Aku menatap Clara yang sudah duduk bersebelahan di bangku taman denganku. Kakinya bergerak-gerak, membuat suara derit sepatu rodanya terdengar. Jelas sekali kalau dia merasa tidak nyaman. Ini adalah kali pertama kami duduk sedekat ini, se-sok akrab ini.
"Maafnya Tante diterima?" tanyaku sambil menarik salah satu tangannya untuk digenggam. "Maaf, kalau selama ini kamu merasa Tante merebut papa kamu. Tante enggak bermaksud begitu."
Gerakan kaki Clara berhenti, matanya terlihat menatap tangan yang kugenggam. Kemudian, perlahan ditariknya tangan dari genggaman, disembunyikan di bawah pahanya, diduduki sehingga aku tidak mungkin merebut telapak tangan itu kembali.
"Meski aku sama Papa tinggal sebelahan, tapi aku enggak bisa seenaknya lagi ketemu Papa. Dulu, aku bisa melompat ke tengah Mama sama Papa, tiduran di antara mereka." Clara bicara dengan kepala tertunduk. Dia tidak meledak-ledak seperti kebiasaannya. Dia berbicara dengan pelan, seakan sedang bergumul dengan perasaannya sendiri.
Sama sepertiku. Yang sedang bergumul untuk tidak menceritakan masa laluku yang mungkin akan terlihat lebih menyedihkan. Mana pernah aku tertidur di antara Mama dan Papa? Yang ada adalah ibu asuh yang mendekapku saat sakit panas di masa itu. Namun, sekecil itu, aku tidak paham maknanya. Semakin aku tumbuh besar, bersekolah, kemudian menjadi dewasa, aku baru sadar, kalau ternyata selama ini aku merasa kosong.
"Sebentar lagi, kalau Mama beneran nikah sama Om Andika, aku juga bakal enggak bisa tidur sambil meluk Mama ...." Clara berhenti, menarik telapak tangan kanan yang sejak tadi didudukinya, mengusap hidungnya dengan punggung telapak tangan.
Kuhela napas, anak ini sedang menahan tangis tampaknya. Pikirinnya terlalu jauh, meski ada benarnya.
"Enggak begitu sebenarnya." Kuusap kepalanya. "Om Andika baik, 'kan?" tanyaku penasaran.
"Dia suka bawain aku cokelat, terus kemarin kasih aku barbie. Baik, sih," jawabnya masih dengan menundukkan kepala. "Sayang sama Mama juga kayaknya. Dia bawain Mama bunga yang cantik ...."
Aku tersenyum.
"Jadi, kamu mau Tante ngelakuin apa, supaya kamu yakin Om Andika baik?" Supaya kamu juga yakin, kalau aku mau menjadi akrab dengan kamu.
Sontak Clara mengangkat kepala dan menatapku dengan tertarik. Matanya yang masih sedikit berkaca-kaca mengerjap beberapa kali. Gadis mungil ini, kemudian menarik senyum yang mencurigakan buatku. Apa yang ada di benaknya kali ini?
"Kencan sama Om Andika, Tante," katanya.
Mataku membelalak. Anak ini minta aku selingkuh dari ayahnya?
"Enggak boleh, Clara. Tante udah punya Papa." Aku menolak dengan panik, menoleh ke arah pintu depan, takut kalau Andra tetiba muncul dan mendengar pembicaraan yang tidak pantas ini.
"Ya enggak berdua, Tante ...." Clara mengibas-ibaskan telapak tangan seakan lelah mendengar apa yang kukatakan barusan. "Tante sama Papa, Mama sama Om Andika. Double Date!"
Kali ini aku menganga, dengan mata yang sepertinya semakin membulat. Anak ini sudah semakin konyol.
"Aku punya rencana, supaya Mama dan Om Andika enggak jadi nikah ...." Senyum Clara semakin miring dan lebar.
Astaga! Aku benar-benar panik, aku benar-benar tidak paham, bukan ini yang aku mau. Andika dan Lia jelas harus menikah, Clara harus tahu sisi baik dari calon ibunya. Bukannya memisahkan. Kalau Lia lagi-lagi jomlo, selama apalagi semua orang memandangku sebagai perempuan tukang rebut kebahagiaan? Aduh!
"Seharusnya rencana untuk tau Om Andika baik beneran atau enggak dong, Clara ...." Aku menatapnya was-was.
Clara mendengkus, menatapku dengan sinis. "Kalau Tante enggak mau, ya udah. Enggak apa-apa, Tante. Mungkin kita emang belom jodoh." Lalu, dia bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE DATE - Terbit
Fiksi UmumYang tinggal persis di sebelah rumah kami itu, namanya Lia. Mantan istri dari suamiku, Andra. Lia tinggal bersama Clara, anaknya yang baru berusia 7 tahun. Anaknya bersama dengan Andra. Perlu dicatat, Lia masih sendiri meski Andra sudah menikah lagi...