LiS #12

63 18 0
                                    

Aliya dan Roy sedang berbincang di taman belakang sekolah. Tak seperti biasa, Aliya merasa tenang ketika duduk berdua bersama lelaki yang bukan mahramnya. Bukannya ia merasa nyaman, hanya saja ia tak begitu risih ketika bersama orang lain, hatinya masih untuk Rehan.

"Jadi.. Annisa sakit jantung?" Roy pelan. Hatinya terasa sesak ketika mengajukan pertanyaan tersebut. Cowok itu pun juga menaruh harap pada gadis ceria tersebut, Annisa Nurul Fatimah.

Aliya menganggukkan kepalanya pelan.

"Sejak kapan?"

Hening. Aliya tak menjawab pertanyaan itu. Bukannya ia tak tahu-menahu tentang keadaan sahabatnya itu, dia hanya tak ingin membahas tentang penyakit itu. Di pikirannya, Annisa adalah gadis ceria yang selalu membuatnya tersenyum, bukan gadis lemah yang sedang mengharap belas kasihan.

"Kamu suka sama Annisa?" Aliya mengalihkan pembicaraan.

Roy mengangguk mantap. Dia begitu yakin, jika Annisa adalah perempuan terbaik untuknya. "Tapi aku enggak yakin, Al."

"Kamu boleh cerita apa saja padaku, hari ini bebas untukmu bercerita kepadaku." Tersenyum tulus dengan menatap Roy, kemudian menundukan kepalanya lagi.

"Aku harap kamu bisa memendam rahasiaku sendiri," ucap Roy.

"Insya Allah, Roy. Namanya manusia tak luput dari rasa lupa," jawab Aliya, gadis itu masih menundukkan kepalanya.

Roy menghela nafasnya sebelum memulai ceritanya. "Rasa ini mulai tumbuh ketika awal pertemuanku," ucapnya memulai bercerita. "Tepatnya saat masa MOS, ketika dia tertawa riang di depanku bersama sahabat laki-lakinya. Dia bukan perempuan yang genit, dia bukan perempuan yang agresif, tetapi dia adalah Annisa-ku, gadis ceria dengan seribu pesonanya. Dan kupikir, aku menyukainya."

Menghela nafas.

"Aku bingung dengan perasaanku sendiri, Al. Aku menyukai gadis itu, sungguh. Namun di sisi lain, ada Angel yang selalu mencoba mendekatiku, bahkan dia tak segan untuk mengungkapkan perasaannya padaku... aku bingung," lirihnya.

Aliya tersenyum tipis, "kamu Islam 'kan? Coba sholat istikhoroh, libatkan Allah Swt. dalam setiap urusanmu, Dia yang Maha Mengetahui apa yang tidak kita ketahui."

Roy menatap Aliya lekat, dia tersenyum tulus. "Ternyata bercerita denganmu tak sekaku apa yang kubayangkan." Diiringi dengan kekehan.

Aliya hanya tersenyum tipis. "Jangan nilai sesuatu dari apa yang dikatakan orang lain! Kita punya telinga untuk mendengarnya sendiri, kita punya mata untuk melihatnya sendiri, dan kita punya mulut untuk kita jaga dari hal buruk. Karena kita tak pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisi seorang yang kita benci itu."

Roy tersenyum tulus dengan menatap Aliya lekat, "terima kasih untuk setiap nasihatnya," ucapnya. "Mulai sekarang kita berteman," imbuhnya.

"Dari dulu kita juga berteman, Roy." Tersenyum, sembari menggelengkan kepalanya.

"Maksudnya lebih dari teman satu sekolah."

"Ah, iya." Akhirnya dengan tersenyum. Dia tak mau berdebat dengan laki-laki itu. Toh, apapun kata yang akan ia ucapkan nanti, yang menang pasti Roy.

__________________¤¤¤___________________

Adhisty berjalan mendekati Rehan yang sedang duduk di bangku, sendirian. Gadis itu duduk di depan Rehan, dengan menyodorkan kotak makan yang berisi roti sandwich keju.

Rehan yang merasa ada seseorang di depannya, segera mengangkat kepalanya. Di depannya, Adhisty sudah tersenyum lebar. Rehan membalasnya dengan senyuman tipis.

"Ini untuk kamu," ujarnya dengan menyodorkan kotak makannya.

Rehan kembali menundukan kepalanya. "Tidak perlu, saya sudah sarapan tadi. Buat kamu saja, kamu pasti belum makan 'kan?" Tolaknya halus.

"Sudah, Han. Ini aku sendiri loh yang buat." Memaksa.

Akhirnya Rehan menerima kotak makan itu, dia segera membukanya. "Kita makan bareng, ya!"

Hati gadis cantik itu serasa disiram oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran dan berbau harum. Hati gadis mana, yang tak bahagia jika bisa dekat dengan orang yang disukainya? Begitu pun dengan Adhisty, dia serasa sedang terbang di angkasa bersama kumpulan awan putih. Berlebihan sekali, tapi memang begitulah cinta, dapat merubah semuanya.

"Mau, ya?" Rehan mengulangnya, ketika Adhisty masih terdiam.

Adhisty segera tersadarkan dari lamunannya. Dia menganggukkan kepalanya cepat, tak mau menyiakan kesempatan emas tersebut. Dia langsung menggeser bangkunya maju, agar lebih dekat dengan Rehan.

"Ini beneran yang buat kamu sendiri?" Rehan bertanya ketika hendak mengambil sandwich.

"Iya. Jadi, maaf kalo enggak enak," ucapnya. "Katanya kalo lagi makan tidak boleh sambil ngomong, Rehan!" imbuhnya mengingatkan temannya itu.

"Kata siapa coba?" Rehan menggoda Adhisty, dengan diiringi kekehannya.

"Rasulullah Saw., bahkan dalam dunia kesehatan juga tidak boleh, kok."

"Penjelasannya dong, Kakak!"

Adhisty terkekeh sebelum menjelaskan. "Tenggorokan sama kerongkongan itu 'kan berdekatan, saat kita berbicara mereka akan saling membuka, takutnya sih kalo si makanan itu salah jalan dan masuk ke tenggorokan, maka bisa saja akan menimbulkan sesak nafas karena telah masuk ke paru-paru."

"Tetapi organ tubuh kita saling menjaga, dan seringkali saat makanan masuk ke paru-paru, sebelumnya telah disaring dan diarahkan kembali ke saluran pencernaan."

Adhisty menatap Rehan lekat sembari tersenyum menggoda, "apa sih salahnya kita untuk mewaspadai sesuatu hal buruk?"

Jantung Rehan berdetak lebih kencang, dia merasa gugup ditatap sedemikian dalam oleh seorang perempuan. "Iya juga, sih." Mengalah.

Tanpa menjawab, gadis itu hanya tersenyum tipis. Dia terlalu bahagia hari ini, semoga saja seterusnya. Hatinya bagai disiram oleh bunga yang indah, dirinya serasa terbang di antara ribuan bintang yang bersinar terang. Dia sangat berbahagia hari ini. Baginya, ini adalah awal kedekatannya dengan laki-laki yang dikaguminya tersebut. Setelah berbulan-bulan dia berjuang untuk bisa dekat dengan Rehan, akhirnya hari ini semua perjuangannya terbayarkan dengan senyum Rehan yang merekah di bibirnya, dan tawa Rehan yang terdengar di telinga Adhisty.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang