"Dimana berkasnya?" Aku mengangkat kedua tanganku keudara, begitu tidak paham dengan pikiran kacau yang mengelabui isi kepalaku. Kubuka semua laci yang kulihat, kucari dimana saja ada kemungkinan berkas itu berada. Beberapa kali kuacak rambutku kasar, benar-benar tidak ada serpihan ingatan yang akan menuntunku menemukan berkas itu.
"So Eun? Ada apa?" Seolla memasuki ruangan dengan begitu keheranan. Kutatap wajah Seolla penuh kekesalan atas diriku sendiri. "Asistenmu menghampiri ruanganku, kau menimbulkan banyak suara aneh."
"Aku tak bisa menemukan dokumen itu dimana-mana!"
"Dokumen?"
Aku sedang tidak ingin ditanyai untuk sekarang, pikiranku kacau, aku was-was.
"So Eun!" Seolla meremas kedua lengan atasku, membuatku terfokus padanya, hanya padanya. "Apa yang terjadi? Kenapa kau seperti ini?"
"Aku tidak bisa menemukan berkasnya Seolla. Kau tidak mengerti."
Tok,tok!
Dami asisten Seolla memasuki ruangan begitu saja tanpa ijin keduanya. Dipeluk Dami berkas dalam sebuah map merah dan menatap kearah kami dengan ekspresi ketakutan.
"Itukan? Berkas itu yang kau carikan?" Seolla mengguncang tubuhku pelan, dan rasanya aku seakan ditampar kenyataan. Begitu bodohnya aku tak bisa mengendalikan pikiranku seperti ini. "Kau baru saja memberikannya pada Dami untuk diantar padaku. Baru lima belas menit lalu."
Tubuhku segera jatuh diatas tempat dudukku sendiri. Kupegangi kepalaku kuat, tidak habis pikir apa yang telah aku lakukan barusan.
"Lihat sekelilingmu." Aku mulai melirik lurus dengan kepala masih tertunduk. Seluruh ruangan kacau, berantakan seakan-akan ada dua pria besar yang adu kekuatan diruangan itu.
"Ada apa dengamu? Kenapa kau seperti ini? Katakan padaku.""Bukan apa-apa." Aku mendongah kearah Seolla kemudian tersenyum paksa kearahnya, setidaknya senyum itu akan menenangkan dirinya dari kepanikan yang telah kuciptakan. "Bisa tinggalkan aku sebentar? Kumohon."
Seolla menghela nafasnya, dielusnya punggungku beberapa kali sebelum menghilang dibalik pintu kayu. Tepat ketika pintu itu tertutup, air mataku tumpah. Aku menyadari aku semakin tidak stabil ketika mimpi buruk itu datang lagi. Kejadian dimana aku kehilangan bayi kecilku, manusia pertama yang aku pikir akan mengubah hidupku jauh lebih baik.
"Kau mau kemana?" Seolla yang ternyata sedari tadi menunggu diluar ruanganku segera menanyaiku ketika aku bergegas keluar.
"Jeonju." Kupakai blazer milikku dan bersiap untuk semua ocehan Seolla.
"Yahk! Lupakan. Biar aku yang menggantikanmu."
Senyumku seketika mencuat begitu lebar. Kutepuk lengan Seolla beberapa kali sebelum memeluknya dan menepuk punggungnya. "Aniya, guenchana. Besok akhir pekan, kau dan keluarga sudah ada rencana bukan?"
"Arraseo, setidaknya pergilah dengan Jonggyu. eoh?"
"Tidak perlu, aku bisa sendiri." Aku segera berlari kecil sebelum pembicaraan itu kian melebar. "Aku pergi!" Teriakku melambai kearahnya.
.
.
.Setelah tiga jam mengemudi, akhirnya kakiku berpijak di Jeonju Hanok Vilage, paparan pemandangan musim gugur itu sudah menyapaku sejak pertama kali aku melangkah keluar mobil. Dari hotel tempatku menginap, hanya butuh jalan kaki untuk membaur dengan suasana yang tidak seutuhnya berbeda dengan Seoul.
Beberapa kali aku menulis dan menggores apapun yang muncul dipikiranku dalam buku yang kubawa. Hiasan-hiasan disekitar, tawa beberapa orang, bahkan sehelai daun yang terbang terbawa angin bisa membawa imajinasiku melayang bersamanya.