Rumah yang kutempati dengan yang Lia tempati, hanya dibatasi dengan pagar pendek yang terbuat dari teralis warna hitam. Membuat aku--mau pun penghuni rumah sebelah--mudah berinteraksi, kalau kami mau.
Jangan lupa, di antara teralis-teralis itu, sebenarnya ada sebuah pintu penghubung yang menghubungkan halaman rumah ini, juga dengan rumah sebelah. Pintu yang sengaja kami gembok, karena menurutku sudah tidak ada gunanya. Kalau perlu dimatiin aja pintunya, supaya kedua rumah tidak perlu lagi terhubung.
Kalau kata Andra, memang sengaja didesain seperti itu. Karena orang tua, selalu ingin dekat dengan anaknya. Iya, karena rumah itu tadinya akan diberikan Andra dan Lia untuk Clara.
Namun, kehidupan bergulir dengan cara berbeda. Mereka bercerai. Sekarang Andra milikku, sementara Lia sepertinya akan segera memiliki pasangan.
Hidup memang selucu itu.
Lampu kamar masih benderang sementara aku dan Andra sudah berbaring di atas ranjang. Menjelang tidur kebiasaan kami adalah bercakap sampai mengantuk.
Tetapi, penampakan Andra selalu menggemaskan. Maksudku, celana piama tanpa atasan bergelung di bawah bed cover? Dia mau menggodaku, kah? Aku sedang dalam masa haid-ku, astaga!
"Aku tadi sudah ngobrol sama Hans." Andra memulai pillow talk kami, sementara kepaku bersandar di dadanya dengan nyaman.
"Terus?" tanyaku sambil mengendus wangi yang menguar dari kulit tubuhnya. Ya ampun, aku selalu suka wanginya Andra.
"Kata dia, dia bakal cariin yang bagus untuk kita. Kamu ada request tertentu enggak?"
"Request?" Jemariku bergerak di atas perutnya yang terpahat sempurna. Sungguh indah ciptaanmu ya, Gusti.
"Ya mungkin kamu mau yang bathtub-nya ukuran raksasa, kolam renangnya ukuran olimpic. Apa kek."
"Enggak ada." Aku mulai menciumi dadanya karena tidak tahan. Kenapa sih dia suka banget shirtless?
"Yakin?"
"Hu'um." Segera kutarik kepala dari dada yang mulai terasa berdebar cepat, meletakkan kepala di bantal sebelah Andra.
"Kenapa narik kepala?" Andra bertanya, membuatku menoleh ke arahnya.
"Karena aku lagi dapet." Kutarik ujung-ujung bibir naik.
"Terus cium-cium tadi? Mancing doang?" Andra mengerutkan kening dengan bibir mengerucut.
"Pake baju makanya! Kebiasaan!"
Dia mendengkus, menatapku dengan pandangan kesal. Maka, kuhadiahi kecupan singkat di bibirnya masih meruncing.
"Masalah pindah," suaraku merendah, "aku rasa kita enggak perlu seburu-buru itu."
"Kok?"
"Lia ... dan pacarnya ... kamu enggak penasaran?"
Terdengar helaan cepat dan kasar dari mulutnya sebelum ditepuknya tangan dua kali, membuat lampu kamar kami meredup.
"Saatnya tidur, Vini," katanya, seraya menarik bedcover untuk menutupi dada bidang kegemaranku.
Aku menganga. Apa-apaan?
"Aku belum ngantuk, Ndra. Masih mau ngobrol."
"Topiknya enggak penting. Aku males ...." Dipejamkannya mata.
"Males?" Sekarang aku mulai sewot. Malas apanya? Kenapa dia malas dengan bahasan yang kuangkat? Apa dia tidak terima kalau mantan istrinya punya kekasih? Atau apa? Andra harus menjelaskan masalah ini!
"Andra!" Kuguncang tubuhnya, tapi dia tidak bergeming. "Jangan bilang kamu enggak terima kalau Lia punya pacar lagi!"
Andra menggeliat, kemudian berbalik memunggungiku. Namun, dia tidak juga mengatakan apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE DATE - Terbit
Fiction généraleYang tinggal persis di sebelah rumah kami itu, namanya Lia. Mantan istri dari suamiku, Andra. Lia tinggal bersama Clara, anaknya yang baru berusia 7 tahun. Anaknya bersama dengan Andra. Perlu dicatat, Lia masih sendiri meski Andra sudah menikah lagi...