Bagian 4

88 7 0
                                    

BAGIAN 4

Sabtu pagi pukul 8 pagi.

"Tumben banget Yulia hari ini tidak masuk lagi. Sudah dua hari ini dia tidak masuk kerja." Ujar kepala cabang kepada Nia. "Bisa bantu cari info untuk itu?"

"Sudah saya coba hubungi hapenya, Pak, tapi tidak aktif." Nia menjelaskan.

"Tidak biasanya dia tidak memberi kabar kalau dia tidak masuk." Kata kepala cabang itu lagi.

"Nanti sore sepulang kantor saya coba mampir ke kost-nya ya, Pak."

"Nah, boleh. Boleh banget. Kebetulan ini Sabtu dan kerja setengah hari."

"Oke, Pak. Akan saya kabari Bapak begitu dapat infonya." Ucapan Nia itu mendapat acungan jempol dari atasannya.

Begitu selesai jam kerja kantornya, Nia langsung bergegas ke kost tempat tinggal Yulia.

Siang itu kebetulan perjalanan cukup lancar sehingga tidak memakan waktu lama untuk tiba di tujuannya.

"Sepertinya ada penutupan jalan, Mbak." Kata sopir taksi. "Kita tidak bisa masuk."

"Penutupan jalan?" Nia mematikan ponsel yang dipakainya untuk menghubungi Yulia untuk kesekian kalinya.

"Iya, Mbak. Itu ramai sekali di depan sana." Sopir taksi menunjuk kerumunan orang di depan mereka.

"Waduh. Berhenti disini saja, Pak." Kata Nia memberikan uang sesuai harga yang terpasang di argo. "Saya jalan kaki saja, sudah dekat kok. Tak usah kembali, untuk Bapak saja."

"Terima kasih, Mbak." Sopir mengatur argonya dan memasang persneling mundur.

"Kok perasaan mendadak jadi nggak enak gini ya?" Nia berdiri sejenak saat turun dari taksi. "Ah, semoga cuma perasaanku aja."

Sejenak ditatapnya kerumunan orang di depannya, lalu diputuskannya melangkah. Seorang remaja kebetulan melintas di depannya. "Maaf dik."

"Eh iya, kak." Remaja lelaki itu berhenti saat dipanggil oleh Nia.

"Kalau boleh tau, ada apa ya ramai begitu?"

"Ada yang meninggal, kak." Sahut remaja itu yang kemudian didekati temannya.

"Iya, meninggal, sereeemmm.... Hiiii...." Temannya yang baru datang itu ikut nimbrung.

"Meninggal? Serem?" Nia bergumam mengulangi perkataan keduanya. "Oh terima kasih ya, dik."

"Iya, kak." Mereka kembali berlari meninggalkan Nia yang semakin terheran itu. Dipercepat langkahnya mendekati kerumunan orang itu.

"Lho, itu bukannya...." Semakin dekat, jantung Nia semakin berdegup kencang. Orang-orang di sekitar sana menatapnya saat melangkah lebih jauh.

"Mau cari siapa, Neng?" Salah seorang warga di antara kerumunan bersuara.

"Maaf, permisi. Assalamualaikum." Nia menyapa. "Ini ada apa ya ramai begini?"

"Ada yang meninggal, Neng." Warga tadi yang seorang bapak tua menjawab.

"Meninggal?"

"Ya, mati, Neng." Sambung bapak tadi. "Bunuh diri."

"Bunuh diri?" Nia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Minum Baygon gitu?"

"Bukan." Sahut tetangga bapak yang duduk di sebelahnya. "Gantung diri, Neng."

"Iya, gantung diri." Si bapak menimpali.

"Astaghfirullah hal adzim!" Sampai terloncat Nia mendengar keterangan bapak itu.

"Laki-laki kah yang bunuh diri itu, Pak?" Tanya Nia lagi.

"Oh, bukan, Neng. Cewek cantik."

Nia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. 'Amit-amit, amit-amit. Semoga bukan dia. Semoga orang lain."

"Primadona warga sini, Neng." Lanjut si bapak.

Mendengar kata primadona, perasaan Nia semakin tidak tenang. "Maksud Bapak?"

"Primadona warga sini ya cuma satu, Neng. Si Yulia. Nggak ada lagi."

"Yulia. Astaghfirullah hal adzim." Mendengar nama temannya, Nia langsung melesat ke dalam rumah kost itu.

Beberapa orang disana terkejut melihat kemunculannya. Tepat di saat Nia tiba, saat itu dia melihat beberapa warga sedang sibuk menurunkan tubuh kaku Yulia yang tergantung di kamarnya.

"Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un." Histeris Nia memeluk tubuh kaku sahabatnya itu ke lantai dibantu oleh beberapa warga disana. Air matanya tumpah saat itu juga. "Yuliaaa, kenapaaa.... Kenapaaa, Yul...??"

Tubuh kaku Yulia terbujur kaku di lantai kamarnya setelah diturunkan dan direbahkan. Nia hanya bisa menangis tanpa henti melihat kini sahabatnya sudah tak bergerak lagi di depannya.

"Maaf, bisa beri tempat sedikit?" Seorang warga berkata kepada Nia yang masih tak henti menangis itu. Dengan mengusap wajahnya, Nia pun berdiri dengan mata tak bisa berpaling dari wajah sahabatnya yang kini sudah pucat itu.

"Saya sudah panggil dia dari kemarin tidak ada jawaban," Kata seorang ibu.

"Bu Lasmi." Nia yang mengenali ibu itu sebagai ibu kost memanggilnya.

"Neng Nia." Bu Lasmi menggamit lengan Nia. Tampak dia juga shock mendapatkan kejadian itu di kost miliknya.

"Dari kemarin aku hubungi dia tidak ada kabar." Dalam tangisnya, Nia berusaha menjelaskan. "Dari kemarin dia sudah tidak masuk kerja. Hapenya mati dan tidak bisa dihubungi."

"Kemarin ibu masih melihat Yulia keluar beli sarapan. Ibu masih tanya kok dia tidak kerja." Bu Lasmi ikut menerangkan. "Dia hanya tersenyum dan bilang lagi nggak enak badan."

"Sejak itu ibu tidak melihat dia keluar dari kamar ini lagi." Sambungnya. "Bahkan ke kamar mandi pun tidak. Biasanya kan dia nitip pakaian yang mau dicuci, tapi ini nggak."

"Awalnya sih ibu nggak curiga, tapi siang ini saat si bibi sedang bersih-bersih rumah, tangannya iseng-iseng memegang gagang pintu dan ternyata nggak dikunci. Pas dia buka..."

Air mata Nia semakin menetes mendengar penuturan si ibu kost. Sepasang matanya masih tak percaya akan apa yang dilihat di depannya itu.

BERSAMBUNG

DIFFERENT WORLD (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang