2

2.3K 246 11
                                    

========
Awal
Mula
========

Mei 2011

Eyang putri menatap lekat-lekat Gendis, cucu kesayangannya yang tengah berurai air mata di pangkuan. Basah air matanya  lembab, di jarik bermotif parang rusak yang dikenakannya. Simbol jarik itu seakan mengisyaratkan yang tengah terjadi di antara keduanya. Mereka tengah berada dipersimpangan hidup yang selama ini berjalan normal, biasa dan menoton. Kini gelombang baru tengah datang. Entah gelombang yang akan membawa pada cakrawala samudra nan luas atau mati terhempas.

"Cah Ayu, mangkato, teteg ati lan niat nek Iki pancen wes becikmu." (Cantik ... Pergilah, kukuhkan hati dan niat kalau memang ini sudah jadi cita-citamu).

"Eyang Uti ndak marah?" Wajah ayunya mendongak penuh air mata.

"Ndak, Yangti cuma kaget, wong kamu ndak pernah cerita ikut beasiswa, njuk ngerti-ngerti lolos."

"Ngapunten sanget Yangti, tadinya saya ndak berharap diterima, cuma ikut-ikutan, lah kok—" Gadis cantik nan ranum ini tak kuasa melanjutkan kalimatnya, wajahnya kembali ditenggelamkan pada pangkuan perempuan renta dengan gurat wajah begitu halus mriyayeni ini.

"Sudah, mungkin rezeki Gusti Pangeran untukmu Nduk, ndak baik menolak rezeki. Ndak bersyukur namanya," tangan Eyang Putri mengelus lembut kepalanya.

"Tapi tempatnya jauh, Yangti tahu Singapura?"

"Tahu, pernah juga kesana, ikut rombongan menari Sinuhun, waktu jaman Jepang. Yangti kesana waktu masih kecil, lebih kecil dari kamu Nduk, tujuh tahun kalau ndak salah. Ndak jauh kok wong numpak kapal mabur, rasanya cuma dari sini ke Salatiga."

"Wow, Yangti pernah kesana?"  Eyang putri mengangguk. Matanya berkaca-kaca.

"Kados pundi kahanan nipun teng mriko?" (Bagaimana keadaan disana?)

"Lho ya mesti wes owah-owahan to nduk. Wong di sini saja sudah banyak berubah. Tapi seingat Yangti di sana resik tenan."

Akhirnya, mesti berat berpisah dari Eyang Putri yang amat dikasihinya—belasan tahun tak pernah berpisah darinya, Gendis harus menguatkan diri demi mengecap pendidikan lebih tinggi, di negeri seberang. Dia bahkan masih belum percaya, keisengannya mendaftar beasiswa akan berbuah keberhasilan. Tapi itulah kenyataannya.

Diam-diam dia menyimpan rasa takut dibalik gemebyar rasa bahagianya. Mesti senang bukan kepalang, namun dirinya tak pernah ke mana-mana. Lalu tiba-tiba harus pergi jauh. Selama ini hanya hidup berdua di rumah ini. Rumah tua, mungil tapi berhalaman luas, bersama Eyang Putrinya. Ada Pak Lik dan Bulik di rumah belakang, tapi di rumah ini, hanya dirinya dan Eyang Putri saja.

Gendis sudah terbiasa bangun sebelum subuh, menjerang air, memasak nasi dan lauk-pauk, serta menyiapkan sarapan berupa jajanan semacam tiwul, Gatot atau sekedar ketan berserundeng yang dia beli dari pasar, sebagai teman teh pahit Eyang Putrinya. Dia juga yang menyapu, mengepel sampai membuka gorden, jendela dan pintu rumah jam enam pagi. Jika masih tersisa waktu, Gendis akan menemani Eyang putrinya sambil ikut sarapan dengan segelas Susu coklatnya. Setelah itu, barulah berangkat sekolah dengan sepedanya, menempuh belasan kilometer pulang pergi.

Sepulang sekolah dia akan menghangatkan masakannya sebentar, lalu mengajak Eyang Putrinya makan.  Kemudian mereka akan bersantai di ruang keluarga, terkantuk-kantuk mendengarkan siaran radio yang memutar klenengan atau lagu klasik campur sari. Eyangnya di kursi goyang, sementara dia di kursi panjang, sambil membaca, entah itu novel sastra klasik atau novel populer lainnya. Menjelang Sore, Gendis akan memasak untuk makan malam, atau jika sedang enggan, dia hanya membeli gudeg tahu di ujung gang.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang