1.Syila Faradita

2.6K 98 2
                                    

Drtt drtt...

Dering ponsel membuatku terbangun. Hampir saja aku tenggelam dalam tidur nyenyakku, mimpi menyebalkan  itu lagi-lagi mendatangiku. Dengan gerakan setengah sadar aku menjawab panggilan itu.

“Hmm, halo?”

“.....”

“Oke oke, otw”

“....”

“Hmm... dah”

Aku menutup panggilan dan meletakan ponsel itu di nakas. Kemudian  bangun dari rajang, dan berjalan gontai ke arah kamar mandi.

Cermin. Sejenak aku menatap cermin yang ada dikamar mandi apartemen tempat dimana aku tinggal. Setiap hari aku menatap wajahku dengan mata yang sembab di sana. Bukan, itu bukan khas orang bangun tidur, itu memang kenyataannya aku nangis setiap malam. Orang-orang mengira aku si tukang begadang. Aku hanya mengiyakan saja dan memilih untuk tidak menjelaskan apa pun.

Seperti biasa, aku membuka praktik pada jam 7 pagi, hari ini ada konsultan langgananku yang meminta aku harus bertemu dengannya pagi ini juga. Padahal aku sangat lelah melayani beberapa konsultan kemarin, sampai-sampai membuatku tertidur diruang kerja. Untungnya, asistenku membangunkanku dan menyuruhku untuk pulang.

Setelah drama yang cukup lama dikamar mandi. Aku pun bersiap pergi ke tempat praktikku untuk bekerja seperti biasa. Suasana kota Pekanbaru yang tak sepadat kota Jakarta membuatku tidak terlalu terburu-buru dalam berkendara. Aku begitu santai mengemudikan Jazz ku sambil mendengar ada informasi menyenangkan apa di radio.

Sesampai di tempat kerja, aku langsung disapa hangat oleh beberapa petugas yang menjaga tempat kerjaku. Aku hanya tersenyum sambil menjawab ucapan selamat pagi dari mereka.

“Mbak Syila sudah sarapan?” Tanya Mega yang kini sedang ada tugas magang di tempat praktikku.

“Belum ga, mbak buru-buru karna tadi ada yang telpon mau konsultasi ke mbak.”

“Ya udah kalo gitu, Mega belikan makanan ya buat mbak.”

“Hehe, gapapa ga, mbak gak mau repotin kamu, nanti mbak akan makan siang aja.”

“Mmm gapapa kok mbak, gak ngerepotin, Mega seneng bisa direpotin sama mbak, malah mega yang mau direpotin. Mbak udah kayak kakak Mega sendiri, jadi mbak jangan nolak ya?”

“Hehe, ya sudah. Mbak tunggu”

“Mbak mau makan apa?”

“Mmm bubur ayam mang Asep yang dideket simpang aja.”

“MasyaAllah, mbak ini. Cantik-cantik seleranya sederhana banget.”

“Hehe, kamu mah bisa aja Mega. Yaudah sana, keburu diborong ntar buburnya. Gitu-gitu bubur ayam mang Asep banyak penggemarnya. Termasuk mbak.”

“Ashiapp, laksanakan” Jawab mega sambil menirukan ala-ala gaya prajurit yang  diperintah komandan. Mega kemudian berjalan keluar sementara aku sibuk merapikan barang-barang diatas meja.

“Permisi.”

“Masuk.”

“Silahkan duduk,”

Itu dia konsultan pertamaku yang menelponku pagi ini. Ia masuk dengan penuh kecemasan, dari raut wajahnya, sepertinya ia mengalami sesuatu yang sangat buruk. Perasaanku semakin tidak enak saja.

“Ada cerita apa hari ini?” Tanyaku to the point.

“Gue takut, la.”

“Takut? Takut kenapa? Plis deh ra, jangan buat gue cemas.”

“Lu tau ada drama apa hari ini?”

“Drama? Maksudnya?”

“Gue bunuh Roby.”

“Apa? Loe gilak?”

“Iya,  gue emang udah gila. Dia pantes untuk mati!”

“Astaga ra, gue tau Roby itu udah jahat sama loe, tapi gak gini jugak caranya loe balesin perbuatan dia ra. Loe gak bisa ra, ngambil nyawa orang semau loe.” Astaga, aku gak habis pikir kalau yang dia katakan itu benar. Iya, dia itu adalah Farah, langganan konsultasiku.

“Gue gak tau ra, gue ngerasain kepuasan tersendiri saat ngebunuh dia, loe tau? Hari ini adalah hari pernikahan dia dengan Clara selingkuhan dia. Dan gue gak bisa diem gitu aja. Gue gak akan biarin dia bahagia diatas penderitaan gue. Lebih baik laki-laki brengsek itu mati dari pada nyakitin cewe lain.”

“Ya ampun, biasanya sebelum loe mau bertindak sesuatu, loe hubungin gue kan? Jadi, apa guna gue mati-matian ngasi loe masukan? Ck, gak habis pikir gue.”

“La, gue gak tau, gue ga mau ngelakuin ini sebenernya. Keinginan ini muncul tiba-tiba setiap kali gue ingat kelakuan dia ke gue. Gue ngerasa gak dikasi keadilan sama tuhan, gue ngerasa kalo setiap kebaikan gue gak pernah dihargai dimata semua orang. Gue stress La, gue depresi,  loe gak tau rasanya diposisi gue gimana! Loe gak bakal ngerti La, Loe gak ngerti... hiks hiks.. hiks, dan sekarang gue takut, disatu sisi gue seneng habisin dia, disatu sisi lain gue ngerasa berdosa La. Gue takut..” Farah menutup wajahnya dan semakin meluapkan emosinya. Sesekali tangannya yang halus itu mengusap setiap tetesan bulir bening yang jatuh dari matanya.

“Huftt, okkay. Sekarang denger gue, bukannya gue gak ngerti dan ga mau ngerti masalah loe. Cuman yang gue sayangkan dari loe, kenapa? Kenapa mengambil keputusan secara terburu-buru. Gue ngerti rasa sakit lu gima—”

“TAPI GUE UDAH NGASIH SEGALANYA LA! SEGALANYA”
“IYA GUE NGERTI, LU DIEM DULU!”

Hening, Farah benar-benar sudah kelewatan, tapi ini juga bukan sepenuhnya salah dia. Aku mengenal Farah sejak kami duduk dibangku SMP, dan aku kembali bertemu dengannya saat dia datang ke tempat praktikku beberapa bulan yang lalu. Dia selalu mengeluhkan kebiasaan dia yang semakin hari semakin aneh. Dia bercerita tentang kekasihnya Roby. Pria itu adalah cinta pertamanya sejak SMA, ia bercerita ketika awal berpacaran, Roby sangat memperjuangkannya. Bahkan, sampai akhirnya membuat Farah bertekuk lutut di hadapannya. Setelah 5 tahun berpacaran sikap Roby mulai berubah, ia kasar dan bersikap semena-mena. Saat aku mendengar itu pertama kali dari Farah, aku udah saranin untuk menjauhi laki-laki seperti dia, namun cintanya pada laki-laki itu begitu besar. Dia slalu meyakinkanku bahwa Roby akan berubah jika ia bisa bersabar. Tapi apa yang ia dapat? Kekecewaan yang begitu menyakitkan sehingga merusak mental dan jiwa psikisnya. Jika sudah seperti ini kejadiaannya, masih pantaskah perlakuaan seperti ini dibilang Cinta?

“Sekarang dengerin gue baik-baik, jadikan ini pelajaran buat loe supaya loe gak mudah lagi terpedaya dengan laki-laki kek gitu. Gue ngerti perasaan loe, udah gak cinta lagi namanya kalo udah ngerusak. Sekarang loe liat? Gimana hidup loe sekarang? Berantakan? Hancur? Semuanya yang loe anggap buruk? Plis, dengerin gue sekali ni aja. Untuk saat ini loe jangan takut, loe harus tenangin diri loe. Masih ada kesempatan buat loe bisa berubah, selagi loe masih dikasi kesempatan hidup. Pergilah dari kota ini untuk beberapa bulan atau tahun. Loe harus tenangin diri loe. Sekarang gue tanya? Kapan terakhir kali loe ibadah?”

Menggeleng.

“Mulai sekarang, loe harus bisa berdamai dengan masa lalu loe, lupain kenangan manis dan pahit loe dulu. Selagi loe masih ngingat itu. Loe gak akan pernah maju, loe gak akan pernah tenang, karna loe layak dapatkan ketenangan. Inget loe didunia ni hidup untuk apa? Loe harus tau apa tujuan loe diciptakan. So, jangan malu untuk memulai awal yang baik. Gak ada kata terlambat untuk berubah. Allah gak akan ngubah nasib suatu kaum sebelum dia mau berusaha merubahnya.”

“Iya la, makasih banget dah ngingatin gue. Gue juga takut dipertemukan lagi dengan orang kek Roby.”

“Pegang kata-kata gue, jika loe mau berubah jadi lebih baik dan belajar dari kesalahan lu dimasa lalu, gue yakin tanpa loe cari pun, jodoh terbaik akan datang ke loe.”

Kasus pertama selesai hari ini, kira-kira akan ada cerita menyakitkan dan membahagiakan apa esok?

Mati Rasa - Completed✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang