Silvanna memasukkan sketch book, pensil berbagai tipe, dan beberapa perlengkapan kuliah lainnya ke tas ransel. Sejak tadi, ponselnya selalu bergetar di atas meja belajarnya.
Silvanna mencabut adaptor ponselnya dan mengecek notifikasi yang datang dari berbagai platform sosial medianya. Ternyata, sudah banyak yang merespon iklan open commission yang semalam dipublikasikannya. Ada yang hanya bertanya perihal penawaran harga, ada juga yang langsung memesan art.
"Kok langsung rame gini, ya?" kata Silvanna heran sendiri. "Gue harus susun jadwal ulang nih buat kerjaan gue," lanjutnya seraya mengantungi ponsel di saku jeansnya. Ia menyambar ransel lalu bergegas keluar kamar.
Pintu kamar Granger terbuka sedikit dan menampakkan cowok itu tengah tertidur begitu pulas. Silvanna berpikir kalau cowok itu pasti tepar akibat pesta semalam.
"Rasain! Gak usah bangun aja sekalian!" Silvanna mengutuk pelan sambil menunjukkan kekesalannya.
Baru saja empat langkah meninggalkan pintu kamar, Silvanna menginjak sesuatu yang berhasil membuatnya terpeleset dan jatuh seketika.
"Damn it!" kutuk Silvanna kala jatuh terduduk, menghantam lantai marmer.
Beberapa saat kemudian, sebuah botol minuman menggelinding sembarang. Silvanna meringis dan mengeluh sambil memegangi pinggangnya yang malang. Untung saja tulang-tulangnya masih kuat. Tapi kalau begini terus setiap hari, bisa-bisa semua tulangnya keropos dini.
Saat rasa sakitnya mereda, Silvanna kembali dibuat menjerit karena melihat ruang TV yang lebih mirip kapal pecah dibandingkan ruang TV unit apartemen mewah.
Botol dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, putung rokok, tisu, jejak sepatu, dan berbagai sampah menumpuk di atas meja, bahkan berserakan di lantai.
Silvanna menjambaki rambutnya lagi, frustasi. "Sampe kapan ini, ya Tuhan?"
Debam pintu mengusik perasaan kacau Silvanna. Kini cowok bertubuh jangkung itu berdiri, menyandar pada kusen pintu kamarnya.
"Ngapain sih lo di situ?" tanya Granger heran melihat Silvanna yang tersungkur di lantai.
Silvanna menoleh galak. Ia mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan menghardik Granger. Sayangnya, pinggangnya yang terasa sakit memaksanya untuk bersabar sedikit. Ia meraih partisi yang menyekat ruang dapur dan tengah untuk membantunya berdiri.
"Sialan! Lo kalo mau pesta, pesta aja! Kalo udah selesai bersihin juga dong!" protes Silvanna berapi-api. Granger malah menyambutnya santai.
"Udah biasa. Nanti temen-temen gue bantu beresin, kok," sahut Granger tanpa merasa berdosa.
"Bekas botol minuman lo sama kawan-kawan lo itu bikin gue celaka barusan! Lo nggak inget ya, kalo unit ini sekarang punya gue juga?!" omel Silvanna.
"Iya-iya. Santai aja kenapa, sih? Nanggung mau diberesin juga. Malem ini gue mau party lagi sama temen-temen gue."
"Apa? Lo mau party lagi di sini?" tanya Silvanna.
Granger mengangkat alis sebagai jawaban.
"Coba lo pikir, deh. Sekarang di sini ada gue juga. Dan gue nggak suka suara-suara ribut. Jadi mending lo cari tempat lain--"
"Unit ini udah jadi basecamp gue dan temen-temen gue dari sebelum lo dateng!" bentak Granger memotong perkataan Silvanna. "Jadi, jangan coba-coba usik kesenengan gue dan temen-temen gue kalo lo masih mau hidup tenang di sini!" Ancaman Granger terdengar dingin.
Granger membanting pintu kamar tepat di depan hidung Silvanna. Cewek itu terpaku, kaget, tak menyangka, hingga gemetar. Tak terasa, air matanya menggenang di pekupuk mata. Belum pernah ia mendapat bentakan begitu dari siapapun yang pernah ditemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate
FanfictionGara-gara kesalahan sistem pembagian kamar apartemen, Silvanna harus rela tinggal se-apartemen dengan cowok sombong nan tengil, Granger. Beberapa kali Silvanna komplain pada pihak apartemen, bukannya segera memperbaiki sistemnya, Silvanna malah dian...