LiS #19

44 11 2
                                    

Aliya berjalan menuju rumah yang bercat biru, dia melangkahkan kakinya lebar-lebar. Di sebelahnya, Roy berjalan menyeimbangi langkah kakinya. Hari ini, mereka mengunjungi Bunda Aisyah, karena sudah lama mereka tak berkunjung ke rumah sahabat Aliya tersebut.

"Assalamu'alaikum." Aliya sembari menggedor pintu. Saat di gerbang tadi mereka langsung masuk ke halaman, karena gerbangnya yang terbuka.

"Assalamu'alaikum," ulang Roy keras. Berharap ada orang yang mendengarnya.

"Kalau tiga kali tidak dijawab, kita pulang saja," pasrah Aliya.

Roy menatap Aliya nanar, "berarti kurang satu kali?"

Aliya mengangguk.

Roy kembali menatap pintu berwarna cokelat tersebut, dia hendak mengetuk pintu. Namun, pintu itu terbuka lebih dahulu sebelum lelaki itu mengetuknya.

"Wa'alaikumsallam," jawab perempuan yang sekitar berusia empat puluh tahun, dia tersenyum manis menatap dua remaja yang sedang berdiri di depannya itu.

Aliya segera menjabat tangannya, lalu menciumnya. "Aliya kangen sama Tante," ujarnya.

Perempuan itu tersenyum lebar. "Kamu sih, lama tidak main ke rumah Annisa."

Aliya membalas dengan senyuman manisnya, "maaf, Tan, soalnya tugas sekolah semakin banyak."

"Ya sudah, tak apa. Ayo masuk!" Bunda Aisyah dengan menggeser tubuhnya, memberikan Aliya jalan untuk masuk.

Perempuan itu berjalan ke dalam rumahnya, mengikuti dua anak remaja yang berjalan di depannya. Dia memang sangat menghormati tamunya, meski itu anak kecil pun orang dewasa.

"Kemarin Rehan baru main ke sini," ucap Bunda Aisyah memulai pembicaraan, ketika mereka bertiga telah duduk di sofa ruang tamu.

"Sama siapa, Tan?" tanya Aliya antusias.

"Cewek, siapa ya namanya.. Adhi... Adhisty, ya Adhisty namanya."

Gadis itu refleks menundukkan kepala, merasa terkejut. Hatinya serasa dihujani ribuan jarum, terasa sakit. Namun dia tak boleh egois, karena bagaimana pun ini adalah salahnya. Meski begitu, dia harus yakin dengan pilihannya yang memilih untuk menjauh dari sahabatnya tersebut. Dia akan menjauhi lelaki itu, namun keras dalam mendo'akan. Dia harus yakin dengan pilihannya itu.

"Oh, ya, Tan?" jawab Roy, dia tak mau suasana akan menjadi beku. "Hanya berdua?"

"Iya, dari toko buku mampir ke sini katanya," jawab Bunda Aisyah antusias. "Kemarin itu juga bawa beberapa buku pelajaran," imbuhnya.

"Adhisty memang anak yang rajin dan pintar, Tan. Tak heran jika Rehan menyukainya," lirih Aliya, gadis itu masih menundukkan kepala.

Bunda Aisyah hanya tersenyum, dia tahu apa yang sedang dirasakan gadis itu. Cemburu.

"Sebenarnya bukan kemauan dia, Li, tapi karena keinginan Mamanya. Dia ingin seperti kita, mengikuti apa keinginannya, bukan keinginan orang lain," jelas Roy. Sebagai saudara sepupunya, dia lebih mengetahui tentang Adhisty, dari pada sahabatnya yang lainnya.

"Sudahlah, Nak, namanya orang cemburu mau dijelaskan bagaimana pun caranya, dia tetap cemburu." Bunda Aisyah dengan terkekeh.

Muka Aliya sudah memerah, dia merasa malu. Gadis itu mendongakkan kepalanya, "Aliya enggak cemburu kok, Tan."

"Tante Aisyah tidak mengatakan kalo kamu sedang cemburu, Aliya," sambar Roy, dia terkekeh.

Aliya membuang muka, dia tampak seperti anak kecil. Bukan seperti Aliya saat biasanya, dia lebih seperti Annisa ketika malu-malu.

"Mukamu memerah itu, Nduk," sindir Bunda Aisyah, dia terkekeh pelan. "Sama seperti Annisa," lirihnya. Bayangan putri tunggalnya itu sekelibat terbayang, dia sangat merindukannya.

Aliya memeluk perempuan yang duduk di sampingnya itu, dia membelai punggunya untuk memberinya ketenangan. "Tante yang tabah, ya! Bukannya Tante sendiri, yang bilang jika Allah Swt. menguji hamba-Nya pasti ada sebab-akibat? Jika Dia menguji kita bukan karena akibat, pasti Dia menguji kita karena ada sebab, 'kan?"

Perempuan yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menangis di pelukan remaja tersebut, seperti anak kecil yang terisak di pelukan ibunya. "Sering-sering main ke sini, tengokin Bunda, Nduk! Bunda itu udah anggap kamu sebagai anak Bunda sendiri, sudah anggap kamu sebagai Kakak Annisa."

Mata Aliya berkaca-kaca, namun dia harus kuat. Jika salah satunya rapuh, ia harus kuat, karena jika salah satu sakit ia harus menjadi penyembuhnya. "Insya Allah, ya, Tan. Aliya akan sempatin waktu untuk berkunjung ke sini, main sama Tante."

Bunda Aisyah melepas pelukannya, dia mengusap air matanya. Dadanya masih naik-turun, hidungnya kembang-kempis. "Janji ya, Nak?"

Aliya hanya tersenyum dan mengangguk. "Tadi Tante sudah dzuhur?"

"Sudah. Kamu sama Roy sholat di sini saja!"

Aliya melirik ke arah Roy, meminta persetujuan. Namun, lelaki itu pun melirik ke arahnya untuk meminta persetujuan.

Bunda Aisyah berdiri, dia menarik tangan Aliya untuk berdiri. "Enggak perlu lirik-lirikan, sholat sekarang di sini saja!"

"Iya, Tan." Gadis itu menyetujui saran Bunda Aisyah.

Aliya berjalan di belakang bersama Roy di sampingnya, mereka mengikuti Bunda Aisyah pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah selesai mengambil wudhu, Bunda Aisyah mengantar mereka ke musholla kecil yang berada di dalam rumahnya, dipergunakan untuk keluarga dan tamu menjalankan syariat agama Islam.

"Kalian sholat dulu, Bunda tunggu di ruang tamu, ya?"

"Iya, Tan." Mereka berdua menjawab bersamaan.

"Sholat kamu gimana, sudah lancar?" tanya Aliya pada Roy.

Roy tersenyum lebar, "lancar, dong. Aku juga sudah bisa menjadi imam sholat kamu."

Aliya terhenyak, "imam... sholat?"

Roy terkekeh, dia berhasil membuat gadis itu merasa bingung. "Maksud aku, imam untuk sholat dzuhur sekarang."

"Kalo ngomong yang jelas, jangan buat aku ambigu!" Menekuk wajah.

"Iya-iya."

"Ya sudah, kamu yang jadi imam, ya!"

"Siap, calon makmum."

"Ish," gumam Aliya.

Akhirnya mereka berdua menjalankan kewajibannya, yakni sholat. Meski Roy masih baru belajar, namun dia sudah sholat dengan khusyu'. Bacaan demi bacaan mereka baca dengan khusyu'.

"As-salaamu 'alaikum wa rahmatullaah." Akhirinya.

"Ya Allah, Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia... belokanlah hati Rehan ke arahku, tundukanlah hati Rehan ke padaku, tegukanlah hatiku pada hatinya... Ya Allah, jagalah keluarga dan sahabat-sahabat hamba, kasihanilah mereka, lindungilah mereka... Ya Allah, semoga Engkau menempatkan Annisa di tempat yang baik, terimalah amal baiknya dan maafkanlah kesalahannya... Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Kaya, hanya Engkaulah tempat hamba meminta, Aamiin Ya Rabbal Alamin," lirih Aliya dalam do'a.

"Ya Allah, terima kasih telah memberi hamba orang baik seperti Aliya... Ya Allah, lindungi dan kasihani keluarga dan sahabat hamba, jagalah Aliya dalam kebaikanmu dan jauhkanlah dia dari keburukanmu... Ya Allah, kabulkanlah apa yang gadis itu minta, jagalah hatinya dan janganlah Engkau mengecewakannya... Aamiin Ya Allah," do'a Roy dalam diam.

Dua remaja itu mengusap mukanya bersamaan. Mereka meng-Aamiin-kan do'anya berbarengan. Setelah selesai berdo'a, mereka berdzikir dan bersholawat, untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah Swt. beri padanya.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang