DELAPAN

423 54 17
                                    

Maaf gaes, lama nggak update... sulit membagi waktu. Pengen nangis rasanya😭

Happy reading and sorry for typo

"Aku tak akan membiarkannya! Jangan harap kau bisa memiliki adikku!" Suara menggelegar seorang pemuda memecah kebisingan tempat itu. Dia berjalan dengan angkuhnya melewati orang-orang yang menghalangi jalannya menuju tempat Plan dan Mean yang sedang berpelukan menghantarkan segala perasaan mereka. "Tak akan kubiarkan mahkluk sepertimu mendekati adikku!" desis pemuda itu, memandang tajam pada Mean yang masih mendekap Plan dalam pelukkannya.

Tidak rela bila ia harus terpisah dari mate yang telah lama dinantikannya, Mean memikirkan banyak cara untuk membawa Plan pergi bersamanya. Sayang keadaan tak mendukungnya sama sekali. Ingin membawa Plan kabur ke Moonstone Pack tapi saudara angkat mate-nya adalah penyihir yang telah lama mengabdi padanya, jelas Lay akan mudah menemukan mereka. Ingin membawanya paksa lebih tak mungkin lagi, pasti Plan tak akan marah padanya bila melukai warga desa. Mean harus apa?

"Menjauh kau dari adikku!" pemuda yang tak lain adalah Blue-kakak kandung Plan-berusaha memisahkan pelukan Mean pada Plan. Dengan kasarnya ia menghentakkan tubuh Mean dan berakhir dengan sang alfa terjungrik ke tanah yang basah. Blue meraih tubuh adiknya yang mungil.

"Phi, apa yang kau lakukan?!" bentak Plan tak terima dengan perlakuan sang kakak. Perlu kalian ingat, bibir Plan mencebik dan itu imut menurut Mean. Alfa itu tak memikirkan tubuhnya yang kotor karena tahan yang mengenainya tapi dia malah fokus pada reaksi pemuda manis berstatus mate-nya.

"Mau-maunya kau dilecehkan sesama lelaki!" Blue benar-benar tak terima adiknya disentuh orang lain, terlebih orang itu adalah lelaki. Oh dewa, adiknya itu lelaki tulen walaupun wajahnya tak kalah cantik dari wanita. Jangan lupakan kepolosannya itu.

"Tapi P'Mean adalah mate-ku. Jodohku. Takdirku. Belahan jiwaku." Plan menggebu-gebu menjelaskan pada sang kakak. Ia sama sekali tak menggubris wajah terkejut Blue. Plan tak peduli. Ia kesal. "Apa yang salah bila ia ingin menyentuhku?" imbuhnya lagi dengan polos menatap sang kakak melas.

"A-apa, ma-mate?" Blue tergagap kebingungan, bahkan dia tak tahu apa yang Plan maksud dengan 'mate' itu.

"P'Mean adalah suamiku!" jawab Plan kesal dengan lambannya Blue dalam mencerna kalimat pernyataan Plan. Si manis mencebikkan bibirnya. Ah, itu menggemaskan.

"APA? Su-suami? Tapi kau juga lelaki Plannie." Kepala Blue rasanya seperti ingin memuntahkan isinya. Apa-apaan adiknya ini? Sungguh membuat Blue geram.

"Apa salahnya kalau kami sama-sama lelaki, Phi? Kami telah terhubung sejak kehidupanku sebelumnya. Ini adalah takdir!" kesal Plan, kakaknya sama sekali tak mengerti apa pun.

"Plan, tenangkan dirimu! Bicarakan pelan-pelan pada phi-mu ... dia tak mengerti dunia kita." Entah sejak kapan Mean berada di belakang Plan. Ia memegang pundak Plan dari belakang dan mengusapnya lembut memberi ketenangan pada yang lebih muda.

"Maaf ... maafkan aku, Phi. Maafkan P'Blue." Plan tiba-tiba berbalik dan memeluk tubuh Mean. Ia berulang kali menggumamkan kata maaf pada Mean membuat sang alfa tersenyum kecil.

"Apa yang kau lakukan pada adikku?" Blue menarik paksa Plan memaksanya melepaskan pelukannya pada Mean.

"Phi, hentikan!" Plan meronta mencoba menghentikan Blue yang berusaha mengintimidasi Mean.

"Kau ...." Blue yang tak bisa bersabar lagi. Ia tak bisa menerima ini. Harusnya adiknya mempunyai gadis cantik disisinya, bukan sesama pria seperti ini.

"Cukup, Blue! Kau tak bisa memisahkan mereka." Lay yang jengah akhirnya melerai mereka bertiga. Hanya Plan dan Blue sebenarnya karena Mean tetap kalem di tempatnya. "Aku akan menjelaskannya padamu, sebaiknya kita pulang dulu!" imbuhnya saat melihat gelagat Blue yang hendak mengatakan sesuatu.

Hujan masih rintik-rintik, Plan berjalan dengan menggandeng tangan Mean. Kehangatan dari tangan hangat milik Mean menyebar pada Plan, membuat wajahnya memerah. Wajah Plan terasa seperti terbakar karena malu. Untung saja hari sudah sehingga Mean tak dapat melihat wajah Plan yang berubah menjadi merah. Plan harus bersyukur karena malam ini begitu pekat tapi Plan tak ingat bila Mean dapat mendengar detak jantungnya yang menggila.

Mean tersenyum dalam diam, menikmati suara detak jantung Plan yang berpacu. Baginya itu seperti alunan melodi yang menenangkan. Ini terasa menyenangkan. Ia tergila-gila pada pemuda manis yang saat ini telah berada dalam genggamannya.

"Plan, aku senang kau di sampingku. Menggenggam tanganku. Jangan tinggalkan aku," Mean mengeratkan genggamannya pada tangan Plan.

"Hmm. Kau lucu, Phi." Plan terkekeh mendengar penuturan Mean. Ini kali pertama ia mendengar Mean mengatakan hal semanis ini mengingat seperti apa pria itu. Si manis menggosokkan genggaman tangannya dan Mean ke pipinya yang mulai dingin karena angin malam. Ia merasakan, menyentuh kehangatan Mean.

Saat sampai di kediaman Rathavit, Lay menjelaskan segalanya. Mengenai bagaimana legenda yang diceritakan turun-temurun pada keluarga mereka itu terjadi hingga siapa Mean sebenarnya.

Blue berpikir keras, mencerna apa yang baru saja diceritakan Lay. Blue semakin heran saat kakeknya sama sekali tidak terlihat terkejut dengan kenyataan yang sudah tersimpan selama ribuan tahun dan itu berhubungan dengan adiknya.

"Kenapa harus Plan? Kenapa harus dia?" Blue merutuki nasib adiknya yang harus berjodoh dengan sesama pria terlebih dia bukan manusia.

"Kita tak bisa memilih harus berjodoh dengan siapa, Phi. Takdir sang dewi adalah takdirku juga ...," ucap Plan pada Blue. Dia tahu ini sulit untuk membuat Blue menerima kenyataan. "Karena tanpa sang dewi, tubuhku ini hanya raga mati."

"Apa maksudmu? Jangan membuatku tambah bingung!" Blue menggelengkan kepalanya tak mengerti.

"Plan meninggal sesaat setelah ia lahir namun keajaiban terjadi, Plan yang tubuhnya mulai dingin tiba-tiba menangis. Dia kembali bernapas hingga saat ini Plan masih bersama kita." Kakek Rathavit yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

"Kakek mengetahui semuanya dari awal? Dan ... dan memilih diam tanpa mengatakan apapun?" kesal Blue pada kakeknya.

"Terkadang ada hal yang tak perlu kita ketahui, Blue." Kakek Rathavit mengeluarkan kata-kata bijaknya.

"Aku mohon biarkan aku membawa Plan bersamaku. Aku berjanji akan membuatnya bahagia dan tetap aman." Mean memohon pada Blue untuk mengizinkannya mempersunting Plan.

"Kau bisa menjamin bahaya di luar sana tak akan menyentuh Plan. Tapi apa kau bisa menjamin kalau kau sendiri tak akan menyakitinya?" geram Blue pada Mean.

"Phi, jangan seperti itu ... toh, aku tidak pergi untuk selamanya. Aku akan sering berkunjung ke sini. Iya 'kan, P'Mean?" Mean mengangguk membenarkan ucapan Plan. Tak ada yang salah dengan ide Plan bila memang itu membuat si manis Bahagia.

"Tidak, tidak bisa ... aku harus ikut dengan kalian. Akan kupastikan makhluk ini tidak menyakitimu Plan." Blue menunjuk pada Mean dengan garangnya.

"Jangan berlebihan, Blue! Kau tak bisa meningalkan desa ini dengan se-enaknya. Kedua orang tua kalian sudah tiada dan kakek sudah cukup tua. Kau pemimpin berikutnya yang akan memimpin desa ini. Jangan meninggalkan tanggungjawabmu begitu saja." Kakek Rathavit mulai jengkel dengan sikap Blue. Ia cukup senang kalau Blue menyayangi adiknya tapi ini sudah keterlaluan.

"Tenanglah, Kek ... aku akan menjagannya dengan nyawaku." Lay berusaha menengahi perdebatan namun sepertinya Blue tak terima.

"Bagaimana aku bisa yakin kau tak akan berpihak padanya?" Blue yang tak bisa menguasai emosinya yang kembali meluap langsung membentak Lay begitu saja.

"Plan juga Adikku kalau kau lupa!" balas Lay tak kalah geram. Si penyihir muda itu cukup lelah dengan Blue yang terlalu melindungi Plan. 'Tidakkah dia percaya pada adiknya sendiri?' Lay hanya mampu menggelengkan kepalanya saat Blue terdiam setelah mendengar ucapannya.

'Hah, seperti ini lagi. Apa mereka tidak bosan selalu bertengkar?'



tbc

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang