19. Jaemin Pabo

7 2 0
                                    

       Kimberly Park, A+.

Syukurlah.

Batin Kim sambil mengelus dada lega. Kim bisa mendapat nilai jauh lebih baik saat mengerjakan sendiri dibanding berkelompok seperti saat persentasi. Sekarang ia bisa berakhir pekan di Seoul dengan tenang.
       Jaemin tergesa gesa menuju gedung fakultasnya. Karena urusan penting ia tiba sedikit terlambat. Jaemin berlari kencang sampai beberapa orang menatapnya heran. Nafasnya terengah engah saat tiba di pintu. Di sana sudah banyak sekali kerumunan. Ia melihat Kim bersama Rae In ada di tengah kerumunan tersebut. Mereka mencoba saling melambaikan tangan tapi terlalu sulit karena terlalu banyak orang.
       Dengan susah payah Jaemin berusaha menembus kerumunan itu. Ya, memang berhasil tapi butuh usaha. Sampai di sana Kim langsung menariknya menepi.
       "Nanti saja. Tunggu sebentar sampai sedikit sepi," ujar Kim samar samar di dengar oleh Jaemin. Di sana juga berisik. Jadi suara Kim tidak terdengar sangat jelas. Jaemin akhirnya diam di dekat dinding bersama Kim dan Rae In sampai kerumunan itu mulai berkurang.
       "Kemana saja? Kenapa terlambat?" tanya Kim.
       "Ya, ada urusan tadi," jawab Jaemin. Ya, jawaban standar.
       "Urusan apa? Pekerjaan?"
       "Menurutmu aku punya pekerjaan?" Jaemin balik bertanya.
       "Redaksi majalah mana yang memintamu bekerja dengannya?"
       "Mworagoyo?"
       "Jaemin sunbaenim, aku tahu sekarang kau seorang model."

       Degh.

Bagaimana dia bisa tahu?

Batin Jaemin.
       "Eotteokhae ara?" tanyanya kikuk.
       "Saat sunbaenim meminjam bukuku, ingat?"
       Jaemin terdiam sejenak, lalu mengangguk.
       "Kau menyelipkan kartu nama milik seorang direktur redaksi majalah."
       "Waah sunbaenim, kau luar biasa," sahut Rae In.
       "Aaa, itu. Ya, begitulah."
       "Jadi kau menerimanya?"
       "Eung," jawab Jaemin pendek. Bodoh sekali. Kenapa dia menyelipkan kartu nama itu di buku Kim bukannya di bukunya sendiri.
       "Wah, sekarang Jaemin sunbae sudah terkenal," puji Rae In.
       "Ah, tidak seperti itu juga," elak Jaemin.
       "Jadi tadi terlambat karena ada pemotretan?" tebak Kim.
       "Eung."
       "Kau bisa bayangkan, anak seorang Bang Sihyuk menjadi model majalah dan sarjana management bussiness," celetuk Rae In.
       "Luar biasa berbeda dengan Ayahnya," tambah Kim.
       "Ah, sudahlah hentikan," Jaemin mulai merasa tidak nyaman dengan Rae In dan Kim yang mulai menggodanya.
       "Hei, sudah sepi," ujar Kim.
       "Aku mau langsung ke kantin saja," jawab Rae In.
       "Nanti aku menyusul."
       Jaemin langsung cepat cepat mengecek berapa nilainya. Ia menghela napas lega saat sudah melihat nilainya. Tidak terlalu buruk. Jaemin mendapat nilai yang sama dengan Kim.
       "Sudah?" tanya Kim.
       "Ya, sudah," jawab Jaemin.
       "Berapa?"
       "Intinya tidak buruk."
       "Benarkah?" Kim mengecek sendiri nilai Jaemin. Yang benar saja Jaemin hanya dapat nilai "lumayan".
       "Itu bukan tidak buruk. Itu memang nilai tinggi." ujarnya. Jaemin hanya senyam senyum.
       "Kau mau menyusul Rae In setelah ini?" tanya Jaemin.
       "Eung."
       "Keurae. Gaseyo." (Baiklah, sampai jumpa). Jaemin dan Kim pergi dengan urusan masing masing usai mengecek nilai.
       Kebetulan ada seorang senior yang menempelkan selebaran di papan informasi saat itu. Tapi setelah selesai melakukannya ia langsung enyah. Sebelum Jaemin dan Kim benar benar pergi, kerumunan orang datang kembali memenuhi tempat itu. Kondisinya sama seperti saat semua orang ingin mengecek nilai masing masing tadi. Penuh, sampai Kim kembali terjebak di sana bersama Jaemin. Rupa rupanya senior tadi baru saja menempelkan hasil ujian juga. Hanya saja itu dari jurusan yang berbeda.
       Kim yang bertubuh mungil jadi terombang ambing dan sulit untuk keluar dari orang orang itu. Jaemin refleks menarik lengan Kim dan memojokkannya di dinding. Jaemin hanya berniat "melindungi" Kim agar tidak tertabrak sana sini oleh orang orang itu. Kim terpojok di dinding dan Jaemin berdiri di depannya, agar orang orang itu hanya menabrak punggung Jaemin yang membelakangi mereka, bukannya menabrak Kim. Kalau dipikir, bukankah memang kasihan kalau Kim yang tertubruk? Tubuhnya sangat mungil. Dia bisa terombang ambing dan tertubruk ke sana kemari.
       Jaemin membeku menatap Kim yang wajahnya hanya tersisa beberapa senti dengan wajahnya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Kim sempat terkejut dengan yang Jaemin lakukan. Tapi akhirnya ia mengerti kalau niat Jaemin sebenarnya tidak buruk. Sesekali tubuh Jaemin goyah karena orang orang itu terus menabraknya. Tapi matanya seolah tidak bisa teralihkan dari wajah Kim yang terlihat cemas. Kim sebenarnya merasa tidak nyaman dengan posisinya sekarang. Tapi bagaimana? Mereka berdua sama sama tidak bisa bergerak.
       "Jaemin(ssi) . . . ."
       "Ah, ne. Chaeseonghamnida," Jaemin salah tingkah. Seharusnya tadi dia tidak perlu menatap Kim seperti itu. Orang orang sudah mulai sepi. Ya, akhirnya mereka bebas. Kim benar benar malu karena kejadian tadi. Sekarang dia tidak tahu harus bersikap bagaimana.
       "A . . . Aku pergi duluan," Kim gugup.
       "Ya ya, aku juga akan pergi," dua duanya sama sama canggung. Mereka lalu pergi dengan urusan masing masing. Kim menyusul Rae In di kantin, sedangkan Jaemin belum tahu mau kemana.

Astaga, tadi itu apa apaan?

Pikir Kim sambil terus berjalan.

Ya ampun, kenapa aku berdebar debar begini?

Batin Jaemin sambil mengusap butiran keringat kecil di pelipisnya. Perasaannya jadi cemas, kenapa dia berdebar debar? Kenapa dia berkeringat?

Aku tidak mungkin sakit, 'kan?

Batinnya lagi. Bodohnya dia mengira dirinya sakit.

                                🎈

OUR HIDDEN FAMILY 2: THE THRUTH UNTOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang