"Sudah berapa lama kalian di sini? Maksudku, bagaimana? Mengumpulkan orang sebanyak ini?"
France bergumam sedikit, lalu melempar tatapan sekilas pada America. "Saat penyebaran virusnya meledak, pemerintah mengerahkan pasukan sebanyak mungkin untuk menghentikan penularan ini. Sayangnya itu sia-sia, mayat tidak bisa dibunuh. Jadi mereka memutuskan untuk membangun safezone. Semua orang yang selamat dan bersih dibawa ke sini."
Ame mengangguk. Ia memperhatikan pengungsi yang beraktivitas, para tentara yang bolak-balik dan bersinggah untuk memberi hormat sekilas pada ketiganya. "Di setiap tempat ada safezone yang didirikan. Kami kehilangan kontak beberapa hari setelah saat itu. Sehingga kabar mereka sekarang abu-abu." France melanjutkan.
"Kami mencoba menghubungi negara asal kami masing-masing. Seharusnya mereka sudah sampai disini beberapa minggu yang lalu dengan membawa bantuan tapi tidak ada satupun tanda-tanda kedatangan mereka," tambah Germanny, ia menengok ke belakang: America. "Bagaimana menurutmu?"
Ia kembali melanjutkan tanpa menunggu jawaban Ame. "Layanan komunikasi terputus, para bantuan juga tidak datang-datang."
Ame mengangkat alis, "bukankah internet dan listrik langsung mati saat itu. Bagaimana kalian menghubungi orang-orang kalian?"
France dan Germanny serentak menatap America. France berdeham, "iya, itu benar. Internet dan listrik mati. Tapi kami menggunakan alat-alat milik militer. Kami juga mengirimkan beberapa personil untuk mengurus pusat listrik di kota ini. Semuanya terimakasih pada bawahanmu, Texas. Aku yakin stateshuman-mu yang lain juga mengurus tanggung jawab mereka masing-masing."
Germanny membawa mereka ke sebuah bangunan bertingkat. Dari balik jendela yang terbuka terlihat bahwa setiap ruangan terisi. Mereka menelusuri ke lantai dua, beberapa orang nampak memberi tatapan terkejut terlebih saat melihat America. Ia sendiri tidak memberi tanggapan meski merasa tak nyaman, padahal dikatakan bahwa ia adalah pemimpin negara ini, kenapa America malah merasa seperti orang asing. Kendati begitu ia tetap melangkah dengan kepala terangkat, berusaha menunjukan wibawa semestinya.
Germanny akan membuka sebuah pintu bercat putih sebelum dibuka terlebih dahulu oleh seorang wanita di dalam. Ia menunduk sekilas lalu berlalu pergi.
Di dalam terdapat beberapa ranjang yang dibatasi tirai putih tipis. Alat-alat pertolongan pertama dan obat-obatan. "Selain ini, kami menggunakan beberapa kamar sebagai ruang medis. Kita butuh tempat yang lebih banyak, bukan?" America menyetujui ulasan France.
Dua ranjang telah terisi, Canada dan Russia di sana. Kaki Russia diperban dengan gips, ia bergerak tak nyaman setiap merubah posisi. Sekarang America baru bisa melihat jelas diantara garis horizontal biru itu, kantung mata Russia jelas hitam. Disampingnya terdapat Canada, negara maple itu tengah tertidur dengan tangan yang diperban.
"Ck, tidak bisakah aku tidur tenang." Russia mendecih kesal, terlebih ketika menyadari Canada yang sama sekali tak terganggu dengan pintu yang terus berdecit dari tadi.
America menaikkan alis, "kami baru datang, kenapa kau kesal."
"Ya, tentu saja. Awalnya negara taco itu datang mengoceh tidak jelas. Diganggu perawat, dan sekarang kau."
France dan Germanny bertukar pandang. Sekilas France menahan mulut untuk tidak tertawa. Germanny memperbaiki posisi kacamatanya, "itu perubahan yang luarbiasa untukmu."
Russia menaikkan alis sebelah, "apa maksudmu?"
"Tidak ada, lupakan saja." France memberi gestur santai, lalu berjalan mendekati Canada yang tertidur pulas. Ia menatapnya sebentar lalu mengelus surai putih Canada. Netra birunya beralih ke tangan yang di perban itu, ia mengangkat alis saat melihat beberapa kulit di sekitar luka yang di perban itu membiru. France mengalihkan pandangan ke arah America-Russia yang tengah beradu argumen, sedang Germanny hanya diam dengan wajah datar-bosan-malas identikal miliknya. Sesekali memberi tatapan kesal sebab kalimatnya terus dipotong.
"We are here, may your father's okay too."
Dash!
Lampu mati tiba-tiba. Terdengar beberapa keributan di penjuru bangunan. Germanny buru-buru keluar untuk menenangkan orang-orang yang panik. America dan France mengikuti. Sedang Russia hanya bisa menggeram kesal sebab masih tak bisa bergerak.
"Apa yang terjadi? Bukankah kalian sudah mengirim orang untuk mengurus listrik?" Panik America. Ia membantu beberapa orang yang terjatuh terkejut.
"Tentu, tapi sudah kurang sebulan kami tidak bisa menghubungi mereka. Beberapa orang juga dikirim untuk mengecek keadaan mereka, tapi tidak ada yang kembali." France menyahut.
Butuh waktu lebih dari 15 menit hingga listrik kembali menyala. Waktu yang sudah melewati senja membuat keadaan sebelumnya lebih gelap. Tidak lama memang namun cukup untuk membuat seisi bangunan menjadi panik. Terus digantikan pacuan langkah dari ujung lorong, semakin lama semakin jelas menampakkan sosok Texas mendekati mereka.
"Pak!" Texas menghampiri dengan napas memburu. Sorot mata melempar kekhawatiran berlebih sontak membuat America urung hati untuk mendekat, terlebih Germanny yang bergerak lebih dulu. "Apa yang terjadi?"
"Sambungan listrik mulai terputus. Pagar yang dialiri aruspun sudah mati."
Seutas kalimat yang cukup membuat napas semua orang tercekat. "Apa ada zombie yang mendekat?"
Texas menggeleng, "tidak ada zombie yang terlihat."
Lampu mulai berkedip disertai tangisan pengungsi. "Sir! Beberapa alat medis tidak berfungsi."
Germany mengacak rambut, "berapa dan bagaimana kondisi para pasien?"
"Kurang dari tigapuluh para Lansia dan rakyat setempat dengan penyakit kronis serta limabelas prajurit yang menderita luka parah karena diserang zombie dan narapidana yang kabur dari penjara." Balas Dokter tersebut sigap.
Ekspresi America campur aduk, terkejut, tak percaya dan lagi, merasa bersalah. Perlahan berubah menjadi amarah seiring laporan kritis terus berdatang ke Germany, bukan padanya. Tanpa melempar satu katapun ia pergi menuju tangga, melewati Texas yang berusaha menghentikannya.
"America, mau kemana kau?!" France menarik bahunya.
"... Pusat listrik." France terkesiap, "tidak, kau tidak bisa. Lokasinya terlalu jauh dan kita kekurangan bahan bakar untuk ke sana! Kita juga kekurangan senjata!"
"Lalu apa?! Kau tidak lihat seberapa banyak orang yang hampir mati disini?! Mereka bahkan tidak berbicara padaku!" America menarik kerah baju France, Gema suaranya terdengar jelas di tangga itu. Hanya mereka, America, France dan Texas yang mencoba memisahkan atasannya itu.
Atmosfer terasa intens bersamaan tangisan dan suara panik dari pasien yang terus memburuk. Pupil biru America menusuk France, meminta jawaban sekon demi sekon.
"Sir, tolong tenang. Kita bisa merencanakannya malam ini dan pergi lusa." Texas menarik America dari France yang tak berkutik. Ia paham apa yang America rasakan.
"Lusa? LUSA KAU BILANG?! Kita bahkan tidak tau seberapa banyak yang harus kehilangan nyawa sampai besok pagi!!" Texas berjengit, tak melepas tangannya dari tubuh America.
Sebuah suara menginterupsi. Terdengar barang yang dilempar di lantai atas membuat mereka bertiga saling bertukar pandang. Lekas berlari saat teriakan panik saling bersahutan.
"AMERICA! FRANCE! TEXAS! DIMANA KALIAN?!" Teriak Germanny.
"Germany! Apa yang ter—" France sontak menutup mulut. America seketika tak berkutik, tak mampu percaya dengan apa yang ia lihat.
"CANADA!"
——————————
Halo semuanya! Bagaimana kabar kalian! Akhirnya setelah sekian lama aku bisa kembali update buku ini. Saya kangen kalian semuaaaTerimakasih masih setia menunggu, buku ini masih terus lanjut walau akan very slow update jadi jangan khawatir.
Oiya aku juga berencana untuk membuat buku baru dengan alur lebih singkat setelah ini selesai, mungkin kalian ada saran.
Au Apocalypse seperti ini atau Modern?
Angst/Hurt-comfort atau Fluff?
Daaaan, Family-Friend atau Ship(romance/bromance)~Alright, see ya in the next chapter~
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴋᴇɴᴏᴘsɪᴀ | countryhumans
Fanfiction[𝐀merica fanfiction, ft. 𝑺tateHumans] Amerika terbangun dan menemukan dirinya berada di sebuah kamar tak berwarna. Ketika dirinya keluar, ia langsung dikejutkan dengan kenyataan bahwa dunia tengah dimangsa oleh para mayat hidup yang terinfeksi vir...