16

980 197 24
                                    

========
Terkuak
Sudah
========

Setelah acara makan bertiga malam itu. Gendis mulai  sibuk mendengar curahan hati Rosa yang kasmaran. Rosa makin terbawa perasaan—bahasa bicaranya sangat gamblang menggambarkan hatinya yang penuh bunga-bunga cinta. Sering menyebut nama Eep. Apartemen mereka benar-benar terasa hidup  dan semarak dengan nama Eep. Mereka jadi sering ngobrol.  Nama Eeplah yang membuat kedekatan mereka makin mengental dan sanggup membunuh sepi di malam hari.

Sebelumnya, masing-masing lebih senang di kamar setelah banyak beraktifitas di luar. Sesekali saja berpapasan di sofa atau meja makan, saat Gendis ke kamar kecil di malam hari. Rosa kadang suka menonton saat malam hari, sementara Gendis lebih sering menggunakan sofa saat pagi-pagi sekali. Bukan untuk menonton televisi—Gendis masih sungkan untuk menyalakan remot televisi lewat tangannya. Kalau pun menonton, sekedar ikut menonton apa yang Rosa tonton.  

Gendis duduk di sofa itu untuk menikmati terbitnya matahari dengan segala bias warnanya yang menyembul dibalik gedung bertingkat paling tinggi—sejauh jendela apartemen mereka menangkap pemandangan luar. Melihat cahaya pagi mengingatkan kampung halamannya. Hanya itu yang membuatnya kadang merasa di rumah. Warna-warna lembut keemasan di langit paling pagi, satu-satunya rasa yang sama, dengan rasa suasana pagi di rumah. Langit yang sama, cahaya yang sama, warna yang sama, juga sinar matahari yang sama. Kebiasaan ini seperti jadwal tak tertulis bagi mereka dengan "Me Time" nya masing-masing dengan sofa itu. Gendis pagi buta hingga waktu sarapan, sementara Rosa malam hari hingga kantuknya menyerang.

Namun sejak Eep mewarnai hari-hari, tak jarang Rosa mengajak Gendis duduk menemaninya di  "sofa time-nya". Kadang Gendis menemani sambil mengerjakan tugas kuliahnya di meja makan. Sering juga di meja kamar dengan pintu yang sengaja dibuka lebar—dan mereka tetap bisa saling bicara, walau tidak saling menatap. Sesungguhnya saling bicara kurang tepat juga—pada kenyataannya, Rosalah yang banyak bicara, Gendis hanya memberi gong saja. Gendis memang memilih sebagai pendengar yang baik untuk temannya itu.

Sebenarnya secara pribadi, dirinya tidak mengerti, bagaimana bisa Rosa tertarik pada Eep, seorang yang punya rentang usia cukup jauh. Di kampungnya, biar berbeda tanggal kelahiran beberapa bulan saja, sudah saling memanggil Mas atau Mbak, atau Dik. Sementara jarak sepuluh tahun lebih, sudah berganti Bulik, atau Paklik. Itu sama saja dengan memanggil sebutan untuk adik dari orang tua kita. Ya, memang dia ikut-ikutan Rosa saja memanggil Eep dengan sebutan Kak, tidak mungkin juga memanggilnya Paklik—belum tentu orang Jawa. Apalagi memang Eep terlihat lebih muda dan modis dari usiannya. 

Tetap saja dirinya tak paham mengapa Rosa bisa demikian terpikat, seolah tak memedulikan perbedaan usia sampai belasan tahun membentang di antara mereka. Bagi Gendis rentang usia sedemikian lebar, rasanya tak mungkin membuatnya jatuh cinta—stereotip itu terlanjur mendarah daging di kepalanya. Pernah Gendis tanya secara tersirat tentang rentang usia itu. Rosa langsung tersenyum menembak jitu maksud pertanyaan yang sebenarnya, dia bilang;

'maksud kamu pasti, kenapa aku bisa suka sama Eep yang jauh lebih tua, dibanding teman sepantaran lain, kan?'

Wajah Gendis sempat memerah karena merasa tak enak hati, tapi ekspresi Rosa begitu memakluminya. Gendis hanya menunduk, dan membenci keusilan dirinya di dalam hati.

'ada beberapa orang memang merasa tidak pernah menemukan sosok ideal sama yang sepantaran. Cowok seumuran kita begini, kebanyakan masih Hero syndrom. Cewek di mata mereka ibarat hewan piaraan. Mereka beranggapan cewek cuma minta di manja, dielus-elus, di antar sana, sini ... seolah jika bisa lakukan itu, cowok baru saja menunaikan tugas penting.' mata Rosa mulai menjelajah lamunan. Gendis hanya diam.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang