Seorang gadis sedang berjalan di antara taman bunga yang harum baunya. Dia menyusuri setiap jalan yang ia liwati, tak tahu kemana tujuannya. Namun, tiba-tiba hati kecilnya menginginkan untuk berjalan ke arah kanan, dia pun mengikuti kata hatinya tersebut. Dia terus-menerus berjalan ke kanan, hingga tibalah ia di sebuah danau yang jernih airnya. Gadis itu menatap ke arah pinggir danau, di sana seorang perempuan sedang duduk membelakanginya. Dia mendekatinya.
"Annisa," ujarnya terkejut, saat gadis yang sedang duduk di pinggir danau itu menoleh ke belakang.
Gadis yang dipanggilnya itu tersenyum menatapnya, senyuman yang manis. Berbeda dengan senyuman yang dia berikan di kala detik-detik terakhirnya. "Aliya, ke sinilah!" perintahnya.
Tanpa berpikir panjang, Aliya menghampirinya dan duduk di samping Annisa. Dia menatap gadis sebelahnya itu dengan heran. Antara bingung, kaget, dan bahagia tercampur-aduk menjadi satu. Dia bingung, karena bisa bertemu seseorang yang sudah meninggal. Kaget karena seseorang yang dirinduinya datang menemuinya, dan bahagia karena bisa bercerita kembali dengan sahabatnya itu.
"Berceritalah, Aliya, aku menunggu ceritamu!"
Aliya menghambur ke dalam pelukan Annisa, dia menangis sesenggukan di dalam pelukan sahabatnya. "Aku munafik, aku penghianat, aku tak pantas memiliki sahabat sepertimu, Annisa." Histeris.
Annisa menepuk punggung Aliya, untuk menenangkannya. "Kamu wanita dewasa yang penuh kasih sayang, kamu sudah aku anggap sebagai kakak perempuanku... kamu adalah sahabat terbaikku," ujarnya lembut.
Aliya masih sesenggukan di dalam pelukan Annisa, "aku telah lancang mencintai Rehan, aku penghianat di antara hubungan kita."
Annisa melepas pelukannya, dia menghapus air mata Aliya lembut. "Jangan bicara seperti itu! Cinta datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu... rasa itu datangnya selalu tak tepat, dia tak memilih kapan waktunya dan siapa sasarannya. Kamu tak salah, Rehan tak salah, dan aku tak salah, tidak ada yang salah, Aliya."
Aliya memeluk Annisa, "aku bodoh, Annisa," rutukinya sendiri.
Annisa membelai punggung Aliya. "Ceritakan semuanya!" perintahnya.
Aliya melepas pelukannya, dia menghembuskan nafasnya. Tatapannya lurus, menatap danau dengan tatapan kosong. "Aku tak tahu tepatnya kapan rasa ini datang. Yang aku tahu, ketika aku pertama melihat lelaki itu rasanya berbeda dengan aku menatap lelaki lainnya... aku adalah perempuan munafik yang bersembunyi di hubungan persahabatan. Aku menginginkannya, aku mengharapkannya, dan Allah Swt. menegurku dengan menghadirkan perempuan lain di hidupnya." Menghela nafas. "Saat melihatnya bersama perempuan lain, hatiku perih, ingin rasanya menariknya dari kehidupan perempuan lain, namun aku tak punya hak atas itu." Tersenyum.
"Termasuk bersamaku?" tanya Annisa.
Aliya menggeleng, "karena aku tahu kamu dan dia sulit untuk bersama... Kak Adnan mencintaimu, tak mungkin jika kamu bersama dia... dan saat itu, kamu pun bersama Kak Dirga."
"Allah Swt. Maha Membolak-balikkan hati manusia, mengapa kamu tak yakin jika aku bisa mencintainya?"
Aliya terdiam.
"Al, dengarkan aku! Selama kamu sungguh-sungguh dalam berdo'a, maka Allah Swt. pun akan sungguh-sungguh dalam mendengarkan. Sebut namanya dalam do'amu, berdo'alah hingga Allah Swt. bosan mendengar do'amu, dan Dia akan mengabulkan permintaanmu itu," ujarnya. "Allah Swt. akan mengabulkan permintaanmu ketika kamu membutuhkan, bukan ketika kamu menginginkan."
Aliya diam.
"Datanglah besok ke rumahku, semoga kamu bertemu dengan seseorang yang mencintaimu dalam do'anya!" Annisa berpesan.
Aliya menatap Annisa, "maksud kamu?"
Tanpa menjawab, Annisa hanya tersenyum misterius.
Aliya terbangun, nafasnya terengah-engah. Antara takut dan penasaran tercampur menjadi satu. Dia menyentuh pipinya, terasa basah.
"Astagfirullah," ujarnya. "Ini hanya mimpi."
Dia menurunkan kakinya ke lantai kamarnya, mendekatkan diri ke nakas lalu mengambil air minumnya. Setelah meneguknya, dia meletakannya kembali. Mengambil ponsel, dan mengeceknya.
Rehan.
Besok sore jam 4 datang ke cafe biasanya, ya! Ada yang mau aku kasih tahu. See you tommorow, best friend🤗Tanpa berniat membalasnya, dia hanya membaca dan menghapus pesan tersebut.
"Apa mungkin?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ah, besok saja aku datang sendiri."
Seorang gadis yang memakai gamis berwarna biru dengan kerudung warna hitam, itu mengedarkan pandangannya ke seluruh pengunjung cafe. Dia mencari keberadaan seseorang.
"Al, ayo ikut aku!"
Dia menoleh ke belakang, Rehan sudah tersenyum di belakangnya.
Tanpa menjawab, dia mengikuti langkah kaki Rehan berjalan. Mereka berhenti di sebuah tempat duduk yang sudah diisi oleh seseorang. Aliya tersenyum untuk menyapanya.
"Duduk sini, Al!" perintah orang tersebut.
Aliya duduk di dekat orang tersebut, dan Rehan di depan mereka.
"Tadi Adhisty nyuruh aku buat nunggu kamu di depan, dan kebetulan aku lihat kamu sedang berdiri di tempat tadi," jelas Rehan.
Aliya hanya tersenyum, enggan untuk menjawabnya.
"Al," ujar Rehan.
Aliya menatap Rehan, menunggu lelaki itu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Sebenarnya aku nyuruh kamu ke sini karena mau ngasih tahu kamu sesuatu," ucapnya ragu.
"Tidak usah ragu, beri tahu saja!" Aliya lembut.
Rehan diam, sepertinya dia sedang memikirkan apa yang akan ia ucapkan nanti. Begitu pun dengan Adhisty, perempuan itu lebih memilih untuk diam saja.
"Aku minta pendapat sama kamu, ya," ucapnya. "Sebenarnya aku sama Adhisty...." Menggantung.
Aliya diam, dia memilih untuk mendengarkannya saja.
"Kami... buat komitmen untuk saling menjaga hati satu sama lain," imbuhnya.
Aliya tersenyum hambar. Hatinya sakit, ingin menjerit, namun dia tutupi dengan senyuman palsunya. Dia tak punya hak untuk melarangnya, meski hatinya ingin melarang.
"Bagus, Han, kalian berdua pantas, kok, lagi pula Adhisty gadis yang cantik, pemberani, dan cerdas." Aliya masih tersenyum.
Adhisty menatap Aliya, "kamu tak apa?" tanyanya hati-hati.
Aliya menatap Adhisty, menyunggingkan senyumnya. "Aku dan Rehan hanya berteman saja," jelasnya.
"Iya, apa yang dikatakan Aliya benar, Dhis, kami hanya berteman," beo Rehan.
Adhisty tersenyum menatap Rehan. "Kami berkomitmen sementara saja, jika Mamaku merestui, Rehan akan datang melamarku."
Ibaratkan gelas yang jatuh dari genggaman seseorang, pecah dan retak, seperti itulah hati Aliya sekarang. Remuk, tak berbentuk.
"Semoga Mama kamu segera merestui hubungan kalian." Tersenyum.
"Iya, Aamiin... inginnya sih seperti itu, Al, sebelum aku melanjutkan study ke Australia, kami sudah tunangan."
"Semoga hubungan kalian langgeng, dan kuliah kamu lancar, Dhis," ujarnya sembari tersenyum. "Aku pulang dulu, ya, mau ke rumah Annisa," pamitnya.
"Terima kasih, Al, hati-hati di jalan dan titip salam untuk Bunda Aisyah, ya," pesan Rehan.
Aliya hanya tersenyum mengangguk.
Rehan dan Adhisty membalasnya dengan tersenyum.
Aliya melangkahkan kakinya dengan berat, ia ingin memisahkan mereka berdua. Namun, dia tak bisa, mereka berdua saling mencintai. Berbeda dengannya, yang hanya mencintai sepihak. Gadis itu menunduk, tangannya terulur untuk menghapus air matanya yang mulai menggenangi pipinya. Sakit, namun dia tak bisa apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silence [COMPLETED]
EspiritualMuhammad Rehan Ramadhan, cowok manis dengan perangai santunnya itu mampu membuat banyak perempuan menambatkan hatinya padanya. Namun, dia mencintai seorang gadis yang tak pernah membuka hatinya untuk dia, dia adalah Annisa Nurul Fatimah. Belum sempa...