15

1K 194 40
                                    

Sebelumnya saya minta maaf bab kali ini sedikit mendalam. Bukan bermaksud menggurui, tapi begitulah Eep dan Suryo.

*

======
Titik
Balik
======

Pernah dengar seseorang yang memutuskan menempuh jalan kenabian? Menurut banyak kisah, jalan tersebut ditempuh karena seseorang merasa dunia sudah terlalu kecil dan bukan lagi tempat yang pantas/tidak memiliki lagi tujuan tertinggi manusia. Konon biasanya tahap ini seseorang tidak lagi tergiur apa-apa yang ada di dunia. Jiwanya meronta pada hal yang Haq. Bukan lagi fana.

Aku rasa itu yang tengah dikecap Ibunda Neng Elis bernama Nyai Rahma. Orang-orang memanggilnya Nyai, walau beliau bukan istri seorang Kyai. Beliau memang adik seorang Kyai, yaitu Abah Uus. Tapi sebutan Nyai biasanya disandang istri seorang Kyai—terutama di kalangan lingkungan pesantren di Jawa Tengah dan Timur. Memang di tanah Pasundan sebutan Nyai memiliki arti lebih umum, sebagai panggilan pada perempuan berusia matang. Tapi Nyai Rahmah mendapat panggilan tersebut lebih karena penghormatan pada tingkat keilmuan spiritualnya.

Nama Nyai Rahma termasyur karena rasa welas asih dan jiwa penolongnya pada masyarakat sekitar. Bahkan gaungnya melintas batas kota dan provinsi. Nyai Rahma, dipandang bisa mengobati penyakit, membantu jalan orang yang ditempa kesulitan duniawi, semisal orang yang terlilit hutang, orang yang depresi, putus asa dan sejenisnya. Caranya menolong yang membuatnya dikenal. Cara yang kadang sulit dicerna akal.

Sayangnya ia tidak mudah ditemui. Sehari-harinya hanya berdiam diri disebuah ... semacam gubug kecil—dulunya bekas lumbung padi. Tidak pernah keluar dari sana bertahun-tahun. Tidak makan, hanya minum. Neng Elis yang rutin mengantar kendi berisi air minum. Itu pun hanya diperkenankan membuka pintu selebar kendi, menaruhnya di dalam lalu segera ditutupnya kembali. Neng Elis bilang, tiap kali ia mengintip dari celah kayu, yang dikerjakannya hanya salat dan salat, lalu berdzikir dengan duduk bersila. Tak ada yang lain.

Ini yang membuat minatku besar mendengar kisahnya. Sebab menurutku, cerita model begini, hanya dongeng yang dituturkan orang-orang berabad lalu. Semacam kisah para Resi, juga para wali dan orang suci lainnya. Aku dengar pertama kali kisah begini ketika terlibat diskusi mendalam tentang kehidupan para pejalan sunyi kaum penggenggam tasawuf. Itupun kisah ratusan tahun lalu. Kisah-kisah itu biasanya tokohnya hanya laki-laki, bukan perempuan. Ini yang membuat jiwa ingin tahuku meronta.

Eep pernah membedah Derajat kewalian, dalam pandangan al-Hakim at-Tirmidzi, dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seseorang kepada Allah.

Aspek pertama merupakan wewenang Allah secara mutlak; sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menurut at-Tirmidzi, ada dua jalur yang biasa ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian.

Jalur pertama disebut thariqah al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah) sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat kewalian di hadapan Allah semata-mata karena karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikendaki Allah diantara hamba-hambaNya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat kewalian berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang meraih derajat kewalian melalui jalur kedua disebut wali haqq Allah atau awliya huquq Allah dalam bentuk jamak.

Mungkinkah jalan sunyi ini yang dijalani Nyai Rahma? Itu pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Perlahan aku gali dari Neng Elis, dari sudut pandangnya, mengapa Nyai Rahmah menempuh jalan ini. Ternyata Neng Elis tidak pernah mendengar langsung dari beliau. Ia mendengar dari sangkaan kerabat, sekaligus sahabat ibundanya. Menurutnya, beliau berubah drastis, ketika ditinggal ayah Neng Elis kembali ke negaranya Belgia. Bernama Mark.

Mr. Mark waktu itu seorang mahasiswa S3 Antropologi. Dia datang ke sini demi penelitian bagi kepentingan desertasinya. Mr. Mark mondok dan tercatat seorang santri tanpa sengaja. Dulu di daerah sini tidak ada penginapan atau kos-kosan, jadilah Mr. Mark mondok. Karena jarak ke situs Kerajaan Galuh yang sedang ditelitinya, tak jauh dari sini. Hanya sekitar lima belas menit menggunakan motor bebek bekas yang dibelinya dari warga.

Seperti kisah cinta lainnya, Mr. Mark jatuh cinta dengan Nyai Rahma yang cantik—desas-desus santer terdengar, sampai hari ini pun kecantikan Nyai Rahma tetap terpancar dan masih tampak muda di usia yang mendekati angka lima puluh. Seperti kakak beradik dengan Neng Elis. Mereka mendapat restu dari Abah sepuh—kakek Neng Elis—pendiri pondok ini, dan menikah, lalu kebahagiaan mereka makin sempurna dengan lahirnya neng Elis.

Namun malang tak dapat ditolak. Mr. Mark harus kembali ke negaranya setelah sukses meraih gelarnya. Nyai Rahma tidak mau diajak ke Belgia, dan memilih tetap tinggal di sini dengan alasan Abah Sepuh sedang sakit-sakitan. Singkat cerita, cinta mereka kandas.

Sejak itu, berbarengan dengan mangkatnya Abah Sepuh, Nyai Rahma mulai mengurung diri di bekas lumbung padi di tanah kosong belakang pondok. Berbekal sebuah kitab yang diwariskan Abah Sepuh hanya padanya. Tak seorang pun tahu kitab apa gerangan. Yang jelas sejak saat itu Nyai Rahma hanya beribadah, lain tidak. Tidak juga ikut membesarkan Neng Elis, yang akhirnya diasuh kerabat sekaligus sahabat Nyai Rahma, yaitu Ibu Ati yang kemudian menjadi istri salah satu adik Nyai Rahma.

Cerita ini begitu menyentuhku. Sukses membuatku penasaran pada beliau, Nyai Rahma. Pada ke-zuhud-annya, pada misterinya, juga pada pemikirannya. Rasanya ini nyaris terlalu fiksi sebagai sebuah kisah nyata. Ingin kupercayai ini sebagai sebuah dongeng saja, tapi makin kugali cerita dari orang-orang, entah itu Babah Acang, Mang Ujo, yang membetulkan talang air yang bocor, atau pengurus pondok—pokoknya, siapapun orang luar yang kebetulan datang kemari. Semuanya memuji segala hal tentang Nyai Rahma.

Menurut mereka orang yang berkunjung padanya tak pernah sepi. Tapi mereka tak pernah berani mendekat ke lumbung lebih dari empat meter. Duduk di tikar dalam diam. Tak bersuara, apalagi saling mengobrol. Mereka yang datang seolah tahu dan menjaga suasana khusuk dan hening di tempat itu. Tidak seluruhnya bisa beruntung mendengar wejangan Nyai Rahma. Biasanya berupa amalan ibadah sunah yang harus dikerjakan, atau disuruh membuat ramuan daun-daunaan atau umbi-umbian, bagi yang sakit.

Serius aku takjub pengabdiannya pada warga sekitar. Tidak pernah memungut timbal balik apa pun. Jikapun ada yang memaksa, karena hajatnya terkabul, pasti berbalik lagi untuk kepentingan orang banyak. Misalnya, disuruh mendirikan, sekolah atau klinik yang membebaskan orang miskin berobat atau kepentingan publik lainnya. Tak ada celah prasangka miring apapun di kepalaku. Itu!

Sayangnya, aku hanya pasien rehabilitasi yang tak bisa ke mana-mana. Terkurung tembok. Merasa kecewa tak kuasa untuk menemui Nyai Rahma. Namun, diam-diam aku terus mencari cara untuk bertemu dengan beliau. Jalan satu-satunya adalah lewat Neng Elis, anaknya.

Bayanganku, aku bisa lompati pagar ruang cuci ini ke halaman belakang rumahnya. Dari sana—lewat pintu kecil, aku bisa lewat gang itu, ke tanah kosong dimana bekas lumbung padi berada. Aku bisa lakukan ini malam-malam, aku yakin tak seorangpun akan tahu. Pulangnya aku bisa pakai tangga Neng Elis kembali ke sini.

Tapi Neng Elis terlalu takut berkomplot denganku. Dia takut sekali pada Abah Uus yang membuat aturan ketat bagi para penghuni pondok rehabilitasi. Dia bilang, Abah pasti tahu, serapih apapun aku mengakalinya. Sudah terbukti katanya, pernah ada beberapa anak Pondok yang berniat kabur, dan usahanya itu gagal total. Aah Neng ... Neng ... kenapa kamu tak percaya sih. Aku lumayan mahir beginian, jaman hindari aparat dan para spionnya.

Mungkin aku harus meyakinkan Neng Elis, lebih tepatnya tidak melibatkan dia untuk rasa penasaranku yang membuncah tak karuan ini. Aku harus melepaskan dia sepenuhnya. Aku hanya perlu pertolongannya tentang tangga di balik tembok halaman belakangnya. Hanya perlu memintanya memasang tangga, itu saja.

Perlahan namun pasti aku bisa meyakinkan Neng Elis untuk melakukan hal kecil tentang tangga itu. Tapi kejadian setelah itu malah peristiwa yang menggegerkan, yang meledak tak bisa dibendung.

Merubah segala rencana awal datang ke sini. Kekacauan yang kubuat telah merubah drastis segalanya. Sekaligus, itulah titik balik aku menemukan tujuan hidup yang tersembunyi. Hijab itu disingkap Nyai Rahma tanpa tedeng aling-aling lagi. Titik balik aku memutuskan ke Eropa!

***

Masih mau nunggu, atau mulai capek nih ...

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang