Seorang gadis sedang berdiri di samping jendela kamarnya, pandangannya lurus ke luar. Dia tersenyum hambar, pikirannya tertuju pada lima tahun yang lalu. Ingin kembali ke masa itu dan memperbaikinya, namun dia tak memiliki mesin waktu dan dia tak bisa mengubah perputaran waktu.
"Sudahlah, Al, jangan disesali apa yang sudah menjadi keputusanmu!" ujar teman perempuannya yang duduk di kasur, di samping perempuan itu.
Dia menatap ke belakang, "sebenarnya aku masih pengin kembali ke sana, namun aku terlalu malu untuk bertemu dengan masa lalu."
"Kenapa harus malu? Tanpa adanya masa lalu kita tidak berada di masa sekarang, Aliya!" Dengan kesal.
Aliya hanya terkekeh mendengar sahabatnya kesal itu.
"Sudahlah, Lif, kamu tak tahu apa yang aku rasakan."
Alifia beranjak berdiri, dia menghampiri Aliya. "Aku tahu, dan aku pernah berada di posisi kamu." Mengingatkan.
"Kamu memang pernah berada di posisiku, tapi sikap kita dalam menerimanya berbeda, pun dengan rasa yang kita terima."
"Malas aku bicara sama gadis keras kepala sepertimu," ujar Alifia kesal. Dia melangkahkan kakinya keluar kamar.
Sementara itu, Aliya hanya terdiam. Gadis itu merenungi ucapan sahabatnya. Tak ada salahnya untuk kembali ke masa lalu, selama kita mampu berdamai dengan masa lalu.
Dengan segera dia berjalan menuju lemari bajunya. Membuka, dan mengeluarkan beberapa bajunya. Dia berjalan untuk mengambil kopernya, dan memasukkan beberapa lembar gamis yang telah dia ambil dari lemari ke koper.
__________________¤¤¤__________________
Dan di sinilah dia berada, di Bandara Juanda. Setelah melakukan perjalan selama kurang lebih satu jam, dia sampai di Surabaya. Bukannya langsung ke Malang, namun dia ingin singgah di Surabaya terlebih dahulu.
Aliya tampak berjalan dengan tergesa-gesa, tanpa memerdulikan keadaan sekitar. Tanpa sengaja dia telah menabrak seseorang, hingga terjatuh.
"Maaf, saya tidak sengaja," ujarnya meminta maaf, sembari menolong orang tersebut.
"Tidak masalah, Mbak," jawabnya sembari mendongakkan kepala. "Aliya!" pekiknya.
Aliya menatap dengan lekat, berusaha mengingatnya.
"Aku Rehan, Al," ujarnya karena tahu apa yang dipikirkan oleh gadis tersebut.
Aliya hanya terdiam. Apa yang menjadi tujuannya kembali telah ia temukan.
Rehan beranjak berdiri. "Kamu apa kabar?"
Aliya hanya terdiam.
Rehan melambaikan tangannya di depan mata Aliya. "Kamu apa kabar?" Mengulang.
"Ba... baik," jawab Aliya gugup.
Rehan hanya tersenyum.
"Aku pergi dulu," pamit Aliya. Rupanya gadis itu belum siap bertemu dengan masa lalunya.
Rehan menggenggam tangan Aliya. "Aku tahu apa tujuanmu kembali ke masa lalu, jadi jangan menghindar ketika kamu telah menemukan tujuanmu untuk kembali!"
"Aku tahu, sebenarnya ucapanmu lima tahun yang lalu itu bukanlah kejujuran, aku masih tahu kalo kamu masih mengharapkan aku, dan sekarang kita sudah bertemu, do'aku dan do'amu sudah berujung temu, jadi jangan pernah kamu mengelaknya lagi!"
"Apa sih, Han? Omongan kamu itu ngaco tahu!" Aliya terkekeh.
"Kita makan dulu, aku mau ngomong sama kamu," ajak Rehan, sembari menarik tangan Aliya pergi.
"Kamu enggak mau cerita dulu?" tanya Rehan, setelah selesai makan.
"Cerita apa?" Aliya, sembari menyedot minumannya.
"Apa gitu... kehidupan kamu selama lima tahun ini, misalnya."
Aliya tersenyum manis, "terlalu manis untuk diceritakan bersama kamu," sindirnya.
Rehan menatap Aliya nanar. "Kamu yakin sudah melupakanku?"
Aliya menatap Rehan dalam. Dia mengangkat tangan kirinya, dan memperlihatkan cincin yang bertengger di jari manisnya.
"Sama siapa?"
"Roy," jawab Aliya singkat.
"Kamu beneran cinta sama dia?"
Aliya tersenyum. "Kenapa tidak? Dia adalah lelaki yang setia menemani di kala aku susah, Han, dia tidak bosan dengan sifat dan sikapku yang buruk, dia menerima semua kekuranganku."
"Lalu dengan orang yang kamu perjuangkan dalam do'amu?"
"Do'a itu sudah berbelok pada orang yang tak sama sejak dulu," jawabnya datar. "Di balik masalah keluarganya, dia lebih memilih membuatku tertawa daripada memikirkan kebahagiannya sendiri... dia tidak egois."
"Kenapa harus Roy?"
"Kenapa kamu lebih memilih Adhisty dari pada aku?"
"Al," lirih Rehan. "Sebenarnya aku ingin memerjuangkanmu, namun Adhisty telah berhasil merebut hatiku dengan segala sikap manisnya yang ternyata itu palsu."
"Sama, Roy juga telah berhasil merebut hatiku darimu," beonya.
"Kita ulangi dari awal, ya?"
Aliya menggeleng pelan. "Aku masih menyukaimu, namun hati bukanlah sebuah mainan," lirihnya.
Sedari tadi, seorang lelaki mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Dalam diamnya, dia merasakan sakit hatinya sendirian. Karena tak sanggup, dia melangkahkan kakinya menghampiri Aliya dan Rehan.
"Liya," tegurnya.
Aliya mendongakkan kepala, di sampingnya Roy sudah tersenyum dengan tulus. "Kamu sudah datang, Sayang?" Gadis itu memang sengaja memanggil Roy dengan kata 'Sayang'.
Roy tersenyum, dia melepaskan cincin yang sudah bertengger dengan manisnya di jarinya. Meletakkan di meja, dan melepaskan cincin yang berada di tangan Aliya.
Aliya terhenyak, "aku udah enggak ngerti sama kamu, Roy."
Roy tersenyum. "Aku bukanlah lelaki yang egois... aku mencintaimu, Li, dan karena aku mencintaimu aku akan mengikhlaskan kamu bahagia bersama pilihanmu."
"Kamu adalah pilihanku, Roy."
"Jangan berbohong, aku tak suka melihatmu berbohong, apa lagi berbohong pada perasaanmu sendiri!"
Aliya beranjak berdiri.
"Pergilah bersama Rehan, aku ikhlas!" lirihnya, dalam hatinya dia belum merelakan gadisnya bersama orang lain, namun dia tak boleh menjadi laki-laki yang egois. "Semoga berbahagia, aku pergi dulu," pamitnya dengan melangkahkan kakinya pergi.
Aliya menatap Rehan, lelaki itu melakukan hal yang sama.
"Aku mencintaimu," lirih Rehan.
Aliya tersenyum. "Aku mencintaimu," balasnya. "Besok datang ke rumah Nenek, aku menunggu kepastianmu!"
"Langsung akad atau tunangan dulu?" goda Rehan.
Aliya tertawa. Mungkin sudah saatnya dia bahagia bersama orang yang dicintainya. Benar yang dikata Roy, dia tak boleh berbohong, terutama pada perasaannya sendiri.
Dan ini lah akhir dari kisah mereka. Berakhir bahagia, sama seperti yang diidamkan oleh Aliya. Namun dia sadar, di balik kebahagiaannya Allah Swt. sedang menguji keimanannya, dia tak boleh terlena. Bagaimana pun rasa bahagianya, datangnya dari Allah Swt., dia tak boleh melupakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silence [COMPLETED]
SpiritualMuhammad Rehan Ramadhan, cowok manis dengan perangai santunnya itu mampu membuat banyak perempuan menambatkan hatinya padanya. Namun, dia mencintai seorang gadis yang tak pernah membuka hatinya untuk dia, dia adalah Annisa Nurul Fatimah. Belum sempa...