LiS #29

83 8 4
                                    

Roy sedang bersembunyi di balik pohon beringin yang tak jauh dari makam Annisa, dia sedang mengintip Aliya. Lelaki itu langsung pergi ke makam Annisa ketika tahu Aliya berada di sini, hal itu ia ketahui dari Bunda Aisyah. Dia segera berlari ke jalan utama, ketika melihat Aliya sedang berjalan ke arah gerbang makam.

"Liya!" teriaknya memanggil gadis itu.

Aliya berhenti, dia menoleh ke belakang. Roy sedang berlari ke arahnya.

"Kamu yakin enggak mau menolong sahabatmu sendiri?" tanyanya, ketika sampai di depan Aliya.

Aliya mengernyitkan dahinya, "maksud kamu?"

Bukannya menjawab, Roy merogoh saku celananya. Mengambil ponsel, dan memutar sebuah audio.

"Sebenarnya Adhisty itu tak sayang sama Rehan, dia hanya memainkan cowok itu. Kamu tahu 'kan kenapa dia ngejar-ngejar cowok itu? Karena kita udah buat perjanjian, kalo dia bisa dapetin hati Rehan, gue bakal traktir dia buat jalan-jalan ke Jepang. Cewek itu busuk." Suara yang terdengar dari ponsel Roy, seperti suara Angel.

"Besok aku udah berangkat ke Bandung, aku enggak ada waktu." Menolak. "Aku pergi dulu, assalamu'alaikum," pamitnya sembari melangkahkan kakinya untuk pergi.

Roy berlari untuk mengejarnya, dia menarik tangan Aliya untuk menghentikan langkahnya.

Aliya berhenti, dia menepis tangan Roy. "Urusan dia, bukan urusan saya," ujarnya penuh penekanan.

"Li, sekali ini saja! Lu lakuin ini bukan demi Rehan, tapi demi gue, Li, demi Roy!" bentaknya, mengusap mukanya. "Gue lakuin ini karena gue sayang lu!"

"Ma... maksud kamu?"

"Rehan sahabat lu, dan gue suka sama lu." Roy jujur, menghembuskan nafas.

"Kamu tak ada bedanya sama Adhisty," jawab Aliya.

"Gue beda sama Adhisty, orang tua kita pun beda... asal kamu tahu, Mama gue enggak sejahat Mama Adhisty yang selalu menekan anaknya tanpa memerdulikan perasaan anaknya."

"Sekali ini saja, Li, aku mohon," ujarnya tulus. "Kamu enggak kasihan sama Rehan?"

"Aku...."

"Ikut aku, kita bisa kasih tahu ke Rehan sebelum terlambat!" Memaksa.

"Terserah," jawab Aliya.

Mereka berdua berjalan ke mobil Roy yang terparkir di dekat gerbang pemakaman. Masuk, dan Roy menghidupkan mesinnya.

Saat mereka berdua sampai di depan cafe, Rehan dan Adhisty baru saja masuk ke dalam cafe. Tergesa-gesa, mereka berdua mengikuti sepasang anak muda yang dilanda kasmaran itu. Benar kata pepatah, cinta itu buta, dan hal tersebutlah yang sedang dirasakan oleh Rehan. Awalnya, lelaki itu menghormati seorang wanita, namun karena rasa nafsunya dia telah menodai prinsipnya tersebut.

"Al, sini!" teriak Adhisty, ketika gadis itu melihat Aliya dan Roy berjalan menuju tempatnya.

Aliya hanya tersenyum.

"Di sini tempat duduknya cuma dua, ya?" sindir Roy.

"Kita pindah ke sana saja, ya," ujar Adhisty dengan menunjuk salah satu tempat duduk yang berisi empat kursi.

"Enggak perlu, kita di sini cuma mau ngasih tahu sesuatu saja, kok," tolak Roy.

Aliya hanya diam, sembari menatap Rehan yang sedang menatap lurus ke arah Adhisty.

Rehan menatap Roy, "ada apa, Roy?"

"Kalian harus tahu ini, terutama Rehan." Mengambil ponselnya yang berada di saku celana.

"Sebenarnya Adhisty itu tak sayang sama Rehan, dia hanya memainkan cowok itu. Kamu tahu 'kan kenapa dia ngejar-ngejar cowok itu? Karena kita udah buat perjanjian, kalo dia bisa dapetin hati Rehan, gue bakal traktir dia buat jalan-jalan ke Jepang. Cewek itu busuk." Suara yang terdengar dari ponsel Roy.

"Itu suara Angel, tadi pagi gue chat dia, mau ngajak nonton, tapi dengan satu syarat kalo dia bakal bocorin niat Adhisty untuk ngedeketin lu, Rehan," jelasnya. "Kamu tahu 'kan sekarang sifat cewek di depanmu itu kaya apa?"

Adhisty menundukkan kepala, mukanya memerah menahan amarah. Bukannya marah pada Angel, tetapi dia marah pada Roy. Saudara dan sahabatnya itu telah membuka niat busuknya di depan Rehan, impiannya kini hancur.

Sementara itu, Rehan hanya terdiam, antara percaya dan tidak. Dua rasa itu berbeda tipis. Percaya, karena itu suara Angel yang notabenenya adalah sahabat Adhisty. Tidak percaya, karena gadis yang mulai dicintainya itu terlalu jahat padanya.

"Kamu mau percaya atau tidak itu urusan kamu, Han, aku pun awalnya tidak percaya dengan apa yang aku dengar." Aliya sembari menatap Rehan sedih.

Adhisty berdiri, dia menghampiri Aliya. Gadis itu hendak menjambak kerudung Aliya, namun Roy yang di samping Aliya dengan cepat menghalanginya.

"Lu enggak usah fitnah, ya!" Mengancam, gadis itu pun menunjuk Aliya dengan jari telunjuknya.

"Aliya tidak terlibat dalam masalah ini," bela Roy untuk Aliya.

"Maafin aku, Al," ujar Rehan tulus.

"Tak apa, Han." Tersenyum.

"Harusnya lu milih orang yang benar-benar tulus mencintaimu, bukan orang yang hanya menjadikanmu bahan taruhan." Roy sarkasme.

Rehan menatap Roy, "maksud kamu?"

"Aliya adalah gadis itu, dia tulus memerjuangkanmu dalam do'anya," jelas Roy.

Rehan berdiri, dia menatap Aliya dalam. "Apa benar yang dikatakan Roy?"

Aliya mengangguk pelan.

Rehan tersenyum. "Masih ada kesempatan untukku sekali lagi?"

Aliya menggeleng. "Kamu tak tahu bagaimana sakitnya ketika memaksa bibir dan hati untuk menghapus namamu dari do'aku, kamu tak tahu bagaimana pedihnya hati ketika melihat orang yang dikaguminya bersama perempuan lain. Kamu tak tahu itu semua, dan ketika aku mulai terbiasa dengan itu semua kamu malah datang kembali." Tersenyum pedih.

"Al, kasih aku satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya!"

"Tidak bisa, Han. Aku sudah meminta pada Allah Swt. untuk mengikhlaskan hatiku ketika melihat orang yang aku sayangi bahagia bersama pilihannya. Dan saat Allah Swt. mulai mengabulkan permintaanku satu-persatu, aku tidak bisa menariknya dengan begitu mudahnya."

"Aliya...."

"Dulu aku mengagumimu, namun sekarang rasa ini telah berpindah pada lelaki lain," potong Aliya cepat. "Rasa ini telah berpindah pada dia yang setia menemani suka dan dukaku, dia adalah lelaki yang aku inginkan selama ini, meski agamanya tak setinggi ilmu agamamu, namun aku percaya jika kami bisa belajar bersama." Menghembuskan nafas, "dia adalah Roy, Roy Aldebar."

Roy terhenyak, dia merasa terkejut dengan pernyataan Aliya. "Sejak kapan, Li?"

Aliya menatap Roy, lalu tersenyum dengan tulus. "Sejak kamu datang di saat aku mulai berputus-asa, tepatnya tadi saat di makam Annisa."

Roy tersenyum, dia tak mampu untuk berkata. Sekedar mengeluarkan sepatah kata pun berat rasanya, dia terlalu bahagia ketika perempuan yang ia perjuangkan dalam do'anya telah memilihnya. Allah Swt. memang Maha Adil, dia selalu mengabulkan permintaan hamba-Nya ketika hamba-Nya membutuhkan, bukan menginginkan.

"Bahagia bersama dia, Al... aku pamit," ucap Rehan, dia melangkahkan kakinya pergi dari tempatnya.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang