Home of Memories

5.5K 756 118
                                    

Aku mengendarai mobil dengan gamang, bingung mau ke mana karena sudah menolak apartemen Andra sebagai pilihan. Tidak punya rumah, sendirian, juga terluka.

Air mata masih saja mengalir, sesekali kuseka dengan punggung dan telapak tangan agar tidak menghalangi pandangan. Tuhan, cobaan apa lagi ini?

Akhirnya kuarahkan mobil ke arah sebuah kedai kopi, berhenti di pelataran parkirnya kemudian merenung. Iya, merenung. Karena sesungguhnya aku sama sekali tidak berselera dengan kopi saat ini.

Ponsel yang berkali-kali berdering, kuabaikan. Itu Andra, aku tahu. Kami berdua selalu tidak tahan untuk berpisah atau bertengkar terlalu lama. Namun, untuk sekarang, mendengar suaranya saja aku enggan.

Akhirnya kuraih ponsel, mematikan daya, dan melempar kembali benda pipih itu ke kursi penumpang. Ini menyiksa. Sungguh!

Kuatur kursi pengemudi hingga berbaring, menatap langit-langit mobil dengan perasaan yang seakan melayang. Tubuhku di sini, tapi pikiranku entah ke mana. Banyangan tentang Andra yang menjadi bagian dari kematian Ibu terasa menyesakkan. Apa pun perannya di sana, sama saja. Ujung-ujungnya Ibu meregang nyawa.

Kenyataan bahwa aku mencintainya dengan sangat, itu lebih mengerikan lagi. Bagaimana bisa seorang anak jatuh cinta pada seseorang yang membuat ibunya kehilangan nyawa? Di mana nurani dan kehilangan yang selama ini kugadang-gadang, kalau kenyataannya aku masih memaksa untuk bertahan bersama Andra?

"Sialan!" makiku sendirian. Memaki diri sendiri tepatnya.

Ah, mungkin secangkir kopi yang pahit bisa sedikit menenangkan.

Segera aku keluar mobil, melangkah ke arah kedai yang terlihat sepi. Aku tidak perlu mengantre untuk mendapatkan kopi hitam tanpa gula. Benar-benar tanpa gula. Pahit.

Kupilih duduk di sudut ruang, melempar pandangan ke luar jendela.

Tiba-tiba rintik hujan turun, bersamaan dengan sepasang muda-mudi yang berlarian ke arah kedai. Mereka berteduh di pelatarannya sambil bergandengan tangan. Sesekali tangan si lelaki mengusap kepala kekasihnya, menyentuh pipinya, yang dibalas dengan senyuman lebar sang kekasih.

Ini benar-benar menyebalkan. Keromantisan selalu mengingatkanku pada Andra. Bagaimana dia menyentuh, membelai, dan menciumiku dengan sayang.

Tanpa sadar, air mata yang sempat berhenti menetes lagi. Cepat kuusap dengan telapak tangan agar tidak ada yang melihat. Setelahnya aku bangkit, meninggalkan kopi yang bahkan tidak tersentuh oleh bibir. Melangkah tergesa keluar kedai, aku berlarian kembali ke mobil.

Hari sudah gelap, sementara hujan yang turun semakin deras. Sepasang muda-mudi tadi sudah tidak ada lagi di pelataran kedai. Entah ke mana tidak kuperhatikan. Sekarang saatnya memutuskan, ke mana harus pergi.

Kulirik ponsel yang masih tergeletak di kursi penumpang dalam keadaan mati. Kuraih dan menyalakan kembali daya. Beberapa pesan masuk dengan segera. Sekilas kulihat ada pesan dari Andra, Bian, bahkan dari Clara. Namun, kuabaikan.

Ketika ponsel mendadak berdering, otomatis mataku kembali pada benda itu. Nama Clara berkedip-kedip di sana. Tidak kujawab, hanya kuperhatikan sampai mati dengan sendirinya.

Aku berdecak, mengingat bagaimana aku berteriak tadi ke arah gadis kecil itu. "I love you, Clara ...." Dan bagaimana aku membalas perkataan ayahnya dengan sebaliknya, "I hate you, Ndra ...." Napas ini segera terhela. Aku benar-benar belum memutuskan apa yang harus kulakukan sekarang.

Kulirik jam pada dashboard, angka-angka yang benderang di sana menunjukkan pukul 8 malam. Sepertinya aku harus segera memutuskan di mana aku harus tinggal malam ini.

DOUBLE DATE - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang