16. Membuatmu Tersenyum

407 27 0
                                    

Dimas selalu memberikanku lelucon sehingga membuatku tidak kuat menahan tawa. Dia membawaku berjalan-jalan diluar ruangan rumah sakit dengan kursi roda dan memperkenalkan apa saja yang kami temui.

“Nah, kalo itu namanya UGD, do you know UGD?”

“Ck, gue udah tau lah Dim, semua orang juga tau kalo itu UGD. Sudah Dimas, gue gak anak kecil yang harus loe kenalin satu-sau apa aja yang ada disini.”

“Mwhehehe, katanya loe gak suka rumah sakit. Ya siapa tau aja kan jadi gak tau apa aja yang ada disini.”

“Ya kali, bukan berarti gue gak tau juga.”

Drtt...drrt...

“Dim, hp loe bunyi tu.”

“Ya ampun, siapa sih yang udah ngacauin hari indah gue.” Ucapnya sambil mengambil ponsel disakunya.

“Bentar ya, jangan kemana-mana. Disini aja.” Ucapnya ala-ala presenter acara talkshow yang ada disalah satu stasiun tv.

Sementara Dimas menjawab panggilan telpon, tiba-tiba seorang perawat menghampiriku.

“Dengan pasien Syila?”

“Iya, saya sendiri. Ada apa?”

“Mari, kita akan melakukan kemotrapi untuk pengurangan jumlah sel kanker yang ada diotak.”

“Apa? S-sel kanker?” Aku terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan perawat tadi. Untuk memastikannya aku bertanya lagi pada perawat itu.

“Hehe, mungkin anda salah pasien. Saya baik-baik aja kok.”

“Syila Faradita. Bukankah itu nama anda?”

Deg.

Tidak mungkin, tetap saja aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan perawat tadi. Tapi itulah kenyataannya. Tidak mungkin perawat itu salah menyebutkan nama seseorang. Syila Faradita. Benar, itu memang namaku.

“Syila, sorry lama, tadi ada....” Ucapan Dimas terhenti saat melihatku mematung dikursi roda bersama seorang perawat yang sedang mencoba mengajakku bicara.

“Sus, nanti kami akan kesana.”

“Kalo begitu saya permisi dulu.”

“Kenapa?”

“Sy..syila, g..g..gw.”

“Kenapa loe sembunyiin ini dari gue? Kenapa loe gak ngasih tau gue?!”

“Syila, dengerin penjelasan gue dulu.”

“Haha, gini aja terus. Semua orang seneng banget bohongin gue. Waw waw.. hebat..hebat sekali” Ucapku sambil tertawa miris dan bertepuk tangan atas kebenaran pahit yang ku dapatkan lagi.

“Syila,” Ucapnya sambil berusaha untuk menenangkan ku. Sementara aku asik dengan pujian miris untuk semua yang sudah terjadi dalam hidupku. Mengapa? Mengapa semakin bertubi-tubi?

“Hey.. hey, dengar gue.. pertama Dia ngerebut ayah gue, kedua loe pernah nyakitin gue, ketiga orang yang gue cintai khianati gue, dan ke empat? Hiks hiks hiks.. hahaha.. loe bohongin gue lagi.” Ucapku sambil tertawa miris untuk kesekian kalinya.

“Kenapa sih gak ada yang ngijinin gue buat bahagia disini?!”

“Syila, tenangin diri loe,”

“Kenapa sih dunia kejam banget sama gue?!”

“Sy-“

“Kenapa sih gue…“

“SYILA, HENTIKAN!”

Seperti tidak punya pilihan lain. Dimas meninggikan nada suaranya agar aku berhenti untuk membual yang aneh-aneh.

“Siapa yang ngelarang loe bahagia? Siapa yang kejam? Siapa? Siapa? Gak ada Syila. Tenang, loe jangan kek gini.”
Sementara aku hilang akal dan tidak terlalu mendengarkan ucapan Dimas. Demi apapun aku sudah kehilangan kendali. Jangankan untuk hidup. Bahkan untuk tersenyum pun sangat sulit, semuanya begitu menyakitkan.

“Gue gak ada gunanya lagi, gue bakal nyusahin banyak orang setelah ini.”

“Gak, loe gak nyusahin.”

“Loe gak denger tadi perawat itu bilang apa? Gue sakit Dim, gue sakit parah! Dan itu gak main-main. Oh gue tau, gak lama lagi gue bakal mati. Dan hushhh gue terbang.. yeayyy gue terbang, loe tau apa yang akan terjadi abis tu? gak ada yang akan nyakitin gue lagi. Hahahaha. Loe denger itu? Gue ntar lagi mati.”

Dimas yang melihatku seperti itu hanya menatapku miris. Bahkan tak sengaja air matanya ikut mengalir melihat tingkahku yang semakin tidak terkendali. Seperti tidak mengenal rasa. Aku benar-benar mati rasa.

“Tidak ada lagi cinta, kebahagiaan dan tidak ada tempat untuk siapapun.”

Mati Rasa - Completed✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang