26

1.1K 236 79
                                    

Aku ijin libur dulu ya .. tapi part ini sedikit panjang kok.
Ada pekerjaan sedikit di dunyat, tapi nggak bisa dibagi konsentrasinya dengan menulis. Doakan yang indah indah ya..  loph u so beutifull
*

=======
Panah
Melesat
=======

Peristiwa menggemparkan malam itu, adalah pengalaman tak terlupakan bagi Gendis. Baru ini dia tahu bahwa hidup begitu rumit bagi sebagian orang. Tak habis pikir otaknya menjelajah betapa sakit, orang yang tidak jadi dilamar. Sampai punya pikiran menyakiti diri dengan mengiris lengan. Baginya, Rosa menarik buat laki-laki manapun. Perbuatannya seolah tak akan pernah ada lagi laki-laki di dunia ini yang akan melamarnya.

Kontras dengan salah satu kerabat jauh, sekaligus tetangganya, Gendis memanggilnya Lik Sumi. Ia bahkan menikah dan hampir menikah, sampai berkali-kali dan tak sekalipun pernah mengiris tangannya. Bahkan pernah undangan sudah disebar, dan pada hari H, Lik Sumi tak jadi menikah dengan laki-laki yang namanya tertera di kartu undangan. Malah menikah dengan  orang dan nama lain. Di hari itu. Tiga bulan kemudian sudah bercerai lagi. Lalu menikah lagi beberapa bulan berikutnya dengan orang lain.

Lik Sumi tidak secantik dan semenarik Rosa. Badannya gemuk atau bohay dia menyebut bentuk tubuhnya sendiri. Cerewet sekali, tapi hatinya baik. Sering membantunya memasak jika pas ada acara keluarga besar kumpul. Mau dititipi belanjaan, jika Gendis tak terburu waktu pergi ke pasar. Lik Sumi bilang, hidup itu  jangan digawe ruwet, sederhana saja. Tidak jadi menikah dengan satu pria, ada pria lain yang pasti bisa dinikahinya.

Waktu Gendis sampaikan cerita Lik Sumi ini, reaksi Rosa malah tertawa sampai keluar air mata. Setelah itu melamun dan menangis.  Bahu Gendis sampai basah kuyup memeluk Rosa, lama sekali. Semula Gendis ingin menanyakan sesuatu yang tak kalah mengganggu pikirannya atas kejadian malam itu, tentang ciuman bibirnya dengan SA. Mengapa Rosa begitu ingin mencium? Bagaimana rasa berciuman seperti itu? Karena dadanya benar-benar dibuat berdebar ganjil waktu menyaksikan dibalik jari-jari yang menutup wajahnya. Gendis begitu penasaran ingin tahu. Namun semua pertanyaan itu terpaksa ia telan. Yang terucap bibirnya malah dukungannya saat Rosa berniat  pulang ke Jakarta selama beberapa waktu, untuk menenangkan diri.

❇️

Gendis hampir melupakan dan mengubur  pertanyaan yang mengganggunya itu, andai saja ia tidak bertemu dengan SA di commuter suatu malam, tiga minggu setelah kejadian yang menghebohkan itu. Dadanya berdesir seperti biasa, sama saat melihatnya di depan kelas. lalu, tanpa sengaja SA pas meliriknya juga. Rasanya masih ajaib di dalam dada. Rasa yang selalu dia timbun dalam-dalam. Tak ada isyarat yang berusaha dia perlihatkan pada lelaki yang menghiasi relung hatinya. Wajah, kepala dan hatinya selalu tertunduk jika berpapasan pandang.

Ia hanya berjarak tiga meter saja dari SA yang duduk berlawanan bangku di sebelah kanan—tidak persis berhadapan. SA duduk sambil membaca buku, membuat Gendis bersyukur jadi bisa menikmati sosoknya secara utuh. Ia tak berusaha menyapa dosennya yang kali ini berpakaian santai dan tampak segar—jelas bukan pulang dari kampus seperti dirinya. Ia jadi leluasa menatap dan menikmati wajahnya. Wajah yang begitu matang dan berkharisma dimatanya.

Sayang kenikmatannya tak berlangsung lama, karena SA merasakan lewat nalurinya, jika seseorang tengah mengamatinya. Dan ketika itu terjadi, Gendis terkesiap sampai menjatuhkan ponselnya karena kaget atau tak menyangka SA memergoki tengah memandanginya. Reaksi SA malah mengutas senyum lalu berdiri dan berjalan menghampirinya.

"Hai, boleh duduk disebelahmu, Gendis?

"Iya, iya," Gendis menjawab dengan semburat merah di pipinya.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang