Bab 18 : Prioritas Kesekian

2.7K 309 2
                                    

Dengan mudahnya Gito menggendong tubuh Sendu lalu memindahkannya ke kursi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan mudahnya Gito menggendong tubuh Sendu lalu memindahkannya ke kursi. Gadis itu tidak lagi menangis karena dengan sabar Gito menenangkan, apalagi sentuhan yang Gito beri ditelapak tangannya cukup memberikan efek luar biasa bagi Sendu. Keringat terus mengalir di pelipis Gito, ah dia mengabaikan dirinya yang bau keringat karena sangking khawatirnya dengan Sendu.

"Gue bau keringat ya?" tanya Gito membaui dirinya sendiri.

Sendu menggeleng dengan kondisi mata sembab. Dia tidak tahu bagaimana kehidupan Gito, tak ada yang pernah ingin cari tahu karena ingin menghormati privasi Gito. Tapi dia percaya jika parfum yang Gito pakai termasuk barang mewah, saat berkeringat parfum itu malah mempertajam aromanya.

"Sen, lo nggak perlu cemburu sama cabe itu. Lain kali lo diam aja, nggak usah cari masalah. Gue nggak tega lihat mata lo sembab gini," ujar Gito seraya mengelus kantong mata Sendu dengan jari jempolnya.

"Mana bisa To, ntar lo diambil kan gue susah dapatinnya." Sendu mencebik.

"Kek nggak tau tipe gue aja lo," ujar Gito mencubit gemas hidung Sendu.

Ponsel Gito yang bergetar membuat percakapan mereka terjeda. Gito merogoh sakunya, saat melihat siapa yang menelepon dia langsung beranjak menjauh. Air wajah Gito mendadak berubah, rahangnya mengantup keras, salah satu tangannya mengepal.

"Sen gue buru-buru, lo ke bawah sendiri aja." Gito berlari meninggalkan Sendu yang menatap dengan tanda tanya. Apa yang membuat Gito meninggalkan dirinya sendiri dengan suasana yang masih sedih.

Mata Sendu mengiringi kepergian Gito hingga punggung Gito tak lagi tampak dimatanya. Dia beralih memandangi langit biru bersih tanpa setitik pun awan, mengingat kata Syasya dia jadi rindu dengan kedua orang tuanya. Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin sekarang dia  bahagia bisa hidup ditengah keluarga yang harmonis.

"Ma, Pa, Dek, tunggu Kakak di surga ya." Sendu terus membatin, hingga tidak terasa air matanya kembali jatuh.

"Kakak juga rindu, maafin Kakak nakal disini Ma, Pa. Kakak cuma butuh perhatian, kakak kesepian."

Sendu menyeka air matanya, lalu beranjak dari rooftop. Dia mencoba mencari Gito, mungkin keberadaan cowok itu masih ada disekolah. Sehabis tanding basket tadi sekolah masih ramai, banyak siswa yang menikmati jam kosong sambil menunggu bel pulang. Saat Sendu ingin menghampiri anak basket yang masih merayakan kemenangannya, tiba-tiba saja para sahabatnya meminta untuk ke kantin. Akhirnya Sendu berbalik arah, bagaimana pun dia harus ada untuk sahabat-sahabatnya itu.

"Lo tadi berantem ya sama trio badai?" tanya Ratih sesaat Sendu mendudukan diri di kursi kayu panjang sebelah Bulan.

"Hmm," jawab Sendu. Meskipun mereka sudah bersahabat sejak awal masuk SMA, Sendu masih belum bisa terbuka. Bukan apa-apa, sahabatnya pun tidak pernah mempertanyakannya.

"Lo boleh jatuh cinta Sen, tapi jangan sampai bego barentem hanya karena cowok." Bulan memberi sedikit nasehat, dia bahkan belum pernah pacaran.

Sendu mendesah pelan, masalahnya Syasya membawa tentang kasih sayang orang tua. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Sendu mengangguk, dia meraih semangkuk bakso yang telah dia titip saat menuju kantin.


[Mohon maaf sebagian part dihapus demi kepentingan penerbitan]

RIUH UNTUK SENYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang