sᴀᴛᴜ

1.1K 93 20
                                    

"Apa yang terjadi?"

Ia menatap sekeliling, mencari tahu dimana keberadaannya. Pandangannya bergulir ke setiap sisi, hanya menemukan dinding putih kokoh. Ia memegang kepalanya, mencoba mengingat setiap memori yang ia punya.

"America," ia menyebut namanya. Kemudian kembali mengingat setiap kejadian yang ia lalui di masa lalu. Sayangnya, tak ada keberuntunggan yang bersinggah.

America bangun, tangannya meraba pakaian yang ia kenakan. Kaos berlengan panjang putih dan celana berwarna senada. Ia menatap tangannya yang sendiri juga putih. Membuatnya sedikit muak.

Kakinya melangkah menuju satu-satunya pintu di situ. Tangannya memutar kenopnya. Terkejut, mengetahui akses untuk keluarnya sama sekali tak terkunci.

Ia tersenyum, "Aku beruntung."

Ekspresinya tak bertahan lama. Sesaat setelah ia membuka lebar pintu itu, bau amis menyeruak. Menusuk hidungnya. America bisa merasakan isi perutnya naik. "Ah, shit."

Darah seolah menjadi hiasan di setiap dinding. Amerika terdiam, tangan kanannya menutup hidung. Ia kemudian melanjutkan jalannya.

Hening itu tiba-tiba dihancurkan derap langkah yang semakin lama semakin keras, semakin dekat. Amerika mengangkat kepalanya, memfokuskan ke depan.

"Halo?" teriaknya. Geraman Jawaban yang ia dapatkan. Suara itu semakin dekat, hingga akhirnya ia bisa melihatnya dengan jelas.

"What the—," teriakannya terjeda ketika sebuah tangan menariknya. Membawanya ke toilet. "Apa-apaan, lepaskan aku!"

"Ssh! Diam!" Pria itu menutup mulutnya. Tak ingin mengambil resiko, Amerika memutuskan mengikuti instruksinya.

Terdengar suara keributan diluar. Amerika bisa merasakan jantungnya berdetak hingga ke luar dadanya. Butuh berapa menit hingga keadaan benar-benar senyap. Amerika menepis tangan pria yang masih di wajahnya.

"Dimana terimakasihmu, sialan." Pria itu mendesis. Dari surai hingga dahinya berwarna putih, lalu biru hingga merah untuk tubuhnya. Pria itu cukup tinggi, mungkin 10-20 cm lebih tinggi dari Amerika.

"Aku tidak pernah meminta pertolonganmu." Balas America ketus.

"America?" Lawan bicaranya terdengar terkejut, baru menyadari siapa yang telah ia selamatkan. Sebelah alisnya terangkat, Amerika menatapnya heran. "Do I know You?"

"Kau bercanda! Kami sudah lama mencarimu!"

Ia hanya berdiri, tak memiliki petunjuk atas kata yang pria itu lontarkan padanya. "Hah?"

"Russia," Pria itu memperkenalkan diri, nampak menyerah dengan situasi. Ia menghembus napas kasar. Sedikit emosi. "Ambil ini," Russia melempar sebuah pisau yang ditangkap dengan baik oleh America.

"Apa yang terjadi?" America bertanya?

"Aku tidak tahu. Semuanya terjadi beberapa minggu yang lalu." Jawab Russia sembari mengintip situasi di luar.

"Lalu bagaimana Kau bisa disini?"

"Kita tidak punya banyak waktu untuk berbicara," Russia menyiapkan pistolnya, mengecek peluru yang ia punya. "Aku akan menjawab pertanyaanmu nanti."

"Kita akan keluar dari sini. Jangan bertindak bodoh, diam dan cukup ikuti aku dibelakang." Ujar Russia yang hanya dibalas America dengan anggukan.

Mereka berjalan mengendap, Russia dengan Pistolnya, America dengan pisaunya. Lagi, bau-bau darah terasa menusuk. America menutup hidungnya, mengernyit tak tahan.

"Berhenti," Russia berbisik, diam membeku di tempat. America ikut terdiam. Tak bergerak sedikitpun, bahkan untuk bernapas saja terasa berat.

Satu zombie berjalan ke mereka, America bisa melihatnya jelas. Jas lab yang dikenakan hingga baunya yang sudah seperti mayat busuk saja bisa ia rasakan i hidungnya. Kepala zombie itu terlihat hancur hingga pipi, sekilas memperlihatkan isinya. Setidaknya sesaat mereka bersyukur, bahwa makhluk yang satu ini buta.

"Ayo—," belum sempat Russia menyelesaikan ucapannya, zombie itu seketika menyadari mereka dan berteriak gila.

"Brengsek, coba lihat apa yang Kau lakukan!" America berlari mendahului Russia, mengingat keberadaan makhluk ganas itu sebelumnya berada di belakangnya tentu membuatnya bergidik ngeri hingga bereaksi lebih dulu.

Beberapa Zombie menyusul di belakang, mengejar mereka tanpa ragu. Semakin lama semakin banyak. Russia mencoba menembak beberapa, tapi tentu percuma. Ia kemudian mengangkat sebuah meja dan melemparnya.

Mereka terus berlari meski beberapa kali hampir terjatuh. Lorong yang tak ada habisnya itu bagaikan neraka. Amerika berada di depan, memimpin kemana nyawa mereka akan dibawa. Russia terus menembak, beberapa kali ia harus berlari ke depan sementara pandangannya menengok kebelakang.

"AKH!" Salah satu tangan mencengkram kaki kirinya, membuatnya terjatuh hingga pistolnya terlempar. Ia terus menendang kepala zombie yang mencoba menggigitnya, sementara tangannya mencoba menggapai pistolnya.

America segera berbalik ke Russia kemudian menancapkan pisaunya di kepala zombie itu.

"Is it dead yet?!"

Russia mengambil pistolnya, kemudian mengarahkannya ke America. "Menunduk!"

Dor!

Zombie itu terkapar, Russia segera berdiri dan menarik tangan America lalu kembali berlari.

"Jalannya buntu!" America berteriak, mereka semakin terpojok. Ia mulai mencoba menusuk zombie di kepala mereka. Mereka terus mengutuk zombie yang tak ada habisnya itu.

Russia menarik pelatuk pistolnya dan menembak jendela disamping mereka.

"Apa yang Kau tunggu, cepat! Aku di belakangmu!"

Ame mengangguk. Tanpa ragu, ia memegang sisi jendela, meringis merasakan sisa-sisa kaca tajam menusuk jarinya. Ia menarik napas dalam, kemudian meloncat.

ᴋᴇɴᴏᴘsɪᴀ | countryhumansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang