ENAM BELAS

231 26 9
                                    

Loha gaes, maap telat banget update-nya. Ternyata ngantuk itu nggak bisa ditahan😂

Sesuai janjiku, ini kelanjutan Soulmate. Semoga kalian nggak bosen, dan aku butuh masukan mengenai cerita ini biar alurnya nggak ngebosenin. Karena itu aku berharap komen yang positif dari kalian untuk memperbaiki alur cerita berikutnya.

Happy reading gaes

.
.
.

Seorang ibu pasti akan mementingkan kebahagiaan anak-anaknya, begitupun dengan Plan. Ia ingin yang terbaik untuk Mark, putranya.

"Plan, aku mengerti kau sulit untuk menerimanya. Tapi Mark kita telah berjodoh dengan Napat. Aku sangat tahu rasanya hidup tanpa mate dan aku tak ingin anak kita mengalaminya." Mean mengusap bahu Plan demi menenangkan belahan jiwanya yang dikuasai kecemasan.

"Aku tahu Phi, tapi apakah P'Gun akan menerimanya? Biar bagaimanapun tak seharusnya mereka berjodoh dengan ...." Plan tak kuasa menyelesaikan ucapannya. Ia berbalik dan menyergap dada bidang milik Mean, menumpahkan segalanya dalam pelukan sang suami.

"Kita tak akan tahu bila kita tak menanyakannya langsung pada Napat." Mean membelai rambut Plan dengan lembut, mengusap punggung ciut yang bergetar rapuh.

"Aku takut, Phi. Aku takut P'Gun menolak Mark kita." Plan semakin tersedu-sedu, membayangkan buah hatinya hidup tanpa mate.

"Itu ... itu tak akan terjadi, Luna." Sebuah suara membuyarkan kekalutan yang menguasai Plan.

Seorang pemuda memasuki ruangan pribadi Mean dan Plan dengan menggendong bayi laki-laki yang sedang terlelap dengan nyaman dalam rengkuhan lengannya. Pemuda itu menatap alpha dan luna-nya dengan tatapan memohon.

"Saya ... saya tak akan menolak mate yang telah saya tunggu-tunggu kehadirannya. Saya tak akan menyangkal takdir yang sudah dipersiapkan Moongodess." Dengan mantap Gun mengucapkan apa yang harus ia katakan. Tatapan matanya lurus dan tajam, tak memperlihatkan kemantapan hati yang luar biasa. Gun hanya tak ingin kehilangan mate-nya. Siapa pun dia, Gun akan menerimanya.

"Apa ... apa kamu yakin, Phi? Kalian tak harus menanggung dosa yang aku dan P'Mean lakukan. Karma ini tak harus kalian tanggung." Plan masih saja keras kepala. Sepertinya ia melupakan satu poin penting kali ini, membuat Gun tersenyum maklum.

"Tak seperti manusia, werewolf hanya memiliki satu mate dalam hidupnya. Satu belahan jiwa untuk selamanya. Karena itu, saya tak bisa melepaskan Tuan Muda Mark. Maafkan saya, Luna." Gun menundukkan kepalanya dalam, pelukannya yang merengkuh Mark tanpa ia sadari semakin erat. Ia sebenarnya takut Mean dan Plan akan menolak dirinya sebagai belahan jiwa sang putra.

Gun sudah harap-harap cemas menunggu reaksi kedua orang tua Mark. Ia bahkan tak berani mengangkat kepalanya untuk sekedar mengintip perilaku yang ditunjukkan Mean maupun Plan padanya. Ia sendiri sudah siap bila harus dipaksa berpisah dari mate-nya. Tentu saja ia tak akan menurut untuk hal yang satu itu.

"Tidak, tidak ... aku tak ingin putraku menjadi duda di usia muda. Jangan berpikir untuk meninggalkan Mark kami!" Plan malah berbalik panik kala Gun terlihat ingin. "Tapi apa tak masalah bagimu bila nantinya kalian tak dapat memiliki keturunan?"

Gun terdiam, ia berpikir sejenak mengenai keputusan yang akan diambil. Jujur saja, dia ingin memiliki darah dagingnya sendiri. Namun nyatanya ia memiliki mate seorang calon alpha yang bahkan umur mereka terpaut sangat jauh. Ada rasa kecewa mengganjal di hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan mengenai ini?

"Saya tak masalah mengenai itu, Luna. Masih ada jalan lain, suatu saat kami bisa mengadopsi bayi werewolf." Gun memantapkan hatinya, ia tahu di masa mendatang akan sulit baginya maupun Mark untuk mengatasi pertentangan mengenai hubungan mereka. Namun mereka harus menjalani takdir yang diberikan Moongodess.

Plan menangkap raut kecewa di wajah Gun, tapi ia tak bisa berbuat banyak mengenai hal itu. Plan tak kuasa menahan air matanya, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Mean yang mendekapnya erat. Miris dengan takdir yang harus Mark tanggung.

Gun mengawasi Luna dan Alpha-nya, ia paham bila dirinya dipaksa meninggalkan Mark. Biar bagaimanapun calon pemimpin pack harus memiliki penerus, sedangkan Mark malah berjodoh dengan seorang lelaki.

"Apakah saya tak layak untuk Tuan Muda Mark? Saya akan mengerti bila status dan gender saya yang menjadi masalah utamanya. Saya bersedia melakukan apa pun asalkan tak dipisahkan dari mate saya." Gun berkata dengan nada bergetar, bahkan Mark yang tidur dalam gendongannya pun merasa gelisah.

"Bukan demikian Napat." Itu adalah Mean. Ia masih membelai punggung Plan untuk menenangkan istrinya yang menangis, namun tatapannya tertuju pada Gun. "Moongodess mengutukku karena telah membunuh  God of Nature, sang adik. Ia mengutukku tanpa mate, namun Plan terlahir sebagai titisan God of Nature dan kutukan itu terpatahkan walaupun mate-ku seorang pria."

Mean menjeda ceritanya, menarik napas demi mencari kekuatan. Masa-masa itu benar-benar membuat Mean terpuruk. Sebenarnya ia tak ingin mengingatnya lagi, apalagi saat ia membunuh Plan yang saat itu masih menjadi God of Nature dengan tangannya sendiri. Ia bisa gila bila terus mengingatnya.

"Dosaku harus dibayar mahal dengan memiliki mate yang tak mungkin mengandung penerusku. Plan membawa keajaiban lain dengan memberiku putra kembar, darah dagingku kami. Namun karma itu harus berlanjut pada anak-anak kami, salah satunya Mark yang ternyata mate-mu, Napat. Maafkan kami, kalian harus menanggung karma seperti ini."

Gun sama sekali tak bisa membuka suaranya. Ingin menyalahkan siapa? Bahkan mereka tak tahu bila karma akan dosa Mean di masa lalu akan terus berlanjut. Ingin mengumpat, hal itu hanya akan menambah masalah baru.

Gun merasa dipermainkan oleh takdir.

tbc

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang