Bab 11 : Pesta Penerimaan Sendu

2.8K 342 8
                                    

- Cinta boleh, bego jangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Cinta boleh, bego jangan. -

Geng Walther, mereka berdecak kagum melihat adegan romantis Gito dan Sendu. Bagaimana tidak kaget, Gito yang terkenal dingin dan anti namanya cewek tertangkap basah tiduran di paha gadis yang terkenal dengan kebar-barannya. Mereka melemparkan tampang menggoda, alhasil wajah Gito maupun Sendu merah padam.

"Cuit, cuit. Dev, pernah nggak lo lihat wajah ketua lo merah karena cewek?"

"Waah ... nggak tu, Yo. Gimana, ya? Masih kelihatan sangar atau jadi emoet?" Devan tertawa geli.

"Jadi gemes, Dev. Gue aja pengen cium pipi merahnya itu," timpal Vano. Mereka bertiga tampaknya puas menggoda Gito.

Gito berdehem, dia bersusah payah memasang tampang dingin bin datarnya itu. "Ehm, kalau masih pengen pulang selamat lebih baik diam."

"Hahah! Canda, To."

"Btw, ngapain kalian berdua di sini? Masih pagi, lho. Dan lo, Ndu? Bolos lo?" Devan melangkah mendekat.

Sendu mencoba menormalkan detak jantungnya. Dia menatap anak Walther dengan tampang sok serius. "Kepo lo!" cibirnya. "Oh, iya. Mau makan gorengan, nggak?" tawar Sendu. Dia baru ingat dengan gorengan yang dia bawa.

Semua mengangguk semangat. Kalau masalah makan mah mereka selalu nomor satu. Sendu bersama anggota inti Geng Walther duduk di lantai rooftop, mereka duduk secara melingkar. Posisi Sendu di antara Gito dan Vano.

"Tadi gue minta bantuan sama Vano beliin gorengan, dan sepertinya dia malah ngeborong deh." Sendu mengangkat kantong kresek, terdapat lebih dari dua puluh gorengan.

"Yeee, Ndu! Lo ngasih uang Rp200.000,00 cuma buat beli gorengan. Mana mungkin gue beli sepuluh ribu doang," bantah Vano

"Gila! Rp200.000,00 buat beli gorengan?"

"Anak sultan, Bro," sahut Devan.

Sendu menggeleng. "Yeee, gue mana tahu makanan kesukaan Gito itu gorengan. Ya udah gue kasih uang segitu, takutnya kurang. Demi Aa Gito mah apa, sih, yang nggak." Di akhir kata Sendu mengulum senyumnya.

"Uhuy! Gas, To." Rian bersorak girang. Sedangkan Gito, dia hanya diam, kedua tangannya sudah mengepal. Berani-beraninya mereka menggoda Gito di depan Sendu.

"Udah, udah. Kok, malah ngegoda Gito, sih? Ayo ayo makan! Tapi minumnya cuma satu. Kalian minum air liur sendiri-sendiri aja, ya. Ini khusus buat Gito." Sendu menyisihkan sebungkus teh dari dalam kantong kresek.

"Minum air liur sendiri? Tega lo, Ndu." Rian berlagak sok dramatis. Mereka bertiga sangat mudah untuk dekat dengan orang baru. Beda dengan Gito, cowok itu terlalu tertutup.

Sendu terkekeh. Mereka mencomot gorengan yang diletakkan di tengah-tengah. Sungguh sangat teladan mereka berlima, saat yang lain belajar mereka malah bersantai-santai di rooftop. Ini juga akan menjadi hari pertama Sendu bolos sekolah.

"Gito suka bakwan, ya?" tanya Sendu yang sedari tadi memperhatikan Gito. Yang ditanya hanya diam.

"Jangan tanya, Ndu. Dia selalu ngeludesin bakwan di warung Mbok Surni. Padahal kita-kita juga mau," ujar Vano sambil mengunyah tempe krispi. Gito langsung melempar tatapan tajam, dia kini sangat kesal.

"Hahah, gue mah jarang banget makan beginian. Mami selalu ngelarang, ternyata enak, toh."

"Ternyata kampung-kampung gini, lo anak mami, ya?" canda Devan.

Sendu melempar gorengan yang ada di tangannya ke arah Devan. Hap! Untung saja dia bisa menangkapnya. Devan terkekeh melihat wajah kesal Sendu.

"Napa lo, Ndu?" tanya Rian melihat Sendu bersedekap dada.

Sendu membuang wajahnya ke sisi lain. "Cih! Gue bukan anak kampung!"

"Dev, minta maaf!" suruh Gito. Percayalah, mendengar kalimat itu Sendu ingin berteriak. Kalimat yang seakan membuat kupu-kupu di perut Sendu beterbangan.

"Iya, iya. Maaf ya, Ndu. Gue 'kan canda doang."

Sendu menutup kedua wajahnya, entah kenapa dia menjadi malu. "Huaaaa! Sendu bahagiaa!" teriaknya.

"Emang bar-bar," decak Vano.

♫♫♫

Sendu melangkah penuh bahagia. Seluruh teman kelasnya menyambut dengan tatapan tak bisa dimengerti. Ibaratnya, Sendu itu punya dunianya sendiri. Mungkin karena saking cerianya, dia selalu tidak ambil pusing dengan pendapat orang tentang hidupnya. Hanya saja, dia tidak suka dibilang gadis kampung.

"Sendu, lo ke mana aja? Cabut lo?" Gemilang geregetan melihat Sendu.

"Menurut L ...," jawab Sendu enteng.

"Sen, sudahlah. Lama-lama lo bisa kacau kalau gini caranya. Cinta boleh, bego jangan!"

"Apaan, sih? Siapa yang bego? Lagi pula kalian kenapa, sih?"

"Lo cabut karena ngebucinin si Gito, 'kan? Si Amel cewek paling aduhai aja ditolak, apalagi lo yang bar-bar plus suka ngebolang gini." Ratih memutar bola matanya kesal. Semenjak Sendu jatuh cinta dengan Gito, mereka jarang berkumpul lengkap. Isi otak Sendu hanya Gito, bagaimana Gito, apa kabar Gito. Ya, semua tentang Gito.

"Bodo, gue nggak peduli. Eh, eh, Gama!" panggil Sendu saat Gama melintas di sampingnya.

"Apa?"

"Gue haus," ujar Sendu mengelus bagian luar tenggorokannya. Gama berdecak, dia ingat jika beberapa anggota Walther kini menjadi babu Sendu selama seminggu.

"Entar," ucapnya berlalu.

"Tumben si Gama nurut sama lo?" tanya Bulan.

Sendu memasang wajah belagunya. "Ya iyalah, mereka jadi babu gue."

"What? Lo bikin kekacauan apalagi coba?" tanya Gemilang syok. Rasanya dia jantungan terus mendengar penuturan Sendu.

"Bukan kekacauan, kok. Mereka kalah main kartu uno sama gue. Ya jelas mereka jadi babu gue."

"Siapa aja?"

"Gama, Billy, Devan, Vano, Rian, Bagus, Rendi, Ardian."

"Gila! Anak Walther semua?" Ratih menggeleng tak percaya.

"Ya iyalah, gue main di basecamp mereka. Nggak mungkin si Langit ikut," ujar Sendu bangga. Beberapa detik kemudian, dia menepuk pelan jidatnya. "Astagfirullah, mampus gue. Langit, tuh anak apa kabarnya?" Sendu langsung beranjak dari bangkunya.

"Eh, eh, ke mana lo?" teriak Bulan. Baru saja sampai sudah pergi lagi.

"Ke kelas Langit," jawab sendu.

Gemilang menghela napasnya. Dia menatap Ratih dan Bulan secara bergantian, kemudian dia mengangkat kedua tangannya. "Nyerah gue sama tuh bocah."

"Ck, ck, ck! Andai saja dia bukan sahabat gue, udah gue tenggelamin dia ke rawa-rawa." Ratih mengusap kasar wajahnya.

"Lah, si bolang mana?" tanya Gama. Dia datang membawa minuman untuk Sendu.

"Lagi berpetualang," jawab Bulan agak kesal.

"Hahaha! Sumpah, gue nggak tahu jalan pikiran tu anak." Gama tertawa. Diletakannya minuman yang dia bawa di atas meja Sendu.

"Jangan lo pikirin, berat. Kami saja nggak sanggup." Gemilang memasang wajah sedih.

RIUH UNTUK SENYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang