Planning

7.1K 634 74
                                    

Aku berdiri di ambang pintu kamar mandi dalam kamar, masih berpakaian tidur semalam. Mataku menatap ke arah bathtub yang tidak jadi tersentuh kemarin, dan enggan kusentuh pagi ini.

Tergelincir di bathtub? Cih! Lalu di mana lagi mereka pernah bercinta?

"Kamu memikirkan sesuatu?"

Tiba-tiba saja sepasang tangan sudah bergelung di pinggang, memelukku dari belakang. Terasa juga dagu yang mendarat di pucuk kepala.

Aku menghela napas, masih memandang bathtub dengan miris.

"Ndra ...."

"Uhm?"

"Aku enggak suka bathtub-nya."

"Ya udah, kamu mandi di pancurannya aja."

"Bukan itu, Ndra ...." Aku membalik tubuh hingga, mendongak menatap Andra. "Aku beneran enggak suka bathtub-nya." Aku merengek.

"Kamu suka sekali berendam di sana, kenapa tiba-tiba jadi tidak suka?" Andra mengerutkan kening.

Aku mendengkus, memberi pukulan ringan di dadanya karena gemas. Memangnya dia tidak berpikir, kenapa akhirnya aku memutuskan untuk tidak bergelut dengannya di bathtub semalam? Memang dia tidak ingat, apa yang dikatakan Lia semalam masalah benda laknat itu?

Rese, Andra!

"Aku mau bathtub-nya dicopot, ganti! Lalu setiap benda di mana kamu pernah main-main sama Lia. Semuanya!"

Terlihat jakun Andra bergerak-gerak. Dia tidak menyahut sama sekali.

Aku bergerak lepas dari pelukannya, mundur selangkah untuk kemudian berkacak pinggang di hadapannya.

"Kenapa? Kamu keberatan?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

Andra menggeleng, tapi kemudian kedua bahunya lunglai. "Semua?" ulangnya.

Aku mengangguk keras.

Dia mendengkus, menatap melewati bahuku. Kuikuti arah pandangan sampai kepala harus menoleh ke belakang.

Pancuran? Jangan bilang kalau ....

Segera aku menoleh lagi ke arahnya yang saat ini sedang menoleh ke dalam kamar. Cepat aku keluar melewati tubuhnya, mengikuti arah pandangnya dengan khawatir. Terkejut ketika tatapannya tertuju pada bufet di kamar.

Bufet? Mataku mulai membelalak. Seheboh apa mereka dulu?

Lalu pandangan mata Andra, memelas turun ke lantai.

"Andra!" jeritku dengan tidak tahan.

"Kami nikah delapan tahun, Vin!" Dia ikut-ikutan frustrasi, mengacak rambut sendiri dengan napas terengah.

"Terus di mana lagi? Di ranjang?!" Aku menebak, dan kesakitan sendirian. Gila saja kalau aku selama ini tidur di ranjang yang sama dengan yang pernah dia dan Lia tiduri.

Aku enggak terima!

"Aku udah ganti ranjangnya. Jangan khawatir."

Berengsek!

Aku berbalik, mendorong tubuh Andra yang menghalang di pintu kamar mandi.

"Aku mau berendam, mumet!"

"Akan kumasakin air panas!"

Kemudian aku terdiam, menatap bathtub untuk kemudian berkata, "Enggak jadi. Aku enggak suka bathtub-nya."

Terdengar di belakang, langkah yang tadinya bergerak cepat, berhenti.

"Aku mandi di pancuran saja." Meski sebenarnya aku juga tidak mau. Bayangan bagaimana Andra dan Lia berbasah-basahan di bawahnya sudah cukup membuatku panas. Namun, aku rasa, aku bisa mandi dengan cepat.

DOUBLE DATE - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang