ʟɪᴍᴀ

387 60 9
                                    

Dua, tiga jam bahkan mungkin lebih telah berjalan setelah America berhasil kabur dari neraka itu. Dengan Russia yang ia rangkul menyusuri hutan belantara, bisa dirasakannya sepasang kaki miliknya mulai mati rasa. Ia lelah, tentu.

Akhirnya Ia menyerah. Kakinya bergetar. Keseimbangannya hilang lalu lututnya mencium tanah. Teman yang dirangkul menyentuh permukaan bumi tanpa membangunkan kesadarannya.

America menahan tubuhnya dengan tangan sebelum ia ikut memeluk bumi. Napasnya menderu. Bola matanya terasa kering diperparah kelopak mata yang bersikeras menurunkan diri.

Di sisi lain, Russia mulai terbangun. Tubuhnya remuk, perih terasa di sekujur tubuh membuatnya meringis pelan. Udara dingin menyentuh kulitnya, rumput hijau menggoda wajahnya. Memberikan sensasi geli setiap tersentuh pipi. Perlahan ia membuka mata.

Kesadarannya mungkin sudah hampir pulih, namun kabar lain datang dari tubuhnya. Pada akhirnya ia hanya terkaku, membeku di tempat ia terbangun.

Kemudian ia menyadari sesuatu. Di depannya sendiri, America telah terkapar dengan kantung mata yang menghitam menghiasi. Ia yakin, kondisi yang ia miliki tak jauh berbeda.

"-meri-a," ia mencoba bersuara. Ternggorokan yang kering itu hanya menghasilkan suara serak yang tak sampai di telinga penerima.

Perasaan gelisah mengisi dadanya, hingga sedikit ekspresi mengikuti perasaanya. Tangannya mengepal erat. Muak dengan apa yang telah ia lalui.

"Holy-, Russia?!"

Netra hijau itu bergerak, melihat setiap jarak yang dicakupi. Menerka siapa yang barusan memanggilnya. Lagi, ia mencoba membalas. Gagal, tentu saja.

Ia mendengar langkah kaki ke arah mereka. "America?! Sial, apa yang terjadi?"

Baru saja ia akan kembali memanggil, sebuah desisan menghentikannya. "Ssh, jangan bergerak dulu. Kau terluka banyak, Russia."

Canada, peronifikasi negara akan maple. Berjalan mendekat dengan mendapat tatapan terkejut Russia sebagai hadiah. Tak seperti biasa. Tanpa topi khasnya. Terlihat dirinya hanya mengenakan kaus kuning dengan rompi hitam dan celana selutut berwarna navy. Perpaduan yang menyakitkan mata, Russia mendelik. .

Kapak yang dipegang ia letakkan dengan hati-hati ke tanah. Nampak bercak darah yang belum sepenuhnya mengering penuh di besi itu. Kemudian Canada berjalan mendekat. Melihat Russia yang sadar penuh, Canada membantunya duduk. "Kau tak apa?"

Yang dibantu menyambut tanpa sungkan. Menyadari kondisinya yang bahkan untuk bangun saja susah, ia menatap Canada sinis. "Apa matamu saja tak cukup untuk menjawab pertanyaanmu sendiri?"

Canada tertawa kecil, "Maaf, Aku hanya memastikan." Rusia hanya memutar bola matanya, tak peduli.

Setelah dirasa cukup. Canada menatap sekujur tubuh Russia, darah merah yang telah menyatu dengan warna tubuhnya sendiri masih terlihat. Beberapa bagian bajunya robek, sementara sisanya menghitam. Terbakar.

Netra coklat beralih ke kaki yang jenjang itu. Terlihat lebih baik dari pada tubuh atasnya. Melihat Canada, rusia menyahut. "Aku bisa berjalan. Lebih baik kau khawatirkan yang disana." Mata Russia beralih ke sosok di belakang Canada.

Lagi, Canada terkejut. Lebih ke merasa bersalah karena menduakan personifikasi yang memiliki status sebagai adiknya. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri America. Kemudian membawanya di punggung. Mereka kemudian berdiri.

Cahaya matahari mulai nampak, Sedikit menembus dedaunan lebat. "Aku terkejut," Russia memulai pembicaraan. Di belakang, Manik hijaunya tak lepas dari punggung Amerika yang di gendong si negara maple. "Kita semua begitu."

"Bukan, hanya saja ...," ucapannya terjeda. Mencoba menyusun kalimat sebagus mungkin, bukan keahliannya. Alhasil menciptakan keheninggan yang membingungkan, meski Canada sendiri memilih diam menunggu. "Tidak ada. Lupakan saja." Ujar Ruzsia pada akhirnya, menyerah.

"Kau tak mau bertanya bagaimana America bisa bersamaku?" Russia bertanya, lagi. Mungkin suasana mencekam hutan itu membuatnya tak nyaman hingga terus berbicara.

Sedetik, tak sampai. Canada hampir menghentikan langkah kakinya sebelum kembali melanjutkan. Sorot matanya sendu, mulutnya bungkam. Ia diam. Kemudian bersuara kecil. "Aku bisa menanyakanmu, nanti."

  Entah untuk keberapa kalinya, America selalu terbangun dengan menyadari tempat yang terus berubah. Dengan keadaan yang sama dimana ia tak memiliki ide apapun dimana ia berada.

Kepalanya sakit, matanya terasa perih. Tubuhnya terasa lemas. Bisa dirasakannya jelas, perban yang menutupi beberapa bagian. Lalu pakaiannya yang telah berganti. Sebuah kaos hitam berlengan pendek dan celana longgar selutut. Ia bernapas pelan. Nyaman.

Lambat laun rasa sakit itu menghilang meski rasa lemah tak berubah. Ia mulai mencoba duduk, kemudian melenguh. Tak mennyerah, America menarik kakinya. Beranjak dari tempat ia bangun sebelumnya. Berjalan menuju pintu.

America membukanya tanpa ragu. Tangan kirinya masih setia di kepala, memijat pelan keningnya. Belum sempat ia memproses apa yang terjadi, sebuah pelukan menyambut tubuhnya. "Syukurlah, Kau tak apa."

America menaikan alisnya. Mulutnya terbuka namun tak sepatah katapun keluar. Bingung. Siapa dan kenapa orang ini memeluknya, dengan gelagat sudah mengenalnya cukup lama.

"Canada, Aku mengerti jika Kau tak ingat, Russia sudah memberitahuku." ujarnya sembari melepas pelukan. Manik biru America bertemu milik Kanada. Ada sorot rindu yang tersembunyi di balik mata cokelat itu. Sesuatu yang membuatnya merasa nyaman, kehangatan.

"Maaf," adalah kata yang hanya bisa ia lontarkan. Canada terkekeh canggung, America menatapnya bingung sekali lagi. "Kau banyak berubah." Pria bersurai merah itu berujar lalu menghela napas panjang dengan kelegaan.

"Setidaknya," Canada menjeda kalimatnya pelan. "Kau sudah disini."

ᴋᴇɴᴏᴘsɪᴀ | countryhumansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang