LiS #10

68 18 2
                                    

Bau obat-obatan mulai tercium oleh indra penciuman Annisa ketika ia membuka matanya. Gadis itu menoleh ke kiri, ruangan yang serba putih. Lalu ia menolehkan kepalanya ke kanan, di sampingnya Kak Adnan sudah duduk di atas kursi -menunggunya.

"Kak," lirihnya dengan suara yang serak.

Kak Adnan berjalan mendekat, dia berdiri di samping ranjang rumah sakit. "Iya. Ada apa, Nis?" Meski telah dilukai oleh gadis itu, Kak Adnan masih tetap bersikap seperti biasanya.

"Kenapa aku ada di sini?" Gadis itu bertanya dengan susah-payah. Keadaan terlalu lemas, meski hanya untuk mengeluarkan sepatah kata.

Seketika pandangan mata Kak Adnan kosong, sorotnya mengartikan sebuah kesedihan. Sebenarnya dia mengetahui dengan jelas apa yang terjadi hingga kini, namun dia tak cukup kuat untuk menjelaskannya pada gadis pujaannya itu.

"Kak, apa yang kalian sembunyikan dari aku?"

Air mata Kak Adnan menetes di pipinya, dia lekas menghapusnya. "Nanti kamu juga tahu, tapi belum waktunya."

Annisa bergeming, suasana kembali hening seperti gadis itu tersadarkan. Dia menatap tangannya, di sana sudah ada selang infus yang terpasang. Hatinya kembali sesak ketika mengingat kejadian kemarin, dia belum siap dengan ini semua.

"Sudah berapa lama aku pingsan, Kak?" Gadis itu kembali bertanya, untuk memecahkan keheningan.

"Sudah tiga hari," jawab Kak Adnan lirih. Lelaki itu masih berdiri di samping Annisa, sembari menundukkan kepalanya.

"Selama itu aku tertidur?"

Kak Adnan menganggukan kepalanya pelan. Dia kembali mengusap air matanya yang mulai terjatuh.

"Bang Dirga pernah menjenguk aku?" Di saat dia sakit, pikirannya masih tertuju pada laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya itu. Tak semudah menghapus air mata, dia menghapus nama dan kenangan Dirga di hatinya.

Kak Adnan masih terdiam. Dia terus-menerus mengeluarkan air matanya, saat ini dia adalah laki-laki terlemah yang pernah Annisa lihat.

Sementara itu di balik pintu kamar rawat Annisa, keluarga Annisa dan Kak Adnan sedang berdiri. Mereka menguping pembicaraan dua insan tersebut. Aliya pun ada di antara dua keluarga tersebut, dia berangkat ke rumah sakit bersama Rehan.

"Apa yang terjadi dengan Annisa?" Aliya bertanya pada Rehan. Memang di antara semuanya, hanya dia yang tak tahu tentang keadaan sahabatnya tersebut.

Bunda Aisyah mendekati Aliya, dia memeluk sahabat anaknya itu. "Kamu siap mendapat jawaban atas pertanyaan kamu itu, Nak?" tanyanya lembut.

"Iya, Tante. Aliya insya allah siap," jawab gadis itu pelan. Di mana pun dia berada, gadis itu selalu mengutamakan kesopanan.

"Ikut Tante ya, Nak!" Tersenyum menatap Aliya.

Aliya menatap nanar Bunda Aisyah, dia mengangguk pelan.

Dua perempuan itu melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu. Taman adalah tujuan mereka. Mereka melangkahkan kaki dengan pelan, bukan karena disengaja, namun karena mereka terlalu lemas untuk berjalan. Sesaat setelah sampai di taman, Bunda Aisyah duduk di bangku taman yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Aliya duduk di sampingnya.

"Sebenarnya.." Bunda Aisyah menggantungkan ucapannya. Dia menghembuskan nafas kasar.

Dengan sabar Aliya menanti Bunda Aisyah meneruskan ucapannya.

"Annisa.. terkena penyakit jantung."

Ucapan dari ibu sahabatnya itu bagaikan petir yang menyambar dirinya di sore hari. Pasalnya, Annisa tak pernah menunjukan itu, selama ini gadis itu selalu ceria di depannya. Namun di balik keceriaannya itu, dia menyimpan beban yang berat.

"Sekarang statusnya berada di stadium empat. Entah berapa lama lagi dia mampu bertahan," ujar Bunda Aisyah pelan. Mukanya tampak kelelahan, bahkan matanya terlalu lelah untuk menangis.

Aliya menatap Bunda Aisyah lekat, dia tersenyum tipis. "Tante tidak boleh pesimis, kita berdo'a pada Allah Swt. untuk kebaikan Annisa! Allah Swt. selalu punya kejutan dan mukjizat, Tante."

Bunda Aisyah memeluk tubuh gadis itu, dia menangis tergugu di pelukan Aliya. "Tante tidak berhasil menjadi orangtua, Tante mengetahuinya ketika sudah terlambat. Tante yang salah."

"Tidak, Tante. Kita belum terlambat, dan sebaiknya kita segera perbaiki masalah ini sebelum semuanya menjadi runyam!"

"Assalamu'alaikum, Bun." Suara seorang laki-laki menghentikan pembicaraan kedua perempuan tersebut.

Bunda Aisyah melepas pelukannya, begitu pula Aliya. Wanita paruhbaya itu mendongakan kepalanya menatap putranya yang sudah berdiri di sampingnya.

"Wa'alaikumsallam," jawab kedua perempuan itu bersamaan.

"Annisa tadi mencari Dirga, Bun." Adam menyampaikan pesan pada Bundanya. "Apa boleh saya meminta Dirga untuk menjenguk Annisa, barang satu hari?"

Bunda Aisyah tampak menghembuskan nafas pelan. "Jika itu untuk kebaikan Adik, lakukan! Bunda mengijinkan, Nak."

Adam tampak tersenyum kecil. "Adam mohon ijin untuk memberitahu Dirga, Bun."

"Iya, Nak," lirih Bunda Aisyah.

"Apa kamu besok ada waktu?" Adam langsung bertanya, setelah dia dan Dirga saling bertegur sapa di telepon.

"Mungkin ada. Ada apa, Dam?"

Laki-laki itu sebenarnya tak tahu tentang keadaan gadis pujaannya, sehingga dia tetap bersikap seperti biasanya. Entah bagaimana jika ia sudah mengetahui semuanya, akankah masih bersikap tenang atau sebaliknya. Baginya, Annisa adalah segalanya, gadis itu adalah penyemangatnya.

"Besok kau ke Malang! Adikku membutuhkanmu." Adam dengan penuh penekanan. Emosinya saat ini sangat sensitif, apalagi jika menyangkut tentang adik perempuannya itu.

"Tunggu, ada apa ini? Tak seperti biasa kau bersikap seperti saat ini. Ceritakan semuanya padaku!" Dirga dengan suara paniknya.

Adam menghembuskan nafas pelan. "Kamu sanggup mendengar semuanya?"

"Sanggup," jawabnya mantap.

"Semuanya terjadi tiga hari lalu," gumam Adam, hatinya selalu terasa sesak jika mengulang kejadian tiga hari yang lalu. "Awalnya semua berjalan seperti biasa, Dir, namun setelah hubungan kamu dengan dia kandas, dan setelah dia mengetahui bahwa dia akan dijodohkan dengan seorang yang tak pernah ia cintai, semuanya menjadi seperti sekarang... gadis itu hanya bisa berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Penyakit jantung, stadium empat," jelas Adam.

Di seberang telpon, terdengar suara isak tangis seseorang. Bisa dipastikan itu suara Dirga, "itu semua karena aku, Dam. Aku yang salah," ucapnya dengan suara serak.

"Tak ada yang bisa disalahkan, Dir. Semua ini terjadi karena takdir Allah Swt." Adam mencoba menguatkan dirinya.

"Nanti malam aku minta ijin cuti, besok aku berangkat ke sana. Titip salam buat orangtuamu, semoga selalu ditabahkan hatinya. Dan untuk kamu, saudara asuhku, tetap kuat! Kita ini calon tentara, kita harus kuat, perkara hidup dan mati itu urusan Allah Swt.!"

"Kau juga jangan nangis!"

Tanpa menjawab, Dirga hanya terkekeh. Namun percayalah, itu hanya topeng dia untuk menutupi dukanya. Kini hatinya sedang perih, bagai luka yang tersiram air jeruk. Senyuman di bibirnya itu hanya topengnya saat ini, suara tawanya itu hanya hiburan semata baginya. Lelaki itu sedang merana, hatinya ada duka mendalam, namun ia tetap memaksa untuk tersenyum. Begitulah laki-laki saat tersakiti.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang