ᴛɪɢᴀ

451 68 3
                                    

Mungkin Russia adalah salah satu personifikasi negara paling tak beruntung. Setelah gagal menyusul ke zona aman, ia harus bertahan hidup di tempat yang bahkan bukan teritorinya sendiri. Dikejar zombie dengan pertahanan pas-pasan, diburu oleh para manusia yang entah akan diapakan jika ia berhasil ditangkap. Hingga hampir dimakan serigala hutan dan ia harus mengorbakan seluruh peluru berharganya demi mempertahankan setiap potongan tubuhnya agar tak terpecah.

Dan yang memperburuk segalanya adalah bahwa ia memiliki tanggungan untuk di jaga. America.

"Kemana kita akan pergi?" Lelaki itu bertanya. Terus mengekorinya dari belakang. "Menurutmu?" balas Russia, mencoba sarkas untuk pertanyaan America.

"Ke tempat pom bensin terdekat? Biasanya mereka juga memiliki toko. Mungkin mereka bisa membantu kita."

"Tidak ada orang bodoh yang membangun pom bensin di hutan belantara." Russia mendecih. Lagipula manusia gila mana yang mau membantu orang asing di keadan seperti sekarang.

"Bukan salahku kita di hutan belantara," balas America tak terima.

Rusia memutar bola matanya, "bukan salahku juga kita kehilangan satu-satunya kendaraan yang BISA membawa kita pergi dari kota terkutuk ini."

"HEY, Itu bukan salahku, salahkan serigala yang berlari tak tau diri itu!" America sedikit berteriak, tak terima dengan Rusia yang terus mempermalasahkan nasi yang sudah jadi bubur.

Russia mendengus, "Aku tak pernah bilang itu salahmu."

"Terserah."

Mereka kembali berjalan tanpa arah. Hutan itu tak terlalu lebat. Tapi tanpa cahaya, tempat itu tetap sama menyeramkannya. Sinar bulan yang menembus dedaunan seolah memberi kesan ngeri tersendiri.

Mood Russia kembali jatuh ketika America mulai mengeluh,

"Gelap sekali,"

"Banyak sekali nyamuknya, sial,"

"Aku lapar,"

"Bau sekali, pasti Kau ya!"

Russia menutup wajahnya gusar. Ya Tuhan, ia bisa gila lama-lama.

"Bisakah kau diam! Kau tentu tak ingin memancing entah makhluk apa yang ada di hutan ini!" Sungguh, Rusia tak tahan lagi. Nada suaranya pun hampir berteriak.

Segerombolan burung hitam, gagak. Berterbangan di langit gelap. Suara mereka menyakiti telinga mereka berdua. Dan demi apapun, mereka tau bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Wowie! Aku tidak tau ada orang lain yang masih bertahan!"

Russia dan America melihat ke arah sumber suara, seorang pria tua mendekati mereka dengan kapak besar berlumuran darah. America yang menyadari pria itu berseru ria mengetahui masih ada yang bertahan selain mereka.

"Bagaimana jika kalian bermalam di tempatku dulu. Kalian tak akan bertahan di luar lebih lama dari ini." Pria itu menawarkan dengan senyum khas yang lekat di wajah berkerutnya.

Kedua personifikasi negara itu terdiam, lalu diiyakan oleh America. Sementara Russia masih diam, menatap tajam lawan bicara mereka. Sedikitpun ia tak bisa atau lebih tepat, tak mau mempercayai orang ini.

"Baguslah kalau begitu. Ikut Aku, America, Rusisa."

-----❇-----

"Aku tidak yakin," Russia bergumam. Suara kecilnya terdengar oleh America. Ia sendiri merasakan hal yang sama. Namun berada di luar sana tanpa pertahanan nampaknya bukan ide yang bagus, walaupun bertamu di rumah orang asing di situasi mereka sekarang juga bukan ide yang bagus.

Atmosfer rumah itu terasa berat, udara dingin menembus kayu yang sudah lapuk berbolong. Lampu minyak dan sinarnya yang temaram. Serta disusul lolongan serigala yang mencekam. Mereka berdua kini hanya bisa menunggu di ruangan itu, menunggu.

Cukup lama, sang tuan rumah datang bergabung. Dengan tiga mangkuk sup daging yang ia bawa di nampan kayunya. Aromanya terasa lezat, berbeda. Seolah sup itu terasa istimewa. Mungkin efek mereka yang belum makan berhari-hari.

"Makanlah," Pria tua itu menyodorkan sup buatannya ke mereka berdua. America menyambutnya senang, sementara Russia hanya mengambilnya tanpa memberikan respon tertarik.

America menyantap sup itu dengan lahap, tak membiarkan setetespun lolos dari mulutnya. Seolah sudah bertahun-tahun ia tak pernah menyentuh makanan; walau kenyataannya memang begitu.

"Bagaimana?" Pria itu bertanya.

"Anda hebat sekali bisa memasak sup seenak ini," America memuji.

Russia memandang mereka berdua lamat, kemudia ke supnya tanpa minat. Cukup lama, ia bahkan mengernyit. Seingatnya ia tidak melihat tanda-tanda makhluk hidup selain manusia itu sendiri. Di situasi sekarang, darimana daging ini pria itu dapatkan?

"Ah, terimakasih. Aku tersanjung sekali."

Russia mengerutkan alisnya. Sekali lagi, curiga tak bisa lepas dari pikirannya.

"Kenapa tidak dimakan supnya, nak? Apa tidak enak?" Ia bertanya, gurat khawatir menempati wajahnya.

"Tidak, aku tidak lapar."

Raut si pria tua berubah kecewa. Amerika menatap Rusia heran, "kenapa?" bisiknya.

Rusia menggeleng.

"Aku tidak bisa makan daging," ujar Russia. Dalam hati meringis mendengar jawabannya sendiri. Sial. Ia tentu lapar, tapi entah kenapa melihat sup yang dipegangnya membuat selera makannya langsung hilang.

"Ah, sayang sekali," si pria tua menyahut.

Malam semakin larut. Mau tak mau membuat keduanya harus bermalam di sana. America sudah terlelap, meninggalkan Rusia dan matanya terbuka. Menolak untuk tidur.

Pikirannya semrawut, mengajak tubuhnya untuk segera kabur dari tempat itu. Tetapi tulangnya yang terasa remuk seolah ikut menolak. Yang pada akhirnya menyisakan ia yang bergelut dengan firasat buruknya.

Ia terduduk. Niat awal ingin membetulkan posisi bantal yang tak nyaman hingga matanya bertemu bayangan dari bawah pintu kamar.

"дерьмо."

Matanya tak lepas dari bayang-bayang kelam. Napasnya tertahan hingga tubuhnya membeku akan atmosfer yang turun. Lama hingga bayangan itu berjalan menjauhi akses masuk kamar mereka. Suara gesekan besi yang merusak kayu terdengar. Dan entah apapun itu, Rusia tahu bukanlah hal yang baik.

Sementara mengontrol napasnya sendiri, ia berusaha mengangkat bobot tubuhnya dari ranjang tua itu. Menginjakkan kakinya pelan, berhati-hati dengan papan-papan tua. Sekilas ia melirik America yang masih pulas.

Russia menarik napas pelan, kemudian melangkah keluar.

ᴋᴇɴᴏᴘsɪᴀ | countryhumansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang