8

1.2K 200 26
                                    

=========
Dejavu
=========

Alarm yang terpasang alami di otaknya, biasanya membangunkan Gendis  pukul empat pagi lebih tujuh menit. Tapi pagi ini matanya terpana begitu melihat jam ponselnya tertera pukul lima lebih tujuh menit. Bertahun-tahun ia tidak pernah terlambat bangun—walau hari jatuh pada tanggal libur sekolah. Ia akan tetap bangun di jam yang sama, melakukan rutinitas yang sama, kecuali berangkat sekolah dengan sepedanya.

Gendis masih menatap tak percaya layar ponselnya, diantara kesadarannya yang belum pulih benar—sebelum akhirnya memaksa diri bergegas ke kamar mandi sebelum waktu subuhnya habis. Sempat linglung begitu menyadari dirinya terbangun di tempat asing. Namun segelas air yang disiapkannya semalam cukup mengumpulkan seluruh memorinya dengan utuh. Dia akhirnya ingat kalau semalam Rosa sudah membantunya mengganti kartu SIM dengan provider lokal, sekaligus menyetel kesesuaian perbedaan waktu—satu jam lebih cepat, perbedaan waktu di sini dengan di tanah air.

Ini hari pertamanya. Hari baru dengan perencanaan yang sudah ia susun sesuai saran teman-teman barunya di grup milis. Hari ini ia akan menghafalkan rute menuju kampus barunya. Gendis juga berniat mengamati segala sesuatunya. Memastikan semua info bisa dia temukan hari ini. Info tempatnya memperoleh segala kebutuhan, baik kebutuhannya sebagai mahasiswa maupun kebutuhan sehari-hari. Sehingga esok, dia sudah siap menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kampus.

Gendis sengaja mengambil satu hari, sebelum hari resmi yang ditetapkan kampus, untuk seharian menyesuaikan diri, entah itu menyesuaikan diri dengan setiap jalan yang akan dilaluinya, setiap kendaraan transportasi yang akan dinaikinya atau mempelajari  setiap orang asing yang dijumpainya nanti. Caranya menyapa, caranya tersenyum, caranya berbicara ...  apa saja agar secepatnya ia belajar dan menyesuaikan diri.

Terus-terang hati kecilnya gentar, bagaimana kalau ia tidak bisa menyesuaikan diri, apakah ia bisa dapat teman atau tidak, dan seterusnya. Baginya luar negri seperti hutan belantara yang belum pernah ia masuki. Ia tidak tahu apa yang akan dihadapinya di dalam hutan. Bertemu macan? Ular? atau apa? Walau teman-teman milis membesarkan hatinya dan bilang tidak seseram seperti bayangan di kepalanya, tetap saja gentar. Namun samar-samar wanti-wanti Eyang Putri menyirami kesejukan batinnya. 'Jangan biarkan apa pun membebani cita-cita.' Tanpa sadar Gendis mengangguk seolah Eyang berada dihadapannya sambil berbisik dalam hati, aku boleh takut tapi tidak akan kubiarkan gentar!

Semangatnya menyala lagi. Hanya saja ... Ini masih pagi sekali, masih empat jam lagi dari jadwalnya menyusuri jalanan. Gendis kelimpungan tak ada yang bisa dikerjakannya. Kamarnya sudah bersih dan rapih. Matanya kemudian berkeliling mengitari ruangan ... Dia lantas menerima ide yang barusan menyembul di kepalanya. Membersihkan ruangan kecil ini dan kamar mandi yang juga kecil itu, sepertinya bisa membunuh waktu yang ditunggunya.

Gendis tak membuang waktu lagi, tanpa menimbulkan keributan, mulai membersihkan setiap butiran debu. Menata rapih barang-barang yang memang tak seberapa, ditemani sinar  pagi yang masih enggan menampakan dirinya. Hanya semburat kemerahan dibalik gedung-gedung tinggi yang sempat dinikmatinya dari jendela. Hari masih sunyi, gerakan Gendis juga sunyi, sangat hati-hati mengangkat kursi, menggeser meja, bahkan gorden yang tadi dibukanya, amat hati-hati. Ia tak ingin Rosa terbangun gara-gara aktivitasnya.

Setelah semua selesai dikerjakannya, waktunya tak juga banyak yang terbuang, hanya satu jam lebih sedikit saja. Padahal ia sudah kilaukan seluruh ruangan termasuk kamar mandi. Gendis sampai memeriksa sekali lagi, barangkali ada yang terlewat olehnya, dan terpaksa kecewa, karena tak ada lagi yang bisa dikerjakannya.

Akhirnya ia hanya duduk di meja makan tercenung menghadap jendela, memandangi sisa bayang-bayang malam. Ia menunggu setidaknya ada seekor burung yang bisa dilihatnya, atau di dengar kicauannya. Tapi rasanya tak mungkin, karena sejauh mata memandang tak ada satu batang pun pohon tinggi.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang