5

1.4K 197 10
                                    

======
Gagal
Deh
======

Seperti tahu aku akan menghampiri, gadis itu mendadak ngebut menata segala sesuatu yang dikerjakannya di atas meja. Matanya secara berkala mengecek jangkauan langkah kakiku yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Pintu  yang sejajar dengan kaca, dimana meja hidangan itu di letakan. Di sisi kaca bagian luar.

Mengetahui dia mempercepat pekerjaannya, aku tak mau kalah, juga mempercepat langkah meskipun pinggangku terasa linu. Konyolnya, makin aku mempercepat langkah, tangannya makin cepat pula bekerja. Sampai-sampai sikunya nyaris menjatuhkan gelas, namun tangannya cukup sigap mengendalikan posisi gelas kembali ke tempatnya semula. Aku malah seperti sedang menguber waktu. Kakiku makin cepat lagi—berniat setengah berlari. Tapi aku lupa mengencangkan posisi sarungku, dan kaki tersangkut sarung ... buuugh! Tubuhku tersungkur.

Gadis itu malah terkikik. Aku bangun cepat-cepat dan ... buuugh! Jatuh untuk kedua kalinya. Gadis itu sekarang tergelak, sampai kepalanya mendongak ke atas. Kurang asem! Merasa jengkel ditertawakan, aku bangun lagi dan menggulung sarungku sampai betis. Mataku memicing tajam ke arahnya.

Dia langsung menghentikan gelak tawa tak bersuaranya itu dan membalas menatapku tak kalah tajamnya. Seolah sambil berkata, 'apa!' meskipun tidak terucap. Kutarik nafas dalam-dalam satu kali dan menghembuskannya dengan sekali sentakan, lalu  melangkah kembali dengan cepat ke arahnya, masih dengan tatapan yang menghujam tajam.

Melihatku makin dekat ke pintu keluar, gadis itu tak bisa sembunyikan kegugupannya. Makin kacau menuntaskan pekerjaannya. Dia bahkan ngawur meletakan banyak sendok di atas nasi, lalu bergegas pergi.

"Hei, jangan kabur!" seruku. Tidak teriak, tapi dia pasti dengar.  Hanya pura-pura saja tidak dengar. Saking terburu-buru berjalan cepat, dia nyaris saja menabrak seorang ibu yang tengah membawa panci dengan kepulan panasnya.

"Neng kahade atuh." (Yang bener dong Neng)

"Punten pisan,Bi," sahutnya pendek sambil terus berjalan.

Ibu yang dipanggilnya Bi, itu terbelalak menyadari sendok bertaburan di atas nasi, "iyeu nanaonan aya sendok dina sangu, Neng!" kali ini ibu itu berseru cukup keras.

"Punten ieu tos teu kiat bade ka cai Bi." (Maaf ini sudah tidak tahan mau ke kamar kecil).

Dia lolos men.

"Itu tadi siapa, Bu?" tanyaku.

"Siapa?"

"Itu tadi yang ngacir buru-buru, yang ibu panggil Neng."

"Eh jangan suka aneh-aneh. Kamu teh sedang berobat di sini, jadi pikirannya kudu khusuk, jangan  ngagedekeun nafsu, sudah sana antri ambil makan."

"Kok nafsu dibawa-bawa sih Bu, salah nafsu apa, kan cuma tanya si Neng tadi itu siapa, tidak pake nafsu."

Si Ibu malah cengengesan, terus bilang, "tanya-tanya si Neng mah sama saja cari penyakit. Jangan berani-beraninya kamu ya."

"Si Neng punya penyakit menular, Bu?"

Tok! Kepalaku malah di keplak centong kayu.

"Sok, terus we ngomong, sekali lagi ngomong, Bibi potong jatah sarapan kamu, mau?"

"Ampun Bu," jawabku mundur teratur. Wah ancamannya menyangkut hajat hidup begini, kan repot.

Tapi setidaknya ada harapan lain yang tumbuh di benakku. Tadinya aku sudah pasrah dengan kegiatan di sini bakal menjemukan. Bertemu dengan kegiatan yang sama setiap harinya, selama enam bulan. Terkungkung tembok dan pagar tinggi. Tak ada koran, buku, ponsel atau apa pun yang boleh dibawa masuk selain alat-alat kepentingan ibadah, sekaligus terapi. Rokok saja tak boleh simpan stok. Bagi yang merokok, pengurus  memberi jatah sehari hanya tiga batang. Itu saja di potong satu batang sebagai jatah Jendral beserta jajarannya. Untunglah, Bill mengaku perokok, padahal tidak, jadi setidaknya lumayanlah.

DARAH MuDA (2) SURYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang