(VII) Penyesalan Prilly

3K 304 41
                                    

"Hei jangan menangis lagi, kamu sudah aman dengan saya." Ali memperhatikan wanita yang sedari tadi terus menutup wajahnya sambil menangis. Wanita yang duduk di samping kursi kemudi itu mulai memberanikan diri untuk menatap kepada orang yang menolongnya. Ali melepas jacket yang ia pakai memberikan di pundak gadis itu.

"Pak Ali," desisnya membuat Ali terkejut karena yang ia tolong adalah anak didiknya sendiri, adalah Prilly Fatimah. Murid yang selalu membawa keonaran dalam hidupnya.

"Prilly, sudah jangan menangis lagi. Anggap aja kejadian tadi teguran buat kamu." Ali mengahadap depan jalan, memperhatikan orang yang tadi berniat jahat pada Prilly sudah diringkus oleh pihak yang berwajib atas laporan Ali melalui panggilan darurat.

"Hiks bapak bilang jangan nangis, bapak gak tahu gimana rasanya ketika kehormatan saya sudah di ambang kehancuran," Sahut Prilly masih terus menangis menekan rasa sakit di dadanya. Rasanya dahsyat sekali ujiannya hari ini. Senyumnya seperti ditarik sama penguasa agar runtuh menjadi tangisan pilu.

"tapi kenyataannya tidakkan Prilly? Bersyukurlah Allah Maha Baik, masih mau menolong kamu." sahut Ali.

"Hiks, hikss tapi saya merasa harga diri saya sudah terinjak-injak," sahut Prilly. Ali menoleh pada Prilly namun kembali menatap ke depan jalan.

"Tidak Prilly, mau wanita itu seperti apa mereka semua berharga." sahut Ali.

"Yasudah saya antar kamu dulu ke rumah ya,"

"Jangan saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau mami dan papi khawatir. Saya belum siap ketemu sama mereka dengan kondisi seperti ini. Saya merasa malu, saya menyesal sudah selalu membantah omongan mereka."

"tapi bagaimanapun mereka orangtua  kamu Prilly, apapun yang terjadi sama kamu itu adalah bentuk tanggung jawab mereka sama kamu. Beritahu alamat kamu biar saya antarkan." tapi Prilly hanya diam tidak merespon. Baiklah Ali tidak memaksa jika Prilly tidak mau. Ali meyalakan mesin mobilnya menuju rumahnya dulu, mungkin jika di rumahnya Umi Iva bisa memberi pengertian pada gadis disebelahnya ini.

Ali telah sampai di depan rumahnya, dan menyuruh Prilly turun dari mobilnya namun tidak mau. Kaki Prilly masih terasa sangat lemas. Ali menyerah tidak bisa membujuknya, Ali masuk ke dalam rumah mencari sosok ibunya yang ternyata sedang memasak untuk makan siang.

"Umi Ali butuh bantuan," Ali menghampiri Umi Iva.

"Bantuan apa nak?" tanya Umi Iva.

"Di luar ada anak didik Ali, ia tidak mau Ali bujuk untuk masuk ke dalam rumah. Ia baru saja mengalami kejadian buruk membuatnya syok berat umi, tolong bantuannya umi, tidak mungkin Ali menyentuhnya karena ia bukan mahromnya Ali,"

"yasudah biar umi yang mengatasinya," sahut Umi Iva kemudian berjalan keluar rumah meninggalkan kegiatan memasaknya yang digantikan oleh asisten rumah tangga.

"Astagfirullhaldzim, nak kamu masuk dulu yuk ke rumah umi, biar kamu bisa tenangin diri kamu. Ali tolong siapkan air hangat dan salep ya." Umi Iva menghampiri Prilly yang terdiam layaknya patung di dalam mobil Ali. Umi Iva berkali-kali membujuk dan akhirnya mau dituntun Umi Iva berjalan masuk ke dalam rumah.

Umi Iva membawa Prilly masuk ke dalam kamar tamu. Mendudukkan Prilly di pinggiran ranjang. Air mata Prilly masih menetes namun sudah tidak ada isakan lagi. Umi Iva ikut prihatin dengan penampilan perempuan yang ada di hadapannya ini.

"Umi ini tadi air hangat sama salepnya dari Ali," Mbak Nur adalah asisten yang sudah bekerja puluhan tahun bersama Umi Iva.

"Mbak Nur tolong carikan baju ukuran M di ruangan kerja saya," ucap Umi Iva.

Kamu Pilihan (END✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang