidak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari bibir sahabatnya itu. Kalimat itu terlontar dengan santai tapi jauh di dalam setiap kata yang terucap itu tersirat sebuah luka.

"Gue selalu salah bahkan saat gue berbuat suatu kebaikan sekalipun. Jadi percuma gue berbuat baik, mending jahat sekalian kan? Tapi mungkin akan jauh lebih baik kalo gue nggak usah dilahirkan aja sekalian. Biar orang lain nggak usah ikut menanggung kesalahan gue."

"Kenapa?" Tanya Dayat.

"Apa?"

"Kenapa loe berfikir lebih baik loe tidak dilahirkan?"

"Karena percuma. Gue pernah menjalani hidup yang normal. Gue pernah menjadi anak baik-baik, yang nurut apa kata orang tua, tapi apa yang gue dapet? Nggak ada. Semua yang gue lakuin selalu salah. Bahkan bokap bilang gue adalah kesalahan terbesar yang pernah dia lakuin, well - dia nggak pernah menginginkan gue dari awal. Semua hanya kesalahan. Kesalahan."

"Loe bisa memperbaiki kesalahan itu kalo loe mau."

"Buat apa? Toh nggak akan ada yang perduli. Semua orang yang gue sayang pergi. Termasuk loe."

Dayat cukup tercekat dengan kalimat terakhir yang diucapkan gadis itu.

"Kenapa loe pergi, Day? Kenapa loe pergi disaat gue perlahan mulai menerima keadaan gue. Loe pergi setelah kasih harapan ke gue. Kenapa?"

"Pris... gue..."

"Seharusnya loe nggak pernah kasih harapan itu ke gue, Day."

-tbc-

TRUE FRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang