Aku terkejut melihat sosok yang ada didepanku. Tubuhku terasa kaku. Mataku tak berkedip. Pikiranku selalu berusaha untuk memastikan apa yang kulihat ini salah atau tidak.
"Dimas?"
Sementara orang yang dihadapanku ini hanya tersenyum sambil memperhatikanku yang masih tampak kaget.
"Mwhehehe, liatinnya biasa aja kalik. Kek abis liat setan aja kamu."Aku langsung membuang wajahku dari hadapan orang itu dan memilih untuk mengabaikannya."Ngapain lo kesini?"
"Jangan galak mulu kenapa sih? Dari dulu kamu gak pernah berubah. Gak ada manis-manisnya sama cowok."
Aku mendongak kearahnya dan menatapnya datar,"bukan urusan loe, gue suka jadi diri gue sendiri."
Dimas terkekeh mendengar jawabanku dan tetap melanjutkan pembicaraannya.
"Oh iya btw gue kesini cuma mau nemuin loe."
"Untuk apa? Konsultasi?"
"Emang disini ada pelayanan konsultasi?" Tanyanya yang membuatku jengkel.
"Ck." Decih ku sambil menepuk jidatku,"Sana sana, orang bego gak boleh masuk."
"Hahaha, gue kan nanya. Masa dibilang bego. Hmm bego-bego gini loe kan pernah cin-"
"Sekarang udah enggak, puas?" Timpalku.
"Haha, dasar cewek. Selalu sok jual mahal."
"Kalo loe kesini cuma mau buang-buang waktu, tenaga, dan emosi gue. Mending loe cabut aja deh."
"Haha, gue kesini datang baik-baik kok. Gak macem-macem."Aku hanya diam dan tidak mau berbicara banyak dengan orang itu.
"Oiya, sebenernya gue memang mau konsultasi sama loe."
"Konsultasi apaan?"
"Hmm, keknya disini bukan tempat yang cocok. Gue ngerasa kurang nyaman disini. Gimana kalo kita ngobrolnya dicafe aja? Itung itung sekalian kita bernostalgia dengan masa lalu kita."
Aku berhenti berkutat dengan laptopku dan mengalihkan pandanganku kearah Dimas.
"Cih, pinter juga modus loe.""Gue ga modus, gue memang butuh konsultasi. Masalah yang tadi gue cuman bercanda."
Huft, lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas dan mencoba untuk tetap tenang,"Apaan?"
"Aish, kan tadi gue udah bilang. Gak disini. Diluar aja, kemana kek."
"Ihh, yodah. Resek amat loe jadi cowok." Jawabku frustasi sambil bersiap mengambil tas dan mengambil kunci mobilku.
"Resek ginikan loe kan pernah…"
"Sekali lagi loe ngomong gue tebas loe."
"Hehe, iya maaf."
Mau tidak mau aku harus menuruti permintaannya untuk konsultasi diluar. Jujur, aku sangat malas keluar saat ini. Namun ini profesionalitasku sebagai psikiolog untuk bisa membuat kenyamanan antara aku dan konsultan saat berkonsultasi. Tidak harus didalam ruangan yang kedap suara. Dimana pun asal itu tempat yang tenang dan nyaman bagi konsultanku.
Sesampai disebuah cafe, aku pun mulai menanyakan beberapa pertanyaan tentang keluhan apa yang dia miliki. Jika kalian bertanya, kenapa aku tetap mau meladeninya meski dulu itu dia adalah masa laluku? Karna itu adalah keprofesionalitasan ku, selain itu aku memang sudah lama melupakan masa lalu kami. Dan aku tidak ingin merusak keprofesionalitasan ku dengan memandang apa dan siapa mereka.
Jadi, aku hanya menganggapnya biasa saja. Tidak seperti dulu, dan aku yakin kalian paham itu. Aku dan dia sekarang hanya sebatas orang asing, dan sekarang berubah menjadi konsultan dan psikiater.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati Rasa - Completed✓
General FictionSyila berusaha mati-matian menyembunyikan rasa sakitnya dari semua orang. Kisah percintaannya pernah mengalami kegagalan sebelumnya, sampai pada akhirnya seseorang datang setelah hari patah hatinya. Orang itu ia yakini akan memberi warna baru dalam...