11. Overprotective

25 4 0
                                    

       "Gumawo sudah membantuku menyelesaikan makalahnya," kata Kim.
       "Sama sama," jawab Jaemin sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi bus.
       Sebentar lagi jam makan malam. Saat ini Kim masih dalam perjalanan. Kim berpikir, Jimin oppa marah tidak, ya kalau Kim pulang bersama Jaemin? Diantara semuanya, Jimin adalah yang paling menentang Kim akrab dengan teman laki laki. Seok Jin oppa sudah tahu dengan baik Jaemin itu seperti apa. Jadi itu bukan masalah besar baginya. Tapi kalau Jimin, dia akan langsung menginterogasi. Kalau sudah begitu, Kim harus membujuknya. Untunglah Jimin sangat percaya pada Kim. Dia yakin adiknya itu tidak akan melakukan hal yang merugikan mereka semua. Kim tidak perlu begitu khawatir.
       "Chanyoung. Jika aku bertemu denganmu, awas saja," gumam Jaemin.
       "Sudahlah, lupakan saja," sahut Kim.
       "Tidak bisa begitu. Anak seperti dia kalau tidak diberi pelajaran akan semakin kurang ajar."
       "Lalu mau kau apakan dia?"
       "Ya, tidak tahu."
       "Dengar, kau sangat baik. Tapi kau tidak bisa terus membiarkan orang seperti Chanyoung. Kadang kadang kau perlu menjadi garang. Lain kali kau harus lebih keras padanya. Tidakkah kau sadar? Dia hanya memanfaatkanmu agar mendapat nilai bagus padahal dia tidak melakukan apapun. Apa menurutmu itu baik?" ujar Jaemin banyak banyak.
       "Ya, akan kulakukan," Kim mengiyakan sambil tersenyum.
       Chan Bin duduk di kursi bus yang paling belakang. Mendengarkan musik dengan earphone sambil membaca buku. Tapi perhatiannya terus tertuju pada kursi yang berada sedikit jauh di depannya. Yang ia pikiran adalah, bagaimana Kim dan Jaemin saling mengenal hingga sedekat itu? Chan Bin melihat cara Jaemin tersenyum pada Kim yang terlihat sedikit berbeda. Rona wajah Kim juga berbeda. Apa mungkin mereka saling menyukai? Tiba tiba saja Chan Bin merasa buruk saat memikirkan Jaemin dan Kim seandainya saling menyukai.
       Sibuk memikirkan hal yang tidak tidak, Chan Bin justru tidak jadi membaca buku. Tahu tahu bis sudah berhenti di halte. Ia melihat Kim turun dari bus tersebut dan di situlah Chan Bin mengetahui daerah tempat tinggalnya.
       Setelah turun di halte, Kim tinggal berjalan sedikit menuju rumahnya. Semua orang pasti mencemaskannya. Kim berpikir, sebaiknya ia mengirim pesan.

Kim: Oppa, aku sudah sampai. Baru
          saja aku turun di halte depan.

                             🎈

       "Huh," desah Kim sambil meletakkan ranselnya di sofa.
       "Kau sudah pulang?" ujar Jimin dari ruang makan begitu mendengar suara Kim.
       "Ne," jawab Kim sambil berjalan ke ruang makan tanpa mengganti pakaian ataupun mandi.
       "Kenapa kau pulang sangat larut?" Jimin mulai mencecar.
       "Tadi aku sudah mengirim pesan pada Seok Jin oppa."
       "Iya, tapi tidak padaku. Jin hyung juga baru pulang. Kalau tahu aku akan menjemputmu saja."
       "Sudahlah. Diakan juga sudah pulang sekarang," bela Yoon Gi seraya mengambil kimchi di mangkuk dengan sumpit.
       "Tidak bisa begitu. Harusnya kau tidak perlu pulang naik bus. Apalagi bersama Jaemin," omel Jimin.
       "Oppa, tadi itu memang mendesak. Aku tidak bisa pulang sebelum menyelesaikannya."
       "Apa? Memangnya apa yang sampai sepenting itu?"
       "Apa yang sepenting itu? Aku mengetik makalah. Aku mengerjakannya sendiri karena salah satu anggota kelompokku malas mengerjakannya. Aku hanya ingin persentasinya sempurna. Oppa juga pernah melakukannya bukan?!"
       "Kim(ssi)," Taehyung mengelus bahu Kim yang terlihat kesal karena perkataan Jimin.
       "Aku tidak akan bisa selesai jika Jaemin tidak membantuku. Apa itu salahku? Apa oppa tidak percaya padaku? Kau pikir aku melakukan hal lain?!" tambah Kim.
       Kacau sudah makan malamnya.
       "Ani, kenapa tidak kau bawa pulang dan kerjakan di rumah saja. Kami bisa membantu," balas Jimin.
       "Hyung, geumanhae," sahut Taehyung.
       "Maksudku . . . "
       "Ah, sudah sudah. Kenapa kau membuat masalahnya seolah begitu serius. Dia sudah memberitahuku lewat pesan. Kenapa kau bersikap seperti itu?"
       "Hyung, aku hanya cemas padanya," jawab Jimin.
       "Dia baik baik saja. Aku tahu kau tidak suka Kim dekat laki laki manapun. Tapi kau tidak bisa seperti itu. Setelah selama ini, kau harusnya memahami adikmu. Mungkin memang seperti itu keadaan yang sebenarnya. Percaya saja padanya," timpal Yoon Gi.
       "Ah, lupakan," Kim menghabiskan nasi di mangkuknya dengan cepat lalu pergi meninggalkan ruang makan begitu saja. Dia tampak sangat kesal pada Jimin.
       "Astaga, makan malamnya jadi kacau," gumam Taehyung.
       "Aku sudah kenyang," ujarnya sambil beranjak turut meninggalkan ruang makan.
       "Aku sudah selesai," Yoon Gi juga pergi mengekori Taehyung.
       "Aish," desah Yoon Gi lalu pergi. Tersisa Jimin dan Seok Jin.
       "Yak, kau yang harus selesaikan ini," ujar Seok Jin sebelum akhirnya pergi juga.
       "Hyu . . . Hyung," panggil Jimin. Tapi Seok Jin tidak menghiraukan.
       "Ah," Jimin mendesah sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Padahal sejujurnya ia tidak bermaksud begitu.
       Ruang makan sudah kosong. Makan malam sudah selesai dan semuanya juga kacau. Sesungguhnya bukan itu maksud Jimin. Tapi tak disangka Kim menjadi kesal karenanya.

Bagaimana caranya membujuk Kim?

Batin Jimin.

                               🎈

       Ceklek.
      
       Jimin memutar handle pintu perlahan. Malam ini semuanya menjadi kacau. Ia melihat si bungsu masih mengurus tugas kuliah di jam seperti ini. Jimin melihat, sesekali Kim menggeliat untuk meregangkan punggungnya.
       Jimin percaya Kim terlambat pulang karena tugas kuliah. Hanya saja tidak tahu kenapa setiap kali Jimin melihat atau mendengar Kim bersama Jaemin, rasanya ia tidak begitu suka. Lama sekali Jimin berdiri di depan pintu sambil menatap Kim yang sedang mengetik. Rasanya Jimin memang tidak seharusnya terlalu mengekang Kim. Dia boleh khawatir, tapi dia juga harus membiarkan Kim bebas seperti burung terbang.
       "Biar oppa bantu," ujar Jimin sambil membantu Kim mengeprint tugasnya.
       "Gwaenchanhaeyo, aku bisa sendiri," tolak Kim.
       "Mianhaeyo. Oppa tidak bermaksud mencurigaimu. Geunyang . . . Naega jalmeottaesseo (hanya saja . . . Aku melakukan kesalahan)."
       "Aniyo. Tadi aku sangat lelah dan stress. Seharusnya aku tidak perlu kesal. Nado mianhae."
       "Sekarang ceritakan padaku, kenapa kau mengerjakan tugas sendiri? Kau bilang ini tugas kelompok."
       "Masalah yang sebenarnya ada pada anak bernama Chanyoung," kesal sekali Kim kalau ingat Chanyoung.
       "Chanyoung?"
       "Anak itu benar benar . . . Aku sudah memintanya secara baik baik agar dia mengerjakan materinya. Tapi oppa tahu? Dia sama sekali tidak menghiraukanku. Dia tetap saja bermain ponsel. Jaemin sempat menyita ponselnya. Tapi dia berbohong dan mengatakan kalau dia sudah mengerjakan tugasnya," curhat Kim.
       "Benar benar. Apa dalam kelompok ini hanya ada kalian berdua?"
       "Tidak. Sebenarnya Rae In juga ada. Tapi dia sungguh mengerjakan bagiannya dengan baik. Dia bahkan sudah mengirimkannya ke Emailku. Tapi anak itu . . . aku ingin membantingnya dengan jurus Taekwondo."
       "Lalu bagaimana Jaemin membantumu?"
       "Dia hanya lewat. Lalu dia melihatku masih mengetik jadi dia bertanya. Saat kuceritakan, dia juga marah pada Chanyoung karena sudah dibohongi. Setelah itu dia membantuku menyelesaikan materinya."
       "Jika dia tidak membantu maka kau tidak akan bisa pulang tepat sebelum makan malam?" tebak Jimin.
       "Eung, maljhayo."
       "Tapi kenapa mesti naik bus?"
       "Oppa, bus itu anti macet. Supaya aku tidak pulang lebih larut lagi."
       "Hah, keurae. Oppa sudah keterlaluan karena memarahimu," kata Jimin sambil menarik Kim ke pelukannya.
       "Gwaenchanhae. Aku tahu oppa khawatir."
       "Oppa percaya padamu. Kau dekat dengan siapapun oppa akan berusaha memahamimu. Lagipula Jaemin anak yang baik. Oppa hanya terlalu berlebihan," ujar Jimin sambil mendekap tubuh Kim yang mungil.
       "Aniya. Sekarang aku ingin serius belajar dan memperjuangkan beasiswaku. Aku tidak mau terperangkap dalam hubungan yang sesulit itu," Kim melepas pelukannya.
       "Jangan terlalu keras belajar. Jangan paksakan dirimu. Jin hyung, sangat sanggup membiayai kuliahmu bahkan jika beasiswamu dicabut."
       "Mendapat beasiswa merupakan kebanggaan bagiku. Aku bisa menuntut ilmu bebas biaya karena aku layak mendapatkannya. Mereka menganggapku pandai dan cerdas sehingga aku diberi kemudahan seperti ini. Aku sangat bangga."
       Jimin tersenyum sambil mengelus puncak kepala Kim.
       "Apa kau lapar? Tadi kau tidak makan dengan baik," ujar Jimin.
       "Sebenarnya aku memang lapar."
       "Ayo kita makan," ajak Jimin.
       "Oppa menemaniku?"
       "Khajja," Jimin keluar menuju ruang makan bersama Kim. Jam 23.00 malam. Nampaknya bukan jam jam yang wajar untuk makan malam. Tapi bagi Kim rasanya menyenangkan melakukannya bersama Jimin. Begitu juga sebaliknya.

                               🎈
     

OUR HIDDEN FAMILY 2: THE THRUTH UNTOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang