1

7.7K 374 24
                                    

==============
Sudut

Ratapan
==============

Mei 2003

Aku dan Bill sedang menyusun pakaian di lemari, tepatnya lebih mirip kotak locker ketimbang lemari, tanpa penutup — tergantung di dinding, persis di atas kasur. Kasur busa  berukuran kecil—mungkin hanya 60 x 180cm. Kasur kasur ini ditata berjajar di sebuah ruangan lumayan luas, yang sengaja digelar lesehan beralas karpet kasar di atas ubin keramik warna putih. Pembina Pondok baru saja pergi setelah selesai menunjukan tempat tidur kami dengan beberapa penjelasan tentang aturan yang berlaku di Pondok bernama Inabah 234 ini. Sebuah Pondok rehabilitasi bagi korban korban narkoba. Benar, kami baru saja tercatat sebagai anak binaan alias pasien rehabilitasi.

Ceritanya sedikit absurd, kenapa aku sampai masuk di Pondok ini. Pondok yang mempunyai metode penyembuhan melalui jalan thoriqoh berbasis Qadiriyah Naqsabandiyah dengan Abah Uus sebagai Mursyid (pembimbing) kami. Mereka memanggil Kyai dengan sebutan Abah. Kami belum bertemu Abah Uus, pembina itu baru memperkenalkan namanya saja barusan. Awalnya Eep yang mengabarkan padaku via SMS —Eep memutuskan hijrah ke Jakarta karena dapat tawaran pekerjaan baru. Dia menyambutnya karena baginya Jogja sudah nyaris membunuhnya, sepeninggal Mel. Jangan! Jangan suruh aku cerita tentang Mel, aku masih belum sanggup.

Eep bilang, Bill menemuinya dengan wajah amat tertekan dan mengenaskan secara mental. Bill adalah teman kampus kita juga di Jogja. Satu tongkrongan di ruang Mapala. Anaknya pendiam, tidak banyak tingkah, sedikit penakut malah. Memang dia ikut aksi demo, tapi hanya ikut-ikutan saja sebenarnya, dia dekat dengan kami karena Ganja. Itu saja. Tapi kami cukup dekat sebagai kawan. Atas dasar perkawanan itulah, aku berada di sini sekarang.

Lamunanku terpatah.

"Yo, aku cuma bawa sarung satu, gimana nih, tadi aku sempat ngintip mereka pakai sarung semua, sementara tuh lihat jadwalnya," tuding Bill menunjuk papan bertuliskan jadwal kegiatan di dinding.

*Jadwal sesungguhnya pada jaman itu tidak sampai pukul sepuluh malam, melainkan pukul sembilan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Jadwal sesungguhnya pada jaman itu tidak sampai pukul sepuluh malam, melainkan pukul sembilan. Hanya mencari berkas jadwal tahun 2003 sulit dicari. Tapi kurang lebih sama kok.

"Busyet, hampir dua  puluh empat jam kita bakal sholat,ngaji, dzikir doang!" terus terang aku kaget membaca jadwalnya, "alamak kita bangun jam dua pagi Bill!" seruku lagi nyaris berteriak.

"Makanya. Gimana nih, mana kita nggak boleh keluar sama sekali. Kalo bisa  aku kan bisa cari toko sarung di luar."

"Aku bawa tiga, kamu pake satu, jadi kita sama-sama punya dua, kalau satu di cuci kita masih bisa sarungan."

"Cocok. Sial, kamar mandi di mana tadi ya, aku lupa?"

"Noh, paling ujung, dekat mereka yang tadi kita lihat lagi pada dzikir." Bill lari tanpa basa basi lagi.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang