7. Jaemin Lagi Jaemin Lagi

10 3 0
                                    

       Langit jingga sore hari tampak mulai remang remang. Mentari perlahan bergerak menuju ke peraduan. Akhirnya usai sudah segala aktifitas di kampus. Pegal rasanya tubuh. Saat keluar ke halaman, otak rasanya sedikit rileks. Sambil menggendong tas dan membawa beberapa buku, Kim berjalan keluar kampus bersama Rae In. Jika hari ini tidak ada yang menjemput Kim, maka ia akan mengajak Rae In pulang naik bus. Rae In juga biasanya dijemput supir.
       Tapi saat mereka keluar kampus, Kim melihat seorang pria memakai tuxedo, sedang berdiri di dekat mobilnya.
       "Eung . . . " Kim tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah Seok Jin. Seok Jin juga balas melambaikan tangan dan tersenyum.
       "Rae In, oppa datang menjemputku," ujar Kim.
       "Gwaenchanhaeyo, aku akan menelepon supirku," jawab Rae In.
       "Arraseo. Kalau begitu aku duluan. Annyeong," Kim lalu segera menghampiri Seok Jin yang sedang berdiri menunggunya di seberang jalan
       "Annyeong," balas Rae In lemah sambil melambaikan tangan.
       Kim berlari kecil mendekati Seok Jin. Ia tampak senang karena Seok Jin oppa yang menjemputnya. Tidak tahu kenapa. Intinya senang saja. Mungkin karena biasanya Seok Jin selalu sibuk sampai harus pulang malam. Tapi hari ini, dia pulang cepat dan langsung menjemput Kim di kampus. Yah, sekaligus nostalgia masa masa dimana dia masih menjadi mahasiswa. Saat ia harus berjuang dengan bekerja paruh waktu, agar ia bisa tetap kuliah hingga lulus. Sulitnya membagi waktu antara kuliah, belajar, dan juga bekerja.
       Apalagi kalau sudah mengingat adik adiknya, Jimin, Taehyung, dan Jungkook yang masih sangat kecil waktu itu. Astaga, Seok Jin merasa benar benar hidup menderita. Tanpa Ayah, Ibu, dan uang.
      Ayah. Lagi lagi nama Hyeon Joon terlintas di benak Seok Jin. Jika saja dia boleh meminta, maka Seok Jin menginginkan Hyeon Joon tidak menjadi Ayahnya.
       Sambil menatap dinding pagar kampus, Seok Jin berkaca kaca. Bergumam, ternyata dulu dia semenderita itu. Dia juga seolah tidak percaya dia bisa bangkit untuk kembali memulai hidup dari nol. Sampai tidak terasa, ia sudah sampai sejauh ini. Rumah sendiri, karier cemerlang, hidupnya dan adik adiknya terjamin, dan mereka semua selalu sehat.
       "Oppa," Kim menghambur ke pelukan Seok Jin dengan wajah kusam.
       Seok Jin mengerjap, dan seketika pikiran pikiran tentang masa lalu itu memudar. Dipeluknya Kim yang tampak sangat letih, tapi juga senang melihat dirinya di sini.
       "Kau terlihat letih. Semua baik baik saja?" tanya Seok Jin.
       "Ya, semua baik baik saja. Hari ini oppa pulang cepat?"
       "Iya." Seok Jin tersenyum.
       "Oppa, aku sangat lapar dan lelah. Tolong buatkan aku abalon bumbu saat tiba di rumah."
       "Ayo kita beli abalonnya dulu."
       "Khajja," Kim langsung semangat masuk ke mobil.
       "Bagaimana harimu?" tanya Seok Jin sambil mengemudi.
       "Semuanya baik," jawab Kim.
       "Sebenarnya oppa ingin menunggu Jaemin tadi."

Kenapa hari ini Jaemin selalu saja muncul. Sekarang oppa juga membahas tentangnya. Astaga.

Ujar Kim dalam hati.
       "Kenapa menunggunya?"
       "Tidak. Hanya ingin sekedar menyapa."
       "Ouh."
       "Aku dengar dia juga jurusan management bussines." Mobil melaju di tengah senja.
       "Ya, kami sekelas," jawab Kim malas.
       "Benarkah? Aku tidak menyangka."
       "Entah kenapa aku merasa sangat aneh."
       "Aneh? Apanya?"
       "Oppa, Jaemin itu sebenarnya masuk di kelas Profesor Han. Tapi tiba tiba saja dia pindah ke kelas Profesor Kang."
       "Lalu, apa dia memberitahu alasannya?"
       "Aku tidak yakin. Tapi dia hanya bilang kalau sebenarnya dia itu mengalah pada seorang junior."
      Seok Jin manggut manggut.
       "Menurut oppa bagaimana?"
       "Tidak ada yang aneh dengan jawabannya."
       "Tidak mungkin. Oppa mengenalnya lebih lama daripada aku. Apa dia memang seperti itu?"
       "Ya, mungkin saja. Tapi sejauh yang oppa ketahui, kelas Profesor Han itu kelas unggulan. Kalau dia sudah berhasil masuk, kenapa pindah ke kelas Profesor Kang?"
       "Sudah kubilang. Memang aneh, 'kan?"
       "Aku rasa sepertinya dia juga bukan tipe orang yang menyia nyiakan kesempatan. Tapi ada apa dengannya?"
       "Oppa, sudahlah. Kita tidak perlu memikirkan dia. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau."
       "Ah, benar juga."

OUR HIDDEN FAMILY 2: THE THRUTH UNTOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang