Love and Hate

5.7K 885 102
                                    

Setelah melempar koran ke wajah Andra tadi, sekarang kami duduk berdampingan di sofa depan teve. Jemari tanganku saling mengait, sementara kakiku tidak mampu berhenti bergetar karena cemas dan gelisah.

Dari sudut-sudut mata yang tidak berani kupertegas, terlihat Andra sedang menatap koran-koran di tangannya. Wajahnya pasi, kebingungan.

"Apa yang perlu aku jelasin mengenai ini, Vin?" tanya Andra dengan suara yang pelan.

"Artikel itu ...." Kuangkat wajah, menoleh ke arahnya dengan sendi-sendi yang terasa kaku. Bibirku bahkan tidak bisa kukendalikan dengan baik, terasa sakit saking tegangnya. "Kenapa kamu menyimpan artikel itu?"

Andra meremas koran, bibirnya terkatup rapat.

"Siapa kamu di antara manusia-manusia yang tertulis di sana, Andra?!" Rasanya meledak sekarang.

Dia harus mengatakan posisinya di artikel itu. Apakah dia si penyebab, si pelaku, atau si korban. Tidak mungkin korban, karena itu adalah ibuku!

Andra menatap kebingungan. "Kamu tau tentang kejadian dalam artikel?" tanyanya.

"Sangat! Aku bisa nyeritain secara detil kalau kamu mau." Aku terdengar seperti menggeram, benar-benar menahan rasa agar tidak meledak.

Tatapan bingungnya semakin membuat kening itu berkerut. "Kamu ada di tempat kejadian? Kamu---"

"Itu Mama aku, Andra! Yang berdarah di aspal hari itu Mama aku!" Akhirnya aku menjerit juga, air mata tumpah juga, tubuh ini gemetar tak terkendali seakan ada yang mengguncang.

Andra terlihat ternganga, bergeming di tempatnya beberapa saat. Ketika akhirnya lelaki itu sadar, dicobanya untuk meraih tubuhku, tapi aku berontak. Aku tidak sudi didekap. Tidak, sampai aku mengetahui apa andilnya pada kecelakaan yang menimpa Ibu.

"Bilang, Ndra!" pekikku lagi.

Andra terlihat bingung, panik. Matanya bergerak tak tentu arah, lalu kembali lagi menatapku dengan meringis, seperti hendak menangis.

"Itu ... mama kamu?" Dia mengulang ucapan dengan suara mencicit. "Kamu yakin itu mama kamu?" Dia meraih kedua lenganku, mengguncang tubuh yang sudah terlebih dulu gemetar.

"A-ada anak kecil, terjatuh di pinggir jalan," kutatap Andra dengan nanar, "Mama menyuruhku menunggu, dia menyeberang." Mataku membelalak, mengingat kejadian itu membuat jantungku berdebar hebat, bayangan Mama benar-benar terlihat di pelupuk mata. Senyumnya terakhir kali ....

Ini benar-benar gila.

"Lalu, mobil itu datang!" Kupejamkan mata dengan kesakitan. "Mamaku berdarah, Ndra! Dia berdarah dan enggak ada yang nolongin!" Suara tangisku benar-benar tak terbendung.

Andra melepas cengkeraman di lenganku. Ketika kubuka mata, dia sudah berdiri, menunduk menatapku dengan mata memerah.

"I-ini apa-apaan?" Suaranya benar-benar nyaris tak terdengar.

"Kamu ...." Aku bahkan tidak sanggup mengucapkan sepatah kata. "Aku ...."

Tiba-tiba saja lututnya ambruk di hadapanku. Kepalanya tertunduk sangat dalam. Tiba-tiba sengguk lolos dari bibirnya.

"Hukum aku, Vin. Hukum aku seberat yang kamu mau ...," ucapnya disela-sela isak.

Aku menatap Andra, sementara otakku masih menerka-nerka.

"Siapa pun aku di antara mereka semua yang ada di artikel itu, aku tetap bersalah," katanya lagi.

Kugigit bibir kuat-kuat. Andra benar. Apa pun perannya pada kecelakaan dua puluh dua tahun yang lalu, pada akhirnya ibuku tetap meregang nyawa. Tidak ada yang bisa dibenarkan, semua salah! Semua bersalah padaku dan Ibu! Aku benci semua!

DOUBLE DATE - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang