EMPAT BELAS

271 28 18
                                    

Halo halo halo ... I'm back😆
Monmaap gaes, ff ini lama banget kagak up, maap udah buat kalian lama menunggu😓

Oh iya, setelah kalian baca ampe kelar nanti aku bawa kabar buat kalian yang demen sama banyak cp. Aku mau promosi buku mix couple, jadi kalian bisa baca macem-macem ff dari cp yang berbeda dalam satu buku😉

Dah lah, langsung baca aja, happy reading gaes💚💙

Darah merembes dari luka di perut Plan. Belati yang tadinya menancap, menembus lapisan kulit perut Plan telah dicampakkan Mean entah ke mana. Tatapan Mean gelap. Melihat Plan menggeliat kesakitan membuat Mean tak bisa memikirkan apapun.

"Phi ... P'Mean, keluarkan ... keluarkan bayiku!" teriak Plan di sela-sela kesakitannya. Seorang ibu tak akan melupakan buah hatinya meski dia sendiri berada di ambang kematian, begitu pula dengan Plan. Pemuda itu menginginkan keselamatan sang bayi saat napasnya semakin sesak. Paling tidak anaknya harus selamat, begitulah yang dipikirkan Plan.

"Plan ... Plan bertahanlah! Aku sudah me-mindlink Mo Phana, dia akan segera sampai." Mean kehilangan ketenangannya begitu melihat kondisi Plan yang mengerang kesakitan. Ia bersimpuh memeluk Plan yang terbaring di tanah, sebelah tangannya mengelus perut buncit Plan untuk meredakan rasa sakit sang istri. Mean semakin hilang akal, "Tidakkah kau bisa lebih cepat, Dokter?!" geram Mean saat melakukan mindlink pada Phana yang tak kunjung datang.

"Maafkan keterlambatan saya, Alpha." Phana baru saja tiba saat erangan Plan semakin pilu. Melihat luna-nya yang hampir meregang nyawa tentu saja membuat Phana segera mengambil Tindakan, "Alpha, sebaiknya bawa kita bawa luna ke rumah sakit pack. Kita harus mengeluarkan bayinya atau ... keduanya tak akan selamat." Phana sangat hati-hati dalam menyampaikan maksudnya, ia merasakan Mean telah dikuasai Tin. Geraman rendah sarat kemarahan membuat Phana sedikit mengambil langkah mundur. Keadaan mendesak hingga mendorongnya mengambil resiko dicabik oleh sang alpha, tapi ia harus menyampaikan mengenai kondisi terburuk yang mungkin dialami sang luna.

"Beraninya kau ...." Emosi telah menguasai Tin yang tiba-tiba muncul ke permukaan setelah merebut kesadaran Mean. Kondisinya tak stabil mengingat anak dan luna-nya sedang menghadapi bahaya.

"Diam ... diamlah Tin, kau hanya mengganggu saja. Biarkan aku yang mengurus semuanya." Mean kembali sadar, ia memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri akibat raungan Tin yang semakin nyaring. Mean beralih menatap Phana dan berkata, "Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Plan dan anak kami." Kalimat singkat itu sudah cukup bagi Phana untuk mengambil tindakan.

Tanpa banyak kata, Phana mengarahkan Mean menuju rumah sakit satu-satunya di Moonstone Pack. Mean membopong Plan begitu saja, berat badan Plan sama sekali bukan masalah baginya.

"Alpha, tolong baringkan luna di ruangan itu!" Setelah sampai di rumah sakit, Phana menunjuk sebuah ruangan yang telah dipersiapkan para perawatnya. Mean yang mengerti langsung memasuki sebuah ruangan yang ia ketahui itu ruang operasi.

Mean membaringkan tubuh Plan yang menggigil di atas meja operasi. Dengan telaten ia menyeka keringat yang bercucuran di dahi Plan. Sesekali Mean meringis melihat Plan mendesis kesakitan, seolah ia juga merasakan apa yang sedang dialami Plan.

"Bertahanlah, Sayang. Phana akan segera menyelamatkan anak kita." Mean berusaha menyemangati Plan, ia tak tahu harus melakukan apa lagi. Rintihan demi rintihan begitu menyayat hati, Mean tak tahan mendengarnya.

"Sakit ... sakit, Phi. Bayi ... bayinya, cepat keluarkan bayinya! Aku sudah tak sanggup bertahan, kumohon selamatkan bayi kita ..." Plan memelas, menatap Mean dengan mata berair.

"Alpha, silakan tunggu di luar. Kami harus segera menangani proses persalinan luna." Phana datang bersama para perawatnya. Mereka siap membantu persalinan Plan. Tentu saja ini pengalaman pertama mereka membantu persalinan istri sang pemimpin pack, terlebih Plan adalah lelaki. Mereka harus memperlakukannya dengan sangat hati-hati demi calon Alpha Moonstone Pack.

Mean hanya bisa menuruti Phana. Ia tak mau menjadi penghambat karena nyawa keluarganya yang akan jadi taruhan. Wajahnya tegang dan udara di sekitarnya terasa berat. Suasana hati Mean mempengaruhi sekitarnya hingga siapa pun yang hendak menyapa Mean berakhir dengan mengurungkan niat karena ketakutan.

Jeritan Plan menyayat hati Mean. Tak henti-hentinya air matanya merembes dari belah kelopak matanya yang terpejam. Rasanya menyakitkan mendengar jerit kesakitan Plan sejak Mo Phana menangani proses persalinan luna-nya.

"Plan   kau harus bertahan sayang. Demi anak kita." Mean terus berdoa untuk keselamatan Plan dan bayinya. Ia mondar-mandir membuat Lay jengah dengan kelakuan adik iparnya.

"Alpha, para warrior telah membereskan kekacauan yang dibuat Shadow Pack." Gun datang melaporkan keadaan di luar mansion. Pemuda jangkung itu mematung kala tangisan bayi terdengar dari ruang bersalin, ia tak mengerti kenapa tubuhnya bergetar hebat. Bau tanah basah sehabis hujan menyapa indra penciuman Gun yang tajam. Ia sangat menyukai bau menyegarkan ini.

"Putraku!" seru Mean kala tangisan bayi merembes dari celah ventilasi ruang operasi. Mean tak bisa menahan luapan rasa yang membeludak, ia bahagia. Selama ribuan tahun ia menantikan saat seperti ini, pendamping hidupnya, anak-anaknya. Mean bagai mendapat tiupan angin segar yang menyejukkan.

"Owek ... owek ..." tangisan bayi merah itu semakin keras. Seorang perawat keluar dari pintu ruang operasi membawa bayi dalam gendongannya.

"Alpha, ini putra pertama Anda. Di dalam, luna masih berjuang untuk melahirkan adik dari bayi ini." Perawat itu mengerahkan bayi merah yang bergelung hangat dalam selimut tebal dan halus.

"Mark, putraku." Mean bergetar saat merengkuh tubuh renta bayinya. Sungguh aneh Mark seketika menghentikan tangisannya dan diganti dengan tawa.

Suara tawa si alpha muda mengalun seperti simfoni yang indah, menenteramkan siapa pun yang mendengarnya. Mark kecil menggeliat, tangannya menggapai-gapai angin. Berbeda dengan bayi manusia, mata Mark telah terbuka sejak lahir. Tatapannya lurus tertuju pada Gun yang mematung.

Gun tersungkur, kakinya lemas hingga lututnya terjatuh ke lantai. Pemuda matang itu seperti tak memiliki tenaga yang tersisa, tubuhnya tiba-tiba berkeringat dan jantungnya berdetak dengan cepat. Aroma tanah basah yang menggelitik semakin kuat, Gun tak berdaya.

"Mate ..." lirih Gun, namun telinga Mean bisa menangkap apa yang beta-nya ucapkan.

"Apa?" geraman Mean terdengar rendah dan dalam, sarat akan penekanan. Ia menuntut penjelasan dari Gun yang tertunduk dengan tubuh bergetar, merasakan tekanan yang berat dari aura sang alpha.

"Ampuni ... ampuni kelancangan saya, Alpha. Tapi ... tapi mate saya ...." Gun tak diberi kesempatan menjelaskan apa pun. Nyalinya menciut merasakan aura sang alpha semakin mendesak, mulut Gun bungkam.

"Beraninya kau ...!" Mean hendak mengatakan sesuatu tapi pergerakan Mark kecil sangat tak terduga. Bayi itu menggeliat, berusaha lepas dari dekapan ayahnya dan meraih-raih ke arah Gun. "Mark, kau bisa jatuh." Mean terkejut karena Mark semakin meronta, bayi itu menangis kencang karena keinginannya tak terpenuhi. Mean hanya bisa menghela napas.

Mean tak habis pikir, kenapa putranya ikut-ikutan berjodoh dengan lelaki? Dewa seperti sedang mempermainkan takdir keluarganya. Apakah ini termasuk hukuman atas kesalahannya di masa lalu? Mean tak punya pilihan lain, dia hanya bisa menyerahkan putranya pada sang beta.

Ajaib, Mark langsung menggenggam erat baju yang dikenakan Gun begitu sang ayah menyerahkan bayi mungil itu padanya. Mark kecil secara naluri mengendus aroma Gun, secara naluri mengerti bahwa Gun adalah pasangannya. "Alpha, maaf ... maafkan saya telah lancang ...."

Mean mengangkat sebelah tangannya, sebagai pertanda meminta Gun untuk diam. "Bukan salahmu, semua sudah ditakdirkan. Aku hanya tak menyangka putraku akan bertemu mate-nya secepat ini." Lagi-lagi Mean menghela napasnya berat. "Dan aku khawatir dengan posisi Mark. Aku harap dia dominan."

tbc



SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang