13

1K 181 37
                                    

========
Tembok
Ala
Berlin
========

Kupikir Neng Elis betul-betul mau nongkrongin Zaki di ruang utama saat jadi ustaz aku dan Bill. Ternyata tidak. Benar Zaki dikawal demi kebersihan niatnya, tapi bukan Neng Elis yang kawal, melainkan ibunya langsung. Sambil sesekali menyuapi Zaki makan. Alamak ustaz apa begitu, ngajar sambil disuapi. Kata Ibunya, sejak pulang sekolah Zaki memang mangkir makan, karena di ajak kawannya main layangan di tegalan, lalu pulang les, mandi dan langsung ke ruang utama. Hanya ini kesempatan dia makan, kata ibunya. Ibunya masih muda mungkin seumuran denganku.

Kecewa memang iya, tapi dipikir-pikir malas juga membagi konsentrasi antara belajar mengaji dengan belajar menikmati keindahan Neng Elis. Bagiku bisa saja—sudah terbiasa menyimak lewat telinga, sekaligus lewat pengamatan mata untuk kepentingan yang lain. Dua-duanya bisa kuserap walau berbeda jalur. Kasarnya aku sudah terbiasa punya dua sensor untuk menyerap informasi lewat indra telinga dan mata sekaligus. Bisa dilatih kok. Ini semacam metode efektif yang dirumuskan Mosad (agen rahasia Israel) dan diam-diam diadopsi/dicuri segelintir institusi serupa, dari negara lain untuk mengolah informasi.

Namun ada hal lebih spektakuler dari metode pengoptimalan urusan Indra telinga dan mata. Ada perkembangan yang menggembirakan yang terjadi di halaman belakang, satu minggu kemudian.

Jadwalku mencuci memang menjelang Asar. Alasannya sederhana, karena di waktu itu paling lengang. Anak-anak biasa mencuci pagi hari, setelah sarapan. atau malam sebelum tidur. Tapi paling banyak pagi hari, kadang sampai lima enam orang setiap paginya. Sementara menjelang Asar, menurut mereka adalah jam paling loyo—mereka lebih memilih beristirahat di ruang telivisi atau bermalas-malasan di atas kasur masing-masing.

Paling aku ditemani Bill, jika dia tidak sedang memutuskan tidur di jam segitu. Aku sebut jam loyo ini dengan sebutan jam interlude. Dalam sebuah komposisi lagu, interlude adalah bagian melody tema yang memberi jembatan untuk bagian kedua sebuah lagu, yang akan dimainkan. Semacam peluru buzz—tembakan yang akan menentukan apakah lagumu mencapai/punya greget klimaks atau sebaliknya.  Menentukan moodmu lebih baik atau buruk untuk kegiatan selanjutnya.

Tanpa disangka aku dapat peluru interlude di jam loyo hari ini. Tanganku masih belepotan detergen dengan buih-buih putihnya, ketika batu-batu kerikil melayang dari tembok sebelah. Batu-batu yang sengaja dilempar seseorang. Naluriku langsung bisa menduga siapa yang melempar kerikil-kerikil itu. Aku hanya tahu saja.

Saat itu juga kulepas baju yang sedang dikucek, lalu membasuh kedua lengan di kran air yang logamnya berwarna emas kusam dan bunyinya mendecit berisik jika gagangnya di putar. Kemudian kakiku mendekat untuk menaiki peti-peti kemas yang masih teronggok di situ.

Bletak!
Aww!

Satu kerikil menyambut keningku begitu kepalaku menyembul diujung tembok.

"Maaf Ang, maaf." ( Aang adalah sebutan lain dari Aa atau Akang yang artinya kakak)

Benar kan, neng Elis, apa kubilang, pasti dia.

"Kenapa kamu, kangen ya tidak lihat aku seminggu?" Godaku tanpa bisa memberinya senyum, matahari sedang tepat mengarah ke wajah. Silau.

"Ish meni ge er pisan. Bukan! Saya teh mau nanya tahu," balasnya sambil mengacung-acungkan buku yang digenggamnya. Tapi wajahnya semburat kemerahan dengan mata yang mengerjap malu-malu. Tak bisa dibantah, dia kangen. Aku hafal yang begini-begini.

"Tanya apa?"

"Ini."

"Ini, apa?"

"Tentang buku ini, ish!"

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang