10. Menepi

465 38 0
                                    

Ku tau dirimu dulu
Hanya meluangkan waktu
Sekedar melepas kisah.. sedihmu..
Mencintai dalam sepi..
Dan rasa sabar mana lagi?
Yang harus ke pendam dalam
Mengagumi dirimu..
Melihatmu genggam tangannya,
Nyaman didalam pelukannya.
Yang mampu membuatku..
Tersadar..
Dan sedikit menepi..

Menepi. Lagu yang akhir-akhir ini sering ku dengar disalah satu aplikasi musik, lagu ini ditulis Andry Priyanta dan dipopulerkan oleh Ngatmombilung. Lagu ini secara tidak sengaja menggambarkan perasaanku saat ini. Sudah 3 tahun namun belum ada kejelasan darinya. Sementara aku memendam perasaan rindu dan luka kala aku mengetahui semuanya sembari bertanya apakah semua berita yang ku dapat ini benar adanya? Sulit dipercaya tapi itulah adanya.

Aku sudah terlalu sering menceramahi banyak orang. Namun aku tak mampu menceramahi diriku sendiri. Aku tau melupakan itu sulit, namun tetap saja aku mengajarkan mereka untuk melupakan.

Aku tau memilih untuk tetap bertahan itu sulit. Namun aku tetap saja mengajarkan mereka untuk berhenti bertahan dalam ketidakpastian. Aku mengatakannya namun aku tak mampu melakukannya. Semunafik itukah aku? Seegois itukah aku?

Aku malu pada diriku sendiri. Malu karena aku sangat bodoh ketika sedang jatuh cinta. Mengapa begitu mudahnya hatiku luluh? Secuil perhatian membuat hatiku berpaling dari kekosongan. Kekosongan yang setiap saat aku pertahankan karna aku tau, ketika hatiku sudah terbuka, maka aku akan buta. kemudian kembali hancur setelah aku dengan mudah memberikah seluruh isi hatiku sampai-sampai tak ingin melihat keburukannya. Padahal sudah mati-matian aku menjaga agar aku tidak melukainya lagi. Ah, cinta selalu saja membuatku hilang akal.
Seperti lagu yang saat ini kudengar.

Haruskah aku menepi?
Menepi dari semua yang sudah ku harapkan.
Menepi dari semua yang sudah ku jalani.
Menepi untuk memberikan ruang  kepada orang yang lebih ia pilih.
Menepi karena memang seharusnya aku pantas untuk itu.

Sebab rasa sabar mana lagi yang harus ku pendam? Ya tuhan, rasanya sakit sekali.

Kau, yang pernah singgah disini..
Dan cerita yang dulu engkau, ingatkan kembali..
Tak mampu, aku tuk mengulang lagi..
Biarlah kenangan kita pupus dihati..
Tak ada waktu kembali,
Untuk mengingat lagi..
Mengenang dirimu diawal dulu..
Kutau dirimu dulu,
Hanya meluangkan waktu.
Sekedar melepas kisah sedihmu..
Mencintai dalam sepi..
Dan rasa sabar mana lagi?
Yang harus pendam dalam
Menganggumi dirimu..
Melihatmu genggam tangannya
Nyaman didalam pelukannya
Yang mampu membuatku..
Tersadar..
Dan sedikit
MENEPI..

Aku semakin tak dapat lagi membendung semua kesedihanku. Aku mencoba untuk tenang namun sulit. Senyuman ku didepan banyak orang hari ini bukanlah senyuman yang asli.

Sekuat tenaga aku menjadi Psikiater yang profesional dengan cara mengesampingkan masalah pribadiku demi kebaikan semua konsultanku.
Aku lebih banyak diam dan tidak ingin bicara banyak. Jika setiap kali ada yang bertanya tentang perubahan sikapku maka jawaban yang bisa aku berikan adalah bahwa aku sedang tidak enak badan.

“Mbak?”

Aku tersentak dari tidurku dan berusaha untuk tetap kelihatan tenang.
“Iya, Ga?”

“Mbak gak pulang? Akhir-akhir ini mbak jadi sering ketiduran dimeja lagi. Mbak gak kenapa-kenapa, kan?”

“Mbak gak apa kok ga, mbak terlalu kecapekan mungkin.”

“Kalo begitu mbak seharusnya gak usah kerja hari ini, mbak harus banyak istirahat. Kesehatan mbak jauh lebih penting.”

“Iya, kamu bener ga. Makasi ya udah ngingatin mbak.”

“Iya sama-sama, mbak. Biar Mega temanin mbak pulang, ya? Mega takut, ntar mbak kenapa-kenapa dijalan.”

“Gak perlu ga, mbak gak mau repotin kamu. Mbak bisa kok jaga diri mbak, lagi pula pasti kamu sibuk banget sama penelitian kamu, kan? Lebih baik kamu selesaikan aja itu secepatnya. Mbak baik-baik aja kok.” Ucapku setelahnya, kemudian aku berdiri. Tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan pandanganku berputar, seketika aku langsung jatuh dan tak sadarkan diri.

☆☆☆


Aku membuka mataku perlahan dan melihat ruangan disekelilingku.
“Rumah sakit?”

Aku melihat Nova yang tertidur disofa ruangan itu bersama Ali. Aku merasa sangat haus dan mencoba untuk mengambil segelas air dimeja namun karena kondisiku yang masih lemah. Aku menjatuhkan gelas itu dan tidak sengaja membangunkan mereka.

“Syila?”

Nova pun langsung menghampiriku dan menanyakan keadaanku.

“Loe baik-baik aja, kan? Loe kenapa? Loe kok bisa sampe kek gini?” Tanyanya  beruntun.

“Yang, satu-satu dong nanyanya.” Timpal Ali.

“Ali, loe diem. Gue gak mau ngasi ampun sama ni anak.”

“Nova, loe gak boleh ngomong gitu sama suami loe.” Ujarku.

“Gapapa kok Syila, aku udah biasa ngadepin sikap dia yang seperti itu.” Jawab Ali.

“Makasi ya li, udah mau sabar ngadepin kadal bersayap ini.”

“Dihh parah loe la, dalam keadaan kek gini masih sempet loe nistain gue.”

“Kok aku bisa ada disini? Kalian juga?” Tanyaku penasaran.

“Loe jatuh pingsan di tempat praktik loe. Mega asisten loe yang bawa loe kesini terus dia juga ngabari gue.”

“Hmm gitu, maaf ya jadi ngerepotin kalian.”

“Apaan sih loe, kaga. Kaga ada yang ngerasa direpotin. Gak enakan banget sih loe.”

“Hehe.”

“Loe kenapa sih, la? Kok bisa sampe bisa kek gini? Bikin gue hampir jantungan tau nggak. Ntar kalo loe gak ada siapa dong yang gue ajak berantem lagi? Ihh amit-amit pokoknya jangan sampe.”

“Gue baik-baik aja kok va, mungkin gue lagi kecapekan aja.”

“Behh, ini ni. Kebiasaan loe yang gak bisa jaga kesehatan. Syila, memang sih kita harus profesional dengan kerjaan kita. Tapi loe juga harus pikirin kesehatan loe. Loe disini buat tugas penting. Loe ninggalin keluarga di Jakarta untuk bisa jadi Psikolog handal dan gue ngerti itu. Tetapi loe juga harus pikirin kesehatan loe, Oke?”

“Hehe, iya nyonya Ali.”

“Loe udah kasi tau Irfan kalo gue ada disini?”

“Udah, tapi dia gak jawab telpon gue. Kebangetan tu anak. Gue telpon gak diangkat. Gue chat gak dibalas. Sesibuk apa sih tu anak sampe dia mendadak jadi gak peduliann gini? Awas aja ya. Kalo sempet dia macem ma-”

“Gue gaapa kok Va, mungkin dia lagi banyak kerjaan. Kamu jangan Nethink gitu.” Ucapku yang memotong pembicaraan Nova.

Nova mengangguk dan mencoba untuk mengerti dengan perkataanku. Keheningan terjadi beberapa saat sebelum akhirnya Ali memecah keheningan.

“Kamu gapapa, Syila?”

“Iya li, gue gapapa. Kalian udah berapa lama disini?”

“Kami udah lumayan lama disini, sejak Mega mengabari kalau kamu masuk rumah sakit.”

“Maaf udah ngerepotin kalian.”

“Apaan sih loe, jangan ngomong gitu. Sekali lagi loe ngerasa gak enakan gitu, gue tampol loe.” Ancam Nova.

“Cepat sembuh dong beb, gue gak suka liat loe kek gini.”

“Iya, sekali lagi makasih ya.”

“Unchhh,” Nova memelukku dengan tingkah alay-nya

Mati Rasa - Completed✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang