Don't Cry

1.8K 163 85
                                    

"Itu tugas dari saya sampai akhir semester nanti!" kata Pak Gord sebelum meninggalkan kelas itu.

Ucapannya hanya disahut dengungan tak jelas dari mahasiswa yang diajarnya itu. Ia hanya menggelengkan kepala maklum lalu melangkah buru-buru ke ruang dosen.

Tak lama kemudian, gemuruh bangku mulai tercipta di kelas itu ketika para mahasiswanya bersiap untuk keluar ruangan. Ada beberapa orang yang mencak-mencak tak jelas karena tugas yang barusan diberikan.

Keluar kelas, Silvanna dikejutkan dengan kehadiran Granger di ambang pintu. Cowok itu menghalangi langkahnya.

Tanpa kata, gadis itu hanya menatap Granger datar.

"Tadi pagi gue cari, lo udah ngilang," kata Granger tak peduli dengan ekspresi Silvanna yang dingin.

Memang, pagi tadi Silvanna sengaja pergi ke kampus lebih pagi dari biasanya. Selain permintaan Karina yang ingin menyalin tugas bahasa inggris, ia juga tak mau ketemu Granger pagi itu.

Tak mau menjawab, Silvanna selangkah ke pinggir dan melanjutkan langkahnya. Di sampingnya, Granger mengimbangi langkah.

"Silv, gue ngomong sama lo," kata Granger lagi ketika ia tak mendengar jawaban Silvanna.

Bukan tak mendengar, Silvanna hanya enggan berbicara dengan Granger.

Kesal, Granger menarik bahu Silvanna dan menghadapkan gadis itu ke arahnya. "Lo denger nggak sih?"

Silvanna memang menatap mata Granger, tapi dengan rasa tak minat sama sekali. "Masih bisa lo nunjukin wajah tanpa dosa?" kata Silvanna berusaha tenang dalam kekesalannya.

"Sorry, gue--" Suara Granger melemah. "Gue udah ketok kamar lo semalem buat minta maaf. Tapi lo nggak nyaut."

"Lo pikir, setelah gue nunggu hampir empat jam di cafe kayak orang bego, gue mau nungguin permintaan maaf dari lo juga?" Silvanna mendecih.

"Gue bener-bener lupa kalo ada janji sama lo." Granger memegang kedua pundak Silvanna.

"Lupa?" Silvanna tak menyangka. "Lo yang bikin janji, lo sendiri yang lupa."

Granger tahu ada setumpuk amarah yang tersembunyi di balik iris keabuan Silvanna yang tengah ditatapnya.

"Gue bener-bener nggak nyangka sama lo. Segitu gampangnya lo ngelupain janji lo sendiri." Akhirnya Silvanna mulai mengeluarkan unek-uneknya. "Seenggaknya kabarin gue kalo lo nggak bisa dateng atau apalah. Lo cek handphone. Lo emang nggak bisa hargain waktu orang lain. Kalo lo ngabarin gue kemaren, mungkin waktu yang kebuang empat jam itu bisa gue pake buat nugas atau bikin art."

"Maaf," lirih Grangger.

"Gampang banget bilang maaf. Emang 'maaf ' dijual eceran di mana?" sahut Silvanna tajam.

"Oke, gini aja. Gue akan ngelakuin apapun buat nebus kesalahan gue. Lo minta apa aja, bakal gue lakuin."

"Lo masih bersikukuh nawar maaf dari gue?" sahut Silvanna masih dingin. "Gran, kalo lo begini terus, lo nggak akan pernah dewasa. Lo harus bisa pertanggung jawabin janji lo sendiri. Lo juga mesti hargain waktu yang orang lain punya. Nggak semua orang segampang itu buang-buang waktu kayak lo, Gran."

"Iya-iyaa.. stop marah-marah, Silv!" Granger mulai jengah. "Gue salah, gue minta maaf!" katanya dengan intonasi tinggi seraya mengundang beberapa mahasiswa di sekitar mereka menoleh.

Silvanna menghela napas sambil menepak lengan Granger karena suaranya yang menarik perhatian orang.

"Bisa pelanin dikit nggak suaranya?!"

RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang