17

1K 217 40
                                    

=======
Tasbih
Nyai
Rahma
=======

Rata-rata anak binaan jam sepuluh sudah tidur. Jadi aku memang sudah menyiapkan mental dan fisik sedemikian rupa untuk terjaga sampai aktivitas mandi jam dua pagi berlangsung. Demi rencanaku bertemu Nyai Rahma. Tiap jeda istirahat siang dan sore kumanfaatkan untuk tidur. Bahkan aku mengajukan absen pada ustaz Zaki  dengan alasan tak enak badan. 

Tak seorang pun kuberitahu termasuk Bill. Sekecil mungkin aku tak libatkan orang lain, termasuk Neng Elis. Dia hanya perlu memastikan tangga berdiri di tembok yang letaknya sudah kuatur, sejak dua hari lalu. Aku sengaja tidak bilang kapan, hanya meminta tangga itu tetap di sana sampai aku bilang selesai. Jadi Neng Elis juga tak akan tahu  kapan aku gunakan tangga itu. Semua kulakukan agar tak seorang pun ikut terseret rencanaku.

Dan malam ini, bulat sudah aku akan naiki tembok belakang. Menyelinap di saat mereka benar-benar dipastikan terlelap. Bagusnya, anak-anak datang ke ruang tidur, dalam kondisi mengantuk dan siap tidur. Di ruangan ini, tak ada orang mengobrol—mereka melakukannya di tempat lain jika masih ingin berbincang. Di sini anak-anak memang siap tidur.

Pukul 10,07 jam di dinding menunjukan jarumnya, waktu aku bangkit dan mengendap ke luar ruangan, bercelana jeans dan berkalung sarung di leher serta sendal jepit yang ditenteng. Hati-hati kubuka pintu dan menutupnya kembali tanpa bunyi berarti. Sangat pelan. Aku sampai berjingkat menyusuri teras menuju ruang cuci, dan barulah di sana kukenakan sandal.

Angin malam ini tidak terlalu dingin seperti biasanya. Sedikit lembab. Atau karena aku sedikit tegang hingga suhu tubuh menghangat? Setidaknya langit kelihatan bening  dengan hamparan biru malamnya. Sedikit bintang dan setengah sabit bulan, yang berhias awan seperti kepulan asap.

Sangat hati-hati aku menaiki peti-peti kemas. Tidak terlalu sulit karena tembok memang tidak disemen halus, melainkan dibiarkan kasar dengan batu-batu kerikil yang menyembul. Lumayan membantu kakiku untuk pijakan. Hanya sekali tolakan, aku sudah bisa mengalungkan sebelah kakiku di ujung tembok. Ambil nafas sebentar sebelum menaikan sebelah kaki lainnya. Lalu ambil nafas lagi untuk merubah posisi tubuh—menunggangi ujung tembok dengan lebar sepuluh sentian itu. Aku hanya perlu menggeser sedikit, dan tangga terbuat dari bambu itu siap untuk membawaku turun.

Agak ngos-ngosan, bukan karena lelah—aku pernah hadapi medan lebih berat dan curam ketika naik gunung. Andrenalinku yang meninggi, membuatku tegang. Mataku bolak-balik menyapu sekitar, mencermati apakah situasi benar-benar aman dan bisa diandalkan. Setelah kuyakin iya, perlahan kuturuni bilah-bilah tangga bambu dengan hati-hati sekali. Tak mau sedikitpun ada bunyi. Berhasil.

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung berlari menuju pintu kecil yang mengarah ke luar. Ke gang samping rumah Neng Elis. Sayangnya selot pintu sudah berkarat, jadi sulit sekali menahannya tanpa bunyi berderik-derik. Cukup makan waktu dan memacu debaran dada, sebelum akhirnya mampu kubuka. Kututup perlahan hingga pintu terkatup cukup rapat, lalu bergegas berjalan cepat menuju tanah lumbung padi. Melewati tak hanya rumah-rumah di gang, juga menerobos barisan pohon singkong, sebelum sampai tujuan.

Aku belum tahu persis letak tanah kosong bekas lumbung padi, hanya berdasarkan perkiraan map di kepalaku yang memperkirakan arahnya. Yang pasti, tanah lumbung padi itu letaknya persis di belakang tembok ruang cuci. Andai tembok tidak lebih tinggi dari sisi tembok yang berbatasan dengan rumah Neng Elis, tentu aku memilih memanjat tembok itu. Praktis. Sayang, temboknya jauh lebih tinggi, sekitar tiga meter lebih.

Waktu sampai di tanah lumbung, keringat sudah membasah di punggung, dada dan tengkukku. Semuanya terbayar begitu melihat hamparan tikar di atas tanah kering di depan lumbung. Berjarak jauh dari pintu lumbung. Kuhitung ada lima orang laki-laki dewasa di atas tikar sana. Mereka hanya duduk diam bersila dengan rapih. Aku langsung ambil posisi paling belakang, benar-benar paling belakang. Mengambil ketenangan untuk mengatur nafas, dan perlahan menyesuaikan pada atmosfir di sini.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang