Impossible

5.2K 676 62
                                    

"Bagaimana dengan bersentuhan tangan, Tante?"

"Atau tanpa sengaja ngeliat ... itu?" Bocah kecil itu menunjuk ke arah dadaku ragu.

"Menatap terlalu lama juga boleh. Apa aja asal Mama bisa liat dan cemburu."

Aku menghela napas ketka teringat skenario mentah yang dilempar Clara di bangku taman hari itu.

"Menurut kamu, apa yang ingin Clara cari tau dari double date kita nanti?" Aku berbisik dengan wajah yang menempel pada dada Andra yang telanjang.

"Entah. Tapi bukannya kamu bilang, dia mau kita ngetes apakah Andika orang baik atau bukan?" Andra mengusap kepalaku. Rasanya nyaman.

Aku mendesah lelah, lupa kalau tidak memberitahu Andra tujuan sebenarnya dari drama double date yang akan berlangsung Sabtu nanti.

"Hmm ...." Akhirnya aku hanya bergumam, semakin merapatkan wajah di dadanya. Aroma kesukaan yang selalu bisa membuatku merasa tenang. Aku suka aroma Andra.

"Kamu mencemaskan sesuatu ya?" Suami yang seperti cenayang, kadang-kadang, karena lebih sering cuek sebenarnya. "Permintaan Clara pasti lebih dari itu, 'kan?'

Andra ternyata juga bisa menebak, hanya saja sepertinya tidak berani berspekulasi karena ini adalah permintaan putrinya.

"Apa sebaiknya kita bertemu Andika duluan sebelum kencan gila itu?" tanyaku. Karena menurutku tidak adil menghempaskan lawan sebelum tahu apakah dia sebenarnya orang baik atau bukan. Lagipula, aku lebih suka kalau Andika jadi melamar Lia. Demi keamanan bersama.

"Kamu terlalu serius dengan Clara. Santai aja. Kita hanya akan makan dan ngobrol di kencan itu nanti. Lalu kamu tinggal memberi laporan baik pada Clara. Mission completed."

Aku mendengkus. Laporan baik bagi Clara adalah bahwa Andika batal melamar Lia. Atau ibunya menolak lamaran Andika. Ya, ampun! Kepala ini rasanya mau pecah.

Akhirnya kucoba pejamkan mata, menepis segala pikiran mengenai Clara dan rencana gilanya. Bisa stres aku kalau mikirin bocah itu terus menerus.

❤❤❤

Aku selalu mempercayakan kendaraanku pada Andra. Percaya kalau dia akan selalu mengecek setiap detilnya tiap hari sebelum aku pergi ke kantor. Tekanan anginnya, radiator, bahan bakar ... semua!

Karena itulah, aku kecewa pagi ini. Saat tiba-tiba laju mobil terseok-seok sebelum kuputuskan untuk menepi.

Dengan kesal aku keluar dari dalam kabin, sedikit merunduk dan menemukan kalau ban kiri belakang gembos. Sial sekali!

Berkecak pinggang kutatap sekeliling. Pagi selalu semrawut di Jakarta, yang terlihat hanya jalanan yang padat dan orang-orang yang kaki-kakinya tergesa di trotoar. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda adanya bengkel atau tukang tambal ban di sekitar.

Ya, ampun. Double sial!

Segera aku kembali masuk ke dalam mobil, meraih ponsel dari dalam tas dan menelepon Andra.

Kutunggu beberapa saat, tapi tidak diangkat. Kucoba lagi, sama saja. Sekali lagi biar aku yakin, tapi Andra benar-benar tidak menjawab panggilan.

Astaga! Ke mana dia saat kubutuhkan saat ini?

Rasanya ingin menangis saat sadar kalau aku tidak menyimpan satu pun nomor telepon bengkel.

Putar otak, Vin!

Bian! Kenapa tidak terpikir sejak tadi?

Kucari nomor Bian, saat kutemukan dan hendak menelepon, tetiba jendela ada yang mengetuk.

DOUBLE DATE - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang