(IX) Rahasia Prilly

3.1K 320 29
                                    

Di sinilah sekarang Prilly, di tepi danau yang letaknya bukan di tengah-tengah kota. Membutuhkan waktu setengah jam jika dari kota menuju tempat itu. Prilly memandangi danau yang begitu jernih. Prilly melihat beberapa keluarga inti bermain di tengah-tengah danau menggunakan perahu yang berbentuk hewan unggas. Teringat masa kecilnya dahulu bersama mami dan papinya sering bermain ke danau itu.

Prilly memandang bunga mawar yang ia beli dari anak kecil yang menawarkan barang dagangannya. Prilly yang merasa iba pun membeli bunga mawar itu. Prilly pada dasarnya memang mencintai semua jenis bunga yang indah dan harum.

Prilly bingung kenapa salah satu dari bunga yang ia genggam sudah ada yang layu, padahal saat ia membeli beberapa tangkai semuanya sama segar.

"Tidak perlu bingung Prilly, semua yang bernama makhluk hidup itu akan binasa pada waktunya, sama seperti manusia suatu waktu kita juga akan dipanggil kepangkuan-Nya kita ini hanya menunggu giliran saja." Prilly mendongak ketika suara yang sangat familiar di kehidupannya.

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan” (al-‘Ankabût/29:57)

"Pak Ali? Kok bisa ada di sini." tanya Prilly sambil mengusap wajahnya karena ia sebenarnya menangis memikirkan nasib ke depannya.

"Kebetulan saja, saya memang sering ke sini kalau ada waktu luang, bisa sendiri atau kadang sama Umi saya. Terus kamu kenapa di sini, masih pakai seragam sekolah lagi."

"Saya cuma mau nenangin hati saya aja kok pak," sahut Prilly sambil tetap memandang danau yang jernih itu.

"Saya sih dari tadi di sini, tidak sengaja melihat orang yang saya kenal seperti dirundung masalah dan menangis sendirian di tepi danau,"

"Kadang dalam hidup ada saatnya kita perlu waktu sendiri, menceritakan pada alam seluruh rahasia yang kita punya lalu meneteskan air mata. Ya tapi memang setiap orang harus punya waktunya sendiri," seolah tahu Ali mengucapkan hal itu.

"Kalau dalam agama kita sih disuruh bertafakur, bermuhasabah, intropeksi  dan mengevaluasi diri sendiri." Ali melanjutkan ucapannya sambil menatap ke arau danau juga, dan menaruh tangannya di saku jacketnya.

"Sama seperti yang dulu Baginda Rasul lakukan. Beliau selalu melakukan hal seperti ini di gua Hira."

"karena memang manusia perlu punya waktu sendiri menjauh dari keramaian. Kalau kita terlibat terus dalam keramaian kita sulit membedakan mana yang benar mana yang buruk, itulah makanya menyendiri menjadi pilihan terbaik." Ali memilih duduk di atas ilalang tapi tetap menjaga jarak.

"kamu kalau ada perasaan gundah boleh berbagi dengan saya siapa tahu saya bisa kasih solusi, asal kalau nangis jangan pinjam pundak saya aja, bukan mahrom soalnya." kemudian Ali tertawa.

"Kenapa bapak bisa tahu saya ada masalah?" tanya Prilly menoleh sebentar pada Ali yang tidak menatapnya sama sekali.

"Prilly, Prilly. Pertanyaanmu itu konyol, saya ini sudah lebih dulu lahir daripada kamu. Saya bisa membedakan mana raut wajah sumringah mana raut wajah dengan kemurungan,"

"Jadi bagaimana? Mau bercerita atau tidak?" tanya Ali membuat Prilly menggeleng.

"Iya tidak apa-apa juga sih, itukan hak kamu. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat. Allah tidak akan memberikan kita suatu cobaan kalau kita tidak sanggup menjalankannya. Kalau kamu sekarang lagi diterpa ujian yang begitu dahsyat, maka banggalah karena Allah tahu kamu mampu melewatinya, seperti firman Allah,-"

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (al-Baqarah: 286).

Kamu Pilihan (END✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang