LiS #11

68 19 2
                                    

Annisa membuka matanya pelan, di hadapannya sudah ada Dirga bersama Adam yang setia menunggunya sesaat sebelum gadis itu membuka matanya. Bibirnya tersenyum kaku ketika menatap dua laki-laki di hadapannya itu.

"Abang apa kabar?" tanyanya pelan, dengan menatap Dirga dalam.

Lelaki yang ditanya itu tak segera membuka suara, dia terlalu lemah untuk melihat gadisnya terbaring lemah dengan alat bantu pernafasan itu. Sesaat sebelum Dirga datang, gadis itu telah mengalami masa krisis. Beruntung, masa menegangkan itu tak berlangsung lama.

"Bang," ulangnya pelan. Gadis itu masih menatap Dirga dalam.

Dirga meneteskan air matanya, lelaki yang cengeng.

"Jangan nangis kau, Dir! Aku memanggilmu ke sini bukan untuk menangisi Adikku, aku ingin kau menjaga dia," ujar Adam dengan menjotos bahu sahabatnya itu pelan.

Dirga mengusap pipinya yang mulai basah oleh air mata, "ah, payah sekali aku ini!" Diiringi kekehan.

"Iya, kau memang payah kalo sudah menyangkut Adikku."

Annisa tertawa pelan, "tak apalah, Bang. Seorang laki-laki juga perlu menangis ketika melihat perempuannya kesakitan."

"Memang Dirga masih sayang kamu ta, Dek?" canda Adam. Laki-laki itu cukup tahu tentang perasaan kedua insan tersebut.

"Apa perlu aku memanggil penghulu ke sini untuk membuktikan rasa sayangku pada Adikmu?" Dirga mantap, laki-laki itu tak bermain dengan ucapannya.

"Abang masih masa pendidikan. Nantilah kalo sudah jadi Lettu, Abang boleh nikahi Adek." Annisa dengan suara seraknya.

"Annisa masih kecil, enggak boleh mikir sampe sana dulu!"

"Siapa yang mau nikah, Dam?" Kak Adnan tiba-tiba sudah berdiri di samping Adam.

"Annisa sama Dirga, Nan. Do'ain semoga mereka berjodoh, ya!" Adam dengan terkekeh pelan. Adam dan Adnan memang sebaya, selisih usia mereka hanya beda beberapa minggu saja.

"Annisa 'kan sudah dijodohkan dengan saya," ujar Kak Adnan tegas. Dia berucap tanpa memikirkan perasaan orang lain yang mendengarnya.

"Annisa lebih baik mati," tegas gadis itu.

"Adek!" tegur Adam dengan menggunakan nada tinggi. Padahal, sebelumnya dia selalu bersikap lembut pada siapa saja, terutama Adiknya tersebut. "Enggak boleh ngomong gitu, pamali!"

Annisa menundukkan kepalanya, dia merasa tersentak oleh teguran Kakaknya itu. "Iya, Bang."

"Adnan," lirih Adam, dia berusaha menahan emosinya saat ini. "Jangan membuat pernyataan palsu! Siapa yang telah menjodohkan kalian berdua?"

"Jangan pura-pura lupa, Dam! Atau memang kamu seorang yang munafik dengan menapik semua fakta yang ada?"

"Bundaku memang memberitahu soal perjodohan anaknya dengan anak Tante Milla. Tetapi belum tentu itu kamu," ucapnya pasrah. Dia menghela nafasnya. "Lagi pula perjodohan tak harus dipaksakan," imbuhnya sebagai pembelaan untuk Adiknya.

"Kak, sudah!" lirih Annisa.

Adam menatap Adiknya dalam. Di sorot mata perempuan itu terdapat sebuah keputus-asaan. "Ini yang membuat kamu ngdown dan berakhir seperti saat ini?" tebaknya.

Annisa menggelengkan kepalanya lemah. Gadis itu sedang berbohong, karena faktanya ucapan Adnan-lah yang membuatnya seperti sekarang ini.

"Apa benar?" tanya Adam sekali lagi, "tatap mata Abang, Dek!"

Annisa menatap mata Adam sekilas, lalu ia membuang muka kembali. "Annisa tak bisa berbohong pada Abang," ujarnya dengan terisak.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Adam melangkahkan kaki keluar kamar rawat Adiknya. Dia pergi mencari keberadaan Bundanya.

"Bunda," panggil Adam ketika dia melihat Bundanya sedang duduk di kantin rumah sakit bersama Tante Milla.

Tanpa salam, dia langsung memanggil Bundanya dan berdiri di sampingnya. Bukan karena apa, dia melakukannya karena Adik perempuannya. Dadanya kembas-kempis, matanya sudah memerah bagai warna senja di sore hari.

"Kenapa sih Bunda buat keputusan sepihak?" bentaknya pada Bunda Aisyah.

Bunda Aisyah dan Tante Milla yang mendengarnya langsung tersentak. Mereka tak tahu apa-apa, dan tiba-tiba Adam -anak yang ia kenal sebagai anak yang sopan dan penuh kelembutan, tiba-tiba membentaknya.

"Maksud kamu apa sih, Nak?" pelan Bunda. Dia berdiri, lalu membelai bahu Adam lembut.

Adam menampik tangan Bundanya. "Kenapa Bunda menjodohkan Annisa dengan seseorang yang tak pernah ia cintai? Annisa sudah besar, Bun, dia sudah bisa memilih laki-laki yang ia sukai!"

Tante Milla ikut berdiri, dia tahu kemana arah pembicaraan ini. "Kami memang menjodohkan Annisa dengan Adnan untuk mempererat tali persahabatan kami yang sudah berjalan berpuluh tahun, Adam. Tetapi, kami tak memaksakan perjodohan itu. Toh, mereka juga berhak menolak dan memilih jalan hidup mereka sendiri."

"Lantas apa arti perjodohan itu, Tante?"

"Kami hanya mencoba untuk mempersatuka mereka, jika cocok kami akan lanjut ke tahap berikutnya."

"Tetapi anak Anda salah mengartikan perjodohan ini. Dan asal kalian tahu, penyebab Annisa sampai seperti sekarang tak lain adalah anak sulung Tante Milla!" ujarnya penuh penekanan. Emosinya selalu naik jika mengingat ucapan Adnan saat di kamar rawat inap Annisa.

Dua perempuan itu langsung bungkam mulut. Mereka sama-sama diam, karena merasa bersalah.

"Kenapa Anda terdiam?" tanya Adam tegas. "Maaf, jika sikap saya selama ini tak menunjukan sikap baik seorang Taruna. Dan, jangan pernah menyangkutkan sikap saya dengan sikap Taruna, karena saya di sini tidak mewakili akademi saya, tetapi diri saya sendiri," imbuhnya.

"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Tante Milla. Seraya menundukkan kepala, dia berucap dengan bibir gemetar.

Sementara itu, Bunda Aisyah membungkam mulutnya rapat. Dia tak bisa menjadi penengah, atau pun pemihak salah satunya. Perempuan itu merasa bersalah atas peristiwa yang telah menimpa putri satu-satunya itu.

"Saya permisi," pamit Adam dengan melangkahkan kakinya dengan lebar, meninggalkan dua perempuan yang masih terdiam itu.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang