LiS #2

177 33 5
                                    

Seorang gadis sedang berdiri di samping jendela kamarnya. Sebelumnya ia sudah membuka sedikit gorden jendelanya, sehingga ia bisa melihat keluar dengan jelas. Dia menyumpal kupingnya dengan earphone ponselnya, tak lupa sebuah Al-Qur'an berbentuk kecil ada di tangannya. Bukan, ia tak sedang mendengarkan musik dari ponselnya, namun gadis tersebut sedang mendengarkan murottal dari surah Ar-Rahman. Entah apa yang bisa memotivasi dirinya untuk menghafalkan salah satu surah dalam Al-Qur'an yang termasuk surah Makiyah dengan jumlah 78 ayat tersebut.

Fa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan

Dan pada ayat ke empat puluh dua tersebut, tiga orang laki-laki yang memakai seragam pesiar Taruna AAU sedang berjalan dari gerbang depan menuju ke dalam rumah.

"Assalamu'alaikum, Bundaa!"

Karena mendengar suara Kakaknya, Annisa segera melepas earphonenya dan segera berlari untuk menghampiri Kakaknya. Ah ralat, mungkin ia tak merindukan Kakak satu-satunya, namun ia sedang merindukan salah satu dari dua orang sahabat Kakaknya.

Restu Dirgantara, pria keturunan Melayu itu sudah menarik perhatian Annisa sejak ia pertama kali berkenalan. Dengan nada sopan dan wajah tegasnya, serta kesholihannya, laki-laki itu berhasil menarik perhatian sang adik sahabatnya. Begitu pun dengan Dirga, sepertinya ia juga tertarik dengan Annisa. Entah apa yang membuat ia tertarik pada gadis manja yang kata Kakak laki-lakinya merepotkan itu. Mungkinkah ia tertarik pada Annisa karena kepolosan dan keceriaan yang gadis itu miliki? Biarkan dia dan Allah Swt. yang mengetahui.

Annisa segera berlari dari tangga menuju pintu depan, saat sampai di pintu ia langsung menghambur ke dalam pelukan seorang laki-laki yang tingginya jauh di atasnya. Di samping laki-laki tersebut, sudah berdiri bundanya.

"Annisa kangen Abang," rengek gadis manis tersebut dengan manjanya.

Adam -Abang Annisa membelai punggung adiknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Ditinggal pendidikan Abang saja sudah rindu, apalagi nanti ditinggal tugas kekasihnya."

Sebenarnya Adam sudah mengetahui hubungan antara adik dan sahabatnya tersebut. Namun dia lebih memilih untuk diam saja. Toh, Adik dan sahabatnya pun tak pernah memberitahu dan bercerita pada orang lain, lagi pula jika tahu orangtuanya pun tak akan menyetujui dan merestui. Selain karena anak-anaknya dilarang untuk berpacaran sebelum halal, mereka sudah menjodohkan anak perempuannya itu dengan anak sahabatnya. Tidak, mereka menjodohkan anaknya bukan karena alasan mereka tak memercayai jodoh di tangan Allah Swt., tetapi mereka menjodohkannya karena ingin mempererat hubungan persahabatannya. Mereka pun tak memaksa anak-anaknya harus menerima perjodohan ini, mereka pun membebaskan anak-anaknya untuk memilih iya atau tidak.

"Apa sih, Abang, Annisa tuh enggak punya kekasih abdi negara!" Dengan penuh penekanan, gadis itu menjawab godaan Abangnya. Gadis itu pun langsung menyembunyikan pipinya yang mulai memerah ke dalam pelukan Abangnya.

Abangnya hanya terkekeh. "Abang tahu segalanya, Dek. Tapi Abang memilih diam hingga kalian mau menceritakan pada semuanya," batinnya.

Bunda Aisyah hanya menatap kedua anaknya tersebut nanar, ia tak tahu apa yang sedang disembunyikan oleh kedua anaknya itu. Namun dengan segera ia menampik pikiran buruknya tentang anaknya, ia mencoba untuk berpikir positif dan percaya pada anak-anaknya. Jika ada masalah, entah itu masalah kecil atau besar, anak-anaknya selalu bercerita pada orangtuanya.

Annisa melepas pelukannya, begitu pun dengan Adam.

"Sudah 'kan acara kangen-kangenannya?" Bunda Aisyah memecahkan keheningan.

"Sudah, sudah kok, Tan," jawab Dirga cepat dengan nada sopan.

"Tan? Kau kira Bundaku itu mantanmu?" Adam dengan menjitak kepala Dirga pelan.

Bunda Aisyah hanya tersenyum kecil, begitu pun dengan Annisa ia hanya tersenyum kecil.

"Sudah, debatnya sudah, ya!" Bunda Aisyah melerai dengan menggelengkan kepala. "Mari masuk!"

"Ini 'kan sudah masuk, Tante?" Arjuna bertanya dengan tampang polosnya.

Annisa langsung menyemburkan tawanya yang sedari tadi ia tahan dengan kuat-kuat.

"Adek!" Bunda Aisyah menegurnya dengan pelan, "anak perempuan itu tidak boleh tertawa terlalu keras, tidak baik," imbunya menjelaskan.

Annisa langsung menundukkan kepalanya, "iya, Bunda."

"Jangan diulangi lagi, ya!" Kali ini yang mengingatkannya adalah Adam.

"Iya, Bang."

"Ya sudah, ayo masuk!" Bunda Aisyah mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah, "maksudnya Bunda itu masuk ke dalam rumah."

"Iya, Tante." Arjuna dan Dirga menjawab serempak.

"Arjuna sama Dirga habis ini langsung ke kamar Adam buat rehat dan berganti pakaian, setelah itu mandi, ya!"

"Iya, Tante." Lagi-lagi mereka menjawabnya dengan kompak.

"Adam temani temanmu itu! Annisa sama Bunda ke dapur, ya!"

"Iya, Bunda." Kali ini yang menjawab dengan kompak adalah sepasang Kakak-Adik.

"Setelah mandi, nanti kita makan bersama," ujar Bunda Aisyah dengan berjalan menuju ruang tamunya, dengan diikuti empat remaja yang berjalan beriringan.

"Enggak nunggu Abi dulu, Bun?" Adam bertanya.

"Abi katanya pulang malam, dia mau ke rumah Nenek dulu."

"Oh, iya."

Sebelum berpisah, Annisa dan Dirga sempat saling melirik satu sama lain. Dirga mengedipkan sebelah matanya pada Annisa, gadis itu hanya membalas dengan senyuman manisnya.

"Mata kau kelilipan, Dir?" Arjuna dengan suara kerasnya bertanya pada Dirga.

Dirga langsung menjitak kepala sahabatnya itu, "anak kecil tak usah ikut campur!"

"Kalo aku kecil, kau pun juga kecil. Kita seumuran, Bro!" Arjuna mengingatkan pada Dirga dengan nada mengejek.

"Lebih kecil kau pokoknya!"

"Kau yang lebih kecil!"

"Kau!"

"Kau!"

"Arjuna, Dirga!" Adam dengan membentak melerai perdebatan antara kedua sahabatnya.

Kedua mahluk hidup itu pun menoleh ke arah Adam.

"Jangan berdebat, segera laksanakan perintah Bunda!" Adam dengan tegasnya memerintah kedua sahabatnya sejak awal pendidikannya di Akademik Angkatan Udara itu.

"Iya, Adam." Keduanya menjawab dengan kompak, sembari tersenyum.

Mereka tahu, jika seorang Adam sedang marah lalu ada seseorang yang tersenyum padanya, maka ia tak akan kembali memarahinya. Ia tahu kelemahan Adam tersebut, sehingga ketika Adam memarahi keduanya, maka mereka segera menyunggingkan senyumannya pada Adam.

"Kali ini kelemahanku tak berfungsi untuk kalian. Cepat laksanakan perintah Bunda, atau kalian akan kuusir dari rumahku ini!?"

"Iya," jawab keduanya dengan berjalan mendahului Adam menuju kamar Adam.

Mereka berdua sering menginap di rumah Adam, sehingga mereka pun saling mengenal dan dekat dengan keluarga Adam. Bahkan, mereka sudah hafal dengan ruangan-ruangan yang ada di rumah Adam.

"Dasar ngegemesin!" Annisa dengan terkekeh.

"Siapa yang ngegemesin, Dek?" Bunda Aisyah bertanya pada Annisa dengan menatap anak gadisnya itu dengan tatapan nanar.

Adam yang masih berdiri bersama kedua wanita tersebut hanya tersenyum. Senyumannya manis, namun senyuman itu memiliki sebuah arti.

"Enggak, Bun," jawab Annisa dengan terkekeh kecil. Lalu kedua kakinya melangkah dan berlari menuju dapur.

Di belakangnya, Bunda Aisyah mengikutinya. Dia masih menerka siapa orang yang dimaksudkan putrinya itu.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang