Prolog

11.3K 509 4
                                    

Warning!!
Cerita ini berhubungan dengan She is Mine tapi akan banyak perbedaan terlebih pada karakter Gito dan anak Walther lainnya!

Warning!!Cerita ini berhubungan dengan She is Mine tapi akan banyak perbedaan terlebih pada karakter Gito dan anak Walther lainnya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gradacityapratama School, satu sekolah heboh dengan pertandingan basket antara Tim Garuda dan Tim Elang. Gito sebagai Kapten Tim Garuda, dan Samudra sebagai Kapten Tim Elang. Hingga detik ini kedua tim masih seimbang, sama-sama susah 'tuk dikalahkan. Teriakan para siswi sangat mendominasi. Mereka saling berlomba meneriaki nama yang diidolakan.

"Gito, semangat!" pekik salah satu siswi di tribun paling depan.

"Aaaaaa, Gito makin kasep pisan, euy." Gadis bermanik mata hitam memeluk kedua tangannya. Dia terpana melihat Gito menyisir rambut yang basah karena keringat dengan jari-jarinya.

"Gito! Ayo yo ayo gito! Cintaku padamu!"

"Kakang Devan senyum, dong!"

"Vano, shoot, dong!"

"Rian jangan sok kecakepan lo! Samudra ayo, lo pasti bisa kalahin mereka!" Rian berdecak kesal, dia bisa mendengar. Di antara mereka berempat, hanya dia yang tidak dipuji. Gito yang melihat perubahan ekspresi Rian menyungingkan senyumnya dan malah makin meramaikan suasana.

Prriiiiiittttt!

Bunyi peluit panjang menghentikan pertandingan. Para pemain saling berjabat tangan. Kali ini hanya pertandingan persahabatan, menang dan kalah tak masalah. Gito merampas handuknya, menyeka keringat yang membasahi wajah dan lehernya. Lagi, teriakan siswi membuat Gito mendengus kesal.

"Mau dong keringatnya,. Pasti harum, 'kan."

"Gila, keringat Gito aja jadi rebutan," decak Rian yang ikut-ikutan menepi.

"Iuh, sok kecakepan lo, Yan. Muka kek keset kaki aja belagu!" teriak seseorang saat Rian menyeka keringatnya. Rian mendongak ke arah tribun, dia memindai satu persatu wajah siswi yang ada. Pandangannya terkunci pada siswi yang berkacak pinggang, menatap Rian seakan tak suka. Awas lo nanti! batin Rian.

Gito menepuk pundak Rian, mengajak teman satu timnya beranjak dari lapangan. Sorot mata Gito memancarkan kedinginan, suasana yang riuh berubah senyap saat Gito membelah koridor. Ekspresinya yang selalu datar membuat orang tak berani menyapa. Devan yang berjalan di samping Gito hanya tersenyum tipis. Mau diapakan lagi Gito memang tak pernah senyum semenjak masuk SMA.

"Gue ke loker dulu," ucap Gito berbelok arah. Di antara anak Walther, hanya Gito yang suka memeriksa isi lokernya. Devan menatap punggung Gito yang menjauh, selalu menyendiri tak mau berbagi kisah sedikit pun.

"Gue tebak, itu anak kecanduan sama puisi penggemar gelapnya," terka Vano.

Rian mengangguk. "Satu-satunya kertas yang Gito terima." Loker Gito selalu dipenuhi dengan surat cinta, puisi, atau kalimat kekaguman. Selama ini Gito selalu membuang surat tersebut ke tempat sampah tanpa berniat membacanya. Namun, beberapa minggu terakhir Gito mendapatkan surat misterius beramplop serba hitam. Satu-satunya surat yang selalu dia baca dan tunggu setiap paginya.

Riuh Untuk Senyap

Hening tak tercapai adalah kamu
Menari riang pada gelapnya kesunyian
Sorot matamu adalah suaramu
Menghentak diri sebelum sempat mengucap

Riuh tak terhenti adalah aku
Berlari kian kemari tak bertuju
Tulisku adalah suaraku
Berbisik merdu pada senyapnya hatimu

Riuh tak boleh kalah oleh senyap
Kini mungkin masih sembunyi
Nanti saat rindu meluap
Riuh akan bertemu sunyi

SRIPN

RIUH UNTUK SENYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang