11. Masih adakah aku dihatimu?

456 36 0
                                    

Sudah 3 hari, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang dari rumah sakit. Jujur aku sangat tidak nyaman saat berada dirumah sakit. Rumah sakit hanya akan membuat ku tambah sakit karena aku memang tidak tahan dengan bau obat-obatan disana. Sementara Nova tidak henti-hentinya mengomeliku karena kondisiku yang bisa dikatakan masih belum pulih total.

Aku tersentak saat mendengar ponselku berbunyi. Aku kira itu Nova yang setiap hari rutin menanyakan keadaanku. Kadang aku merasa jengkel setiap hari diomeli layaknya anak kecil. Oh god, please? Aku bukan anak kecil lagi.

“Irfan?”gumamku.

Aku ingin sekali mengangkat panggilan darinya namun berat, seketika aku berpikir panjang. Mengapa? Mengapa baru sekarang dia menghubungiku? Kemana dia selama ini? Apakah sesibuk itukah sampai ia tidak mau tau, apakah aku masih bernafas atau tidak? Apakah aku sedang baik-baik saja atau tidak?
Haha, oh iya aku ini kan bukan siapa-siapa baginya, toh wajar saja dia tidak begitu peduli.

Tetapi bagaimana dengan dulu?
Ah, aku paham. Cukup tau. Sylia, pelase. Hentikan semua kebodohan itu. Kau hanya banyak berharap.
Tetapi tetap saja aku ingin tahu.
Masih adakah aku dihatimu?
Meski begitu, aku tidak kalah dengan egoku untuk tetap jual mahal. Aku masih saja tetap mau menjawab telpon darinya. Ah, Syila. Lagi-lagi kau lebih mementingkan perasaan orang lain ketimbang perasaanmu sendiri. Hei kau, ajarkan aku egois, karena selalu menjadi baik kepada orang sudah menyakiti kita itu benar-benar menyakitkan.

“Ha..hallo?”

“Syila? Kamu dimana? Aku dengar kamu masuk rumah sakit? Kamu baik-baik aja?”

“Iya, sekarang udah gak dirumah sakit.”

“Hmm syukurlah, maaf kalo aku gak bisa nemanin kamu. Karna aku baru tau kabar ini dari sahabatmu.”

“Aku gak apa-apa,”

“Kamu mau aku bawain apa? Aku ke apartemen kamu ya?”

“Gak usah, aku lagi gak selera apapun.”

“Kok kamu jawabannya gitu? Aku udah berbaik hati loh bela-belain mau ketemu kamu. Kok kamu malah dingin gitu sama aku?”

“Kalo kamu masih sibuk, ya udah sibuk aja. Gak usah mikirin aku. Aku bukan anak kecil lagi yang harus kamu perhatiin gitu.”

“Syila bukan gitu, aku cuman...”

Tut..tut..

Aku memutuskan sambungan telpon dan memilih untuk kembali dengan kesendirianku.

Aku marah, sangat marah. Aku ingin sekali bertanya padanya tapi aku tak mampu. Rasa sayangku terlalu dalam sehingga aku tak ingin juga dia terluka karna pertanyaanku. Aku tau, tujuan dia baik dengan cara menemuiku hanya sekedar untuk melihat kondisiku. Namun aku udah terlanjur kecewa dan kesal dengannya. Andai saja aku tidak pernah tau tentang kebenaran itu. Aku mungkin tak akan bersikap seperti ini.
Aku seperti ini agar kau tau, tak selamanya aku mengemis kehadiranmu.


☆☆☆


Seperti biasa, aku kembali ke profesiku sebagai psikiater. Sudah lama tidak mendengar keluhan dari beberapa orang untuk beberapa hari terakhir ini. Sudah menjadi makanan sehari-hariku memberikan masukan positif untuk banyak orang, sementara untuk diriku? Aku tidak bisa memberikan masukan.

“Pagi mbak. Gimana keadaan mbak?”

“Alhamdulillah, udah lebih baik.”

“Hmm syukurlah kalo gitu mbak, mbak tau? Mega khawatir banget sama mbak.”

“Makasih ya Mega udah perhatian banget sama mbak. Mbak serasa punya keluarga disini.”

“Mbak sudah seperti kakak Mega sendiri, jadi mbak jangan pernah merasa sendiri.” Ujar Mega sambil tersenyum.

“Kalo gitu Mega keluar dulu ya, mbak. Nanti kalo mbak perlu sesuatu, mbak bisa panggil Mega.”

Mati Rasa - Completed✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang