Sesaat setelah masuk ke kamar, Annisa segera mengambil ponselnya yang ia letakan di nakas samping tempat tidurnya. Dia berjalan menuju jendelanya -tempat favoritnya.
"Assalamu'alaikum, Bang." Annisa memulai pembicaraan dengan Dirga melalui sambungan telepon.
"Wa'alaikumsallam, Dek. Ada apa?" jawab suara di seberang kota.
"Abang tak sibuk? Tumben bisa pegang hp." Gadis itu berbasa-basi untuk memulai pembicaraanya.
"Tidak, Dek. Tapi sebentar lagi hp Abang bakal dikumpulkan lagi," jelas Dirga lembut. "Mungkin satu jam lagi," imbuhnya.
"Kita bicara sepuluh menit, ada waktu?" Annisa pelan, dia berusaha menahan air matanya dengan susah-payah.
"Ada, Dek. Lima belas menit pun Abang masih bisa, soalnya Abang juga belum memberi kabar pada keluarga. Ini saja Abang tadi mau telpon Adek dulu."
"Bang," lirih Annisa, dia mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipi tembemnya. "Semuanya sudah mengetahui hubungan kita." Langsung pada intinya.
Dirga nampak menghembuskan nafasnya kasar, dia sudah seperti seorang yang frustasi. "Ini yang Abang takuti selama ini, Dek. Dan... akhirnya apa yang Abang takuti akan terjadi. Tapi Adek tak apa, Adek baik-baik saja?"
"Annisa baik-baik saja, Bang. Namun, hubungan kita sedang tidak baik."
"Adek pasrahkan semuanya pada Allah Swt. saja, ya! Adek turuti apa kata orangtua Adek, biar bagaimana pun mereka adalah orang yang sudah melahirkan dan membesarkan Adek. Kalo Annisa di sana baik-baik saja, Bang Dirga di sini juga baik." Tersenyum, namun senyuman yang pedih.
"Annisa enggak mau seperti ini," cicit Annisa.
"Annisa, sebenarnya kita yang salah. Kita sudah melewati batasan dalam Islam, kita selama ini diam-diam berpacaran dengan kedok ta'arufan. Kita salah, Dek, kita dosa. Apa Adek mau terus-terusan berbuat dosa dengan Abang, tidak 'kan? Abang juga seperti itu." Menarik nafas, lalu menghembuskan pelan. "Kita sudahi hubungan ini, ya? Tapi kita masih bisa komunikasi seperti sebelumnya. Kita masih sahabatan, Dirga Abang Annisa, Annisa Adek Dirga!"
Annisa menangis tersedu, dia sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan kekasihnya. Namun apa daya, semuanya sudah berakhir. Mau dipaksa, orangtua tidak merestui, begitu pun dengan Dirga, lelaki itu juga sudah mengucapkan kata pisah.
"Hallo, Dek? Kenapa diam? Abang salah bicara, ya?"
Buru-buru Annisa mengusap air matanya yang sudah mengalir deras. "Enggak, kita setelah ini seperti orang yang tak kenal satu sama lain, Bang?"
"Sst, siapa yang bilang seperti itu? Abang bilang kita masih bisa komunikasi seperti sebelumnya. Abang masih tempat Annisa curhat, tempat Annisa berbagi keluh-kesah, Abang ada di sini untuk Annisa. Semuanya berjalan seperti sebelumnya."
"Bang," lirih Annisa, dia terus-menerus menangis. Mungkin siapa saja yang melihatnya akan merasa kasihan, namun hubungan ini tak baik jika diteruskan.
"Sudah, sudah! Annisa istirahat dulu. Setelah itu kumpul sama keluarga, ya! Biar hati Annisa lekas membaik."
"Iya, Bang. Annisa mau istirahat. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsallam, Dek."
Sambungan telepon itu pun langsung terputus ketika Dirga membalas salam Annisa. Setelahnya, gadis itu langsung mencari kontak Kak Adnan. Dia mengetikan sesuatu.
Besok ketemu jam 10 pagi di warung depan asrama putra. Jangan sampai telat!
Setelah mengetikan pesan, Annisa membaringkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Dia cukup hafal dengan jadwal kegiatan di pesantren Kak Adnan, sehingga langsung mengajukan perintah tersebut. Gadis itu memejamkan mata paksa, di pikirannya masih terlintas kenangannya bersama lelaki pujaannya.
__________________¤¤¤__________________
Matahari mulai menampakan wujudnya sepenuhnya. Bukan, ini tak terlalu pagi, namun tadi hujan sempat mengguyur Kota Malang ini, sehingga matahari sedikit terlambat dalam menampakan wujudnya. Seorang gadis sedang terduduk di sudut warung depan asrama pondok putra. Dia sedang memainkan ponselnya sembari menunggu seseorang.
"Assalamu'alaikum, Annisa." Seorang laki-laki dengan memakai sarung warna biru tua yang dipadukan baju koko warna putih itu berdiri tepat di samping gadis yang sedang duduk sendirian itu.
Gadis yang merasa dipanggil itu mendongakkan kepalanya -menatap pria di sebelahnya. "Wa'alaikumsallam", jawabnya. "Silahkan duduk, Kak! Kita langsung berbincang saja."
Lelaki itu langsung mendaratkan bokongnya di depan Annisa. "Ada apa hingga kamu meminta saya untuk bertemu?"
Annisa menatap Kak Adnan lekat, sorot matanya menggambarkan kesedihan. "Gara-gara Kakak, aku sama Bang Dirga putus!" ujarnya berapi-api.
Kak Adnan menundukkan kepalanya, dia merasa bersalah. Sebenarnya dia tak sengaja merusak hubungan Annisa dengan kekasihnya, dia hanya berniat menceritakan kejadian antara dirinya dengan gadis itu pada Bundanya. "Maaf, saya tidak sengaja."
"Apakah kata maaf cukup untuk mengembalikan semuanya seperti semula?"
"Saya rasa kurang. Tetapi apakah kamu mau berbuat dosa dengan marah apalagi tidak bertegur sapa dengan saya?"
"Aku langsung ngomong ke inti pembicaraan saja, aku tak punya banyak waktu." Annisa menghembuskan nafas kesal. "Annisa dengan hati yang tulus meminta-maaf kepada Kak Adnan soal kejadian kemarin. Apa Kakak memaafkan?"
"Saya memaafkan kamu, Nis."
Hening. Setelah Kak Adnan memaafkan Annisa, suasana menjadi hening. Hanya suara kendaran bermotor, dan suara orang berbicara yang terdengar.
"Sudah 'kan? Aku pulang dulu," ujar Annisa, dia beranjak berdiri.
Sebelum melangkahkan kakinya untuk pergi, Kak Adnan menghentikannya. "Annisa," panggilnya, dia berdiri. "Aku mau memberitahumu satu hal, dan kamu harus tau tentang itu!"
Annisa menatap Kak Adnan. "Apa?"
"Kamu dan saya akan dijodohkan," lirihnya.
Tanpa berkata lagi, Annisa berlari meninggalkan tempat itu. Dia benci hari ini, begitu banyak kejadian buruk yang dia hadapi. Berpisah dengan kekasihnya, dan harus menerima kabar menyebalkan itu. Bukannya dia membenci lelaki yang akan dijodohkan dengannya, namun dia lebih membenci dengan perjodohan itu. Hubungan yang tak ia sukai, karena setelahnya pasti akan ada kepura-puraan yang menyakitkan. Ketika dia berpura-pura tertawa, padahal hatinya menangis, dan ketika dia berpura-pura bahagia dengan Kak Adnan, padahal batinnya menjerit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silence [COMPLETED]
SpiritualMuhammad Rehan Ramadhan, cowok manis dengan perangai santunnya itu mampu membuat banyak perempuan menambatkan hatinya padanya. Namun, dia mencintai seorang gadis yang tak pernah membuka hatinya untuk dia, dia adalah Annisa Nurul Fatimah. Belum sempa...