LiS #17

52 11 0
                                    

Satu bulan sudah sejak kepergian Annisa untuk selamanya, keadaan pun ikut berubah sejak satu bulan terakhir. Aliya, masih bersedih dengan kepergian sahabatnya itu. Dia yang memang pendiam, menjadi lebih diam lagi. Jika dulu dia masih memiliki sahabat, kini kemana pun dia sendiri. Rehan, sahabatnya sudah tak membersamainya lagi. Bukannya Rehan yang meninggalkannya, namun dia lah yang menghindar darinya.

"Aliya." Suara laki-laki itu membuyarkan lamunan Aliya.

Gadis yang sedang berdiri di dekat jendela kelasnya itu menatap ke sumber suara tersebut. Rehan sedang berjalan mendekatinya. "Ada apa?" Dingin.

Rehan berdiri di sampingnya. "Kamu kenapa berubah?"

Aliya membuang muka ke samping. "Aku masih sama seperti Aliya yang dulu, tak berubah meski sedikit pun." Tersenyum kecut. "Sudah waktunya shalat dzuhur, kamu enggak ke masjid?" Dia mengalihkan pembicaraan.

"Aku bisa shalat sendiri, nanti," jawabnya. "Aku hanya ingin meluruskan masalah kita. Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa kamu berubah menjadi dingin," imbuhnya.

Menghela nafas. "Pahala orang yang shalat berjamaah itu dua puluh tujuh kali lipat. Kamu mau menyiakan pahala sebesar itu?"

"Al, kita luruskan dulu masalah kita. Aku enggak mau kamu begini terus, aku bosan."

"Enggak ada yang perlu diluruskan. Sifatku memang seperti ini... suka kesepian," jawabnya, dia menatap lurus ke koridor kelas.

"Tapi..."

"Sudahlah, Han, kamu shalat saja!" potongnya. Dia berjalan pergi, untuk menghindar dari Rehan.

Lagi, dan lagi, dia harus menghindarinya. Hatinya memberontak, namun logikanya lah yang lebih menang dari perasaannya. Sebersit rasa suka masih ada di hatinya, namun dia lebih memilih untuk mengubur perasaan itu dalam-dalam. Berjuang dalam diam dan mendo'akan adalah pilihannya.

"Kamu mau pergi lagi?" Rehan berteriak.

Aliya berhenti, dia menoleh ke belakang. Lelaki itu masih berdiri di tempatnya, dengan wajah sedihnya. Tanpa menjawab, Aliya kembali berjalan. Gadis itu sudah yakin dengan pilihannya, menghilang dari kehidupan Rehan.

Sementara itu, Rehan masih berdiri di dekat jendela. Masih terdiam dengan seribu dugaan. Dia tak tahu dengan apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu, sekedar berbicara bersama pun sulit. Menurutnya, Aliya sudah berubah, gadis itu menjadi lebih pendiam dan dingin padanya, namun tidak kepada Roy. Sahabatnya itu lebih memilih bercerita pada orang baru, dari pada dengannya.

Gadis dengan balutan seragam yang kebesaran dan kerudung lebar itu masih melangkah tak pasti. Dia tak tahu akan menuju kemana, namun hatinya ingin pergi ke taman belakang. Di sana adalah kenangannya bersama sahabatnya, mereka dulu sering bermain di tempat itu. Pemandangan yang indah, dengan banyak tanaman hijau dan beberapa pohon yang rindang, karenanya mereka suka bermain di sana bersama.

Dan di sinilah dia berada, di taman belakang sekolah, sendirian. Gadis itu duduk di ayunan yang dulu sering diduduki sahabatnya, gadis itu mengenang kenangan itu sendiri. Tak terasa air matanya jatuh, menggenangi pipi putihnya. Dia terisak sendirian.

"Aku merindukannya," ujarnya dengan suara seraknya.

Tanpa gadis itu sadari, seorang lelaki sedang menatapnya dalam diam. Dia merasa kasihan dengan keadaan Aliya yang sekarang. Tanpa berpikir panjang, dia melangkahkan kakinya untuk menghampiri Aliya.

"Liya," sapanya, dia berdiri di samping Aliya.

Merasa ada seseorang, Aliya segera menghapus air matanya. Dia mendongakkan kepalanya, menatap lelaki itu. "Roy," jawabnya dengan tersenyum.

"Jangan menangis! Keadaanmu memprihatinkan," ejek Roy diiringi kekehannya.

Aliya hanya tersenyum, dia menghapus sisa air matanya. "Iya kah? Cengeng sekali aku ini." Terkekeh.

Roy menatap Aliya dengan tersenyum. "Nah gitu dong, lebih baik dari tadi."

Aliya hanya tersenyum.

"Cuma senyum saja, enggak mau berterima kasih?"

"Terima kasih, Roy."

"Enggak mau cerita?"

"Aku merindukannya."

Hening. Tak ada lagi percakapan. Mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Aku juga," ujar Roy memecahkan keheningan. "Tapi Annisa udah enggak ada, secara fisik dia udah enggak ada di samping kita, tapi dia selalu dalam dekapan kenangan kita."

"Allah Swt. lebih sayang Annisa, Roy. Makanya Dia mengambil Annisa lebih cepat, agar dia tidak melakukan dosa yang lebih banyak dari kita." Tersenyum.

"Kita berdo'a saja supaya Allah Swt. menempatkan dia di tempat yang baik, amal baiknya diterima dan amal buruknya diampuni."

"Aamiin Ya Allah," balasnya. "Kamu sudah bisa melupakan dia?"

Roy tersenyum kecut. "Dia tak akan terlupakan, posisi dia masih di tempat yang sama, di hati gue," tegas Roy. "Namun, suatu saat ada seorang yang akan menggeser posisi dia," imbuhnya.

"Semoga dia lebih baik dari Annisa, dan menerima semua kekurangan kamu."

"Aamiin Ya Allah."

Keheningan kembali menghinggapi mereka. Dua insan itu saling diam, sibuk dengan isi pikirannya. Aliya yang masih merindukan sosok sahabatnya itu. Roy yang masih belum bisa melupakan Annisa secepat itu. Dua pikiran berbeda namun pada intinya sama. Tentang orang yang sama.

Love in Silence [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang